Jelang peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli 1959, Komisaris Besar Polisi Raden Mochammad Oemargatab, kepala Pengawas Aliran Masyarakat (PAM) dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, dapat tugas penting dari Menteri Muda/Kepala Kepolisian Negara Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Tugasnya menjadi penanggung jawab pembuatan patung Gajah Mada yang ditempatkan di depan Markas Besar Polri.
Setelah bagian badannya selesai, si pematung bingung karena tak tahu bagaimana wajah Gajah Mada. Oemargatab juga tidak tahu pasti bagaimana muka Gajah Mada. Sementara itu, upacara peresmian tinggal satu minggu lagi.
“Sebagai penanggung jawab, dan supaya tidak ditegur Kepala Kepolisian Negara RS Soekanto, tanpa menjelaskan tujuannya, Pak Oemar meminta foto saya. Saya kira, foto saya digunakan untuk dokumentasi PAM. Ternyata tidak begitu,” kata Moehammad Jasin dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang. Rupanya, Oemargatab yang panjang akal itu menjadikan wajah Jasin sebagai patokan si pematung membuat muka patung Gajah Mada.
Baca juga: Ternyata Patung di Mabes Polri Bukan Berwajah Gajah Mada
Oemargatab bukan sembarang polisi. Sejak muda, ia sudah menjadi polisi rahasia alias intel. Arsip Kepolisian Negara Nomor: 85 Laporan Tanggal 29 September 1947, 13 November 1948 tentang Oemargatab Kepala Kepolisian Banyumas (koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia) menyebut pada zaman Hindia Belanda, Raden Oemargatab pernah menjadi mantri PID (Politieke Inlichtingen Dienst atau Dinas Intelijen Politik).
Meski lembaga PID tak ada lagi setelah 1919, namun PID telah menjadi sebutan untuk mata-mata atau intel pemerintah kolonial yang mengawasi kaum pergerakan. Tidak ubahnya seperti PAM yang dipimpin Oemargatab. Sudah lazim jika sebuah negara membutuhkan intelijen sipil semacam ini. Di zaman itu, jadi pegawai pemerintah atau tentara kolonial adalah hal biasa. Oemargatab bukan satu-satunya pribumi yang jadi tenaga PID. Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat, putra R.A. Kartini, juga pernah bekerja pada PID.
Pada zaman pendudukan Jepang, Oemargatab menjadi perwira polisi berpangkat inspektur polisi. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi komisaris polisi. Sekitar tahun 1948, ia sudah menjadi kepala PAM di Yogyakarta.
Baca juga: PID Mengawasi Kaum Pergerakan
Peran Oemargatab dalam memimpin PAM sangat penting. Ia memberikan banyak laporan kepada kepala kepolisian dan presiden mengenai keamanan negara di era 1948 hingga 1950-an. Ia peka terhadap konflik antara sayap kanan dan sayap kiri yang terlihat di awal 1948. Menurutnya, konflik itu bisa menjadi bahaya bagi Republik Indonesia.
“Pihak musuh akan mempergunakan kekeruhan-kekeruhan di dalam negeri, untuk melakukan siasat pengacauan atau penyerbuan yang akan menguntungkan mereka,” tulis Oemargatab, seperti tercantum dalam Arsip Djogja Documenten Nomor 334: Laporan Djawatan Kepolisian Indonesia Bagian PAM Perihal Bahaya Perang Saudara, 27 Februari 1948. Kekacauan politik pun terjadi di Solo dan Madiun setelah pertengahan tahun 1948.
Buku 20 Tahun Perkembangan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia menjelaskan, PAM menggantikan Polisi Bagian Politik yang tugasnya mengawasi aliran-aliran yang membahayakan negara dengan bekerja sama masyarakat. Oemargatab menjabat pemimpin PAM pertama.
Baca juga: Zulkifli Lubis, Bapak Intelijen Indonesia
Meski mirip PID, pemerintah Indonesia tentu punya opini sendiri tentang PAM. Buku Republik Indonesia Volume 5 menyebut PAM “bukanlah PID berbaju baru” dan PAM tidak seperti yang dituduhkan sebagian golongan yang dianggap pemerintah tidak mengerti posisi PAM yang berdiri setelah Indonesia merdeka. Tentu saja bedanya terlihat pada siapa PID dan PAM bekerja, PID untuk Hindia Belanda sementara PAM untuk Republik Indonesia.
Pada 1951, PAM berganti menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) berdasar Surat Keputusan Pemerintah No. Pol: 4/2/28/UM tanggal 13 Maret 1951. Oemargatab juga yang memimpinnya. DPKN lalu berganti-ganti nama: Korps Polisi Security (1961), Korps Intelidjen (1962), Direktorat Intelidjen dan Security (1964), Direktorat Intelijen dan Keamanan, lalu kini menjadi Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) yang dikenal sebagai Intelkam.
Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, Oemargatab, yang kemudian menjadi inspektur jenderal polisi, mewakili kepolisian sebagai pejabat Badan Koordinasi Intelijen (BKI) ketika dibentuk pada 5 Desember 1958.
Oemargatab tinggal di daerah Menteng, Jakarta. Rumahnya berada di sebelah studio Radio Prambors. Anak tunggal Oemargatab dan Soeselia Kartanegara, Indrodjojo Kusumonegoro menjadi penyiar di radio tersebut. Indrodjojo atau Indro Warkop kemudian terkenal sebagai pelawak dan pemeran film.*