Tidak seperti kebanyakan pemuda sepantarannya, Soedirman lolos seleksi pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor tanpa melalui pemeriksaan fisik. Soedirman yang sebelumnya berprofesi sebagai guru sekolah Muhammadiyah itu dianggap cukup berpendidikan. Setelah digembleng beberapa bulan, Soedirman menjadi komandan batalion (daidancho) PETA di Banyumas. Selain Soedirman, ada Kasman Singodimendjo yang kemudian menjadi daidancho di Jakarta.
“Soedirman dan Kasman masuk PETA tanpa pemeriksaan badan, tapi ditunjuk oleh Jepang,” kata sejarawan Aiko Kurasawa dalam peluncuran bukunya Giyugun: Tentara Sukarela pada Pendudukan Jepang di Jawa dan Sumatra di Kompas Institute kemarin (25/3).
PETA adalah tentara sukarela bumiputra yang dibentuk Jepang pada masa pendudukannya di Jawa. Dalam bahasa Jepang tentara sukarela disebut Giyugun. Penyebutan Giyugun tetap digunakan untuk merujuk tentara sukarela bentukan Jepang yang ada di Sumatra.
Baca juga: Cerita dari Museum PETA
Pada 1970-an, historiografi tentang pendudukan Jepang di masa Perang Dunia II mulai mendapat tempat sebagai objek penelitian di kalangan sejarawan. Itu pula yang memantik Aiko Kurasawa dalam penelitiannya di Cornell University tentang PETA (1974) dan Giyugun Sumatra (1976). Penelitian Aiko ini kemudian diterbitkan secara stensilan oleh Seknas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan judul Lahirnya Pembela Tanah Air. Sementara itu, sejarawan Indonesia Nugroho Notosutanto baru menerbitkan disertasi tentang PETA pada 1979 berjudul The PETA Army During the Japanese Occupation of Indonesia.
Dalam meneliti tentang PETA dan Gyugun Sumatra, Aiko menyandarkan risetnya dari hasil wawancara pelaku sejarah. “Sembilan puluh sembilan persen didasarkan atas wawancara,” ungkap Aiko.
Aiko cukup beruntung. Saat itu, dia masih bisa mendapatkan banyak narasumber baik di Jepang maupun Indonesia. Dia mewawancarai sejumlah eks perwira PETA, Giyugun Sumatra, maupun eks instruktur Jepang.
“Semua senang diwawancarai,” kenang Aiko. “Saya diterima dengan senang hati dan mereka sangat terbuka.” Hasil wawancara itu direkam Aiko dalam kaset tape yang sekarang sudah didigitalisasi dan dapat diakses siapa saja.
Baca juga: Balada Seorang Instruktur Tua
Meski menyebut dirinya tentara sukarela, menurut Aiko, Giyugun lahir karena Jepang butuh tentara lebih banyak untuk mengamankan daerah jajahannya. Apalagi untuk kawasan seluas Jawa dan Sumatra, Jepang kekurangan kekuatan militer. Di Jawa saja, Jepang hanya memiliki 10.000 prajurit.
“ Jepang mengatur pembentukan PETA ini seolah-olah atas keinginan dari pihak Indonesia. Jadi, sebenarnya Jepang yang ingin mendirikan PETA, tetapi mendorong seorang tokoh nasionalis bernama Gatot Mangkoepradja agar memberikan permohonan atau petisi pembentukan tentara sukarela,” terang Aiko.
Pada awal pembentukannya tahun 1943, PETA terdiri dari 35 daidan (batalion). Pada 1944, ditambah 20 daidan. Dan pada 1945, ditambah lagi sebanyak 11 daidan. Hingga berakhirnya pendudukan Jepang terdapat 66 daidan PETA di Jawa atau sekira 30.000 prajurit. Dengan demikian, pasukan PETA tersebar di seluruh karesidenan di Pulau Jawa.
Baca juga: Jimat Perang Tentara Sukarela
Di Sumatra, Jepang membentuk Giyugun secara lebih lugas, tanpa polesan “sandiwara” seperti di Jawa. Persebarannya juga hanya di sebagian wilayah Sumatra meliputi titik-titik penting pertahanan. Mulai dari pesisir timur, Aceh, pesisir barat, Bukittinggi, Sumatra Selatan, dan wilayah pertahanan lapangan udara.
Sementara itu, di bagian timur Indonesia, tentara sukarela tidak dibentuk. Wilayah itu dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang. Berbeda dari Angkatan Darat, Angkatan Laut lebih khawatir apabila kaum bumiputra dipersenjatai maka suatu saat bakal melancarkan perlawanan. Ibarat “digigit oleh anjing sendiri,” demikian diumpamakan Aiko.
Dalam menggembleng tentara sukarela, menurut Aiko, instruktur militer Jepang lebih banyak melatih taktik gerilya. Hal ini dimaksudkan sebagai cara bertahan andaikata Sekutu datang menyerang. Kelak, taktik gerilya ini pula yang menjadi andalan dalam menghadapi tentara Belanda pada Perang Kemerdekaan Indonesia. Dalam perang gerilya, tersebutlah nama Soedirman –perwira jebolan PETA, yang menjadi panglima tertinggi militer Indonesia selama Perang Kemerdekaan.
Baca juga: Jenderal Soedirman Tak Selalu Ditandu
Menurut sejarawan Didi Kwartanada, tentara sukarela bentukan Jepang berperan penting dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di kemudian hari. Tengok saja dari para jenderal yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dari masa revolusi hingga 1983. Kecuali Abdul Haris Nasution yang lulusan KMA Bandung, semua adalah jebolan PETA dan Giyugun. Mereka adalah: Djatikusumo, Bambang Soegeng, Bambang Utoyo, Ahmad Yani, Pranoto Reksosamodra, Soeharto, Maraden Panggabean, Umar Wirahadikusumah, Surono, Makmun Murod, Raden Widodo, dan Poniman.
“PETA dan Giyugun adalah salah satu cikal bakal TNI,” ulas Didi Kwartanada.
Senada dengan Didi, Aiko juga mengungkapkan PETA dan Giyugun Sumatra merupakan inti dari TNI pada awal masa revolusi. Terlepas dari apakah tentara sukarela ini menjadi boneka Jepang semasa pendudukan, terjawab setelah memasuki era kemerdekaan Indonesia. Banyak dari eks PETA dan Giyugun kemudian melancarkan perlawanan terhadap Jepang; merebut senjata Jepang, dan meleburkan diri ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Baca juga: Boyke Nainggolan, Tragedi Opsir Terbaik
Namun, bertahun-tahun setelah kemerdekaan, nasib prajurit TNI jebolan Giyugun Sumatra jauh lebih miris. Pada 1960, banyak dari mereka harus menanggalkan seragam TNI lantaran kecewa. Apa sebab?
“Eks Giyugun banyak yang meninggalkan TNI karena terlibat PRRI,” tutup Aiko.