MEDAN, 15 Maret 1958, aktivitas di ibu kota Sumatera Utara itu tak setenang biasanya. Sejak siang hari hingga malam, situasi Ksatrian Batalion 131 di Jalan Jakarta (kini Jalan Imam Bonjol) sudah nampak sibuk luar biasa. Pasukan dikumpulkan dan disiagakan. Semua perlengkapan, persenjataan dan amunisi, termasuk juga 25 kendaraan lapis baja, dipersiapkan.
Dalam waktu singkat, sendi-sendi penting kota Medan dikuasai. Lapangan udara AURI Polonia direbut pasukan lapis baja. Kecuali satu yang berhasil lolos, semua pesawat terbang di landasan porak-poranda. Stasiun RRI turut diambilalih. Operasi bersandi “Sabang-Merauke” itu merupakan operasi militer pertama yang mendukung PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Gerakan tersebut dipimpin oleh Mayor Boyke Nainggolan, Wakil Kepala Staf Teritorium I Bukit Barisan.
“Boyke Nainggolan seorang perwira Batak Toba dan dianggap sebagai salah seorang perwira tempur Angkatan Darat terbaik,” tulis Audrey Kahin dan George McTurnan Kahin dalam Subversi sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia.
Baca juga:
Aksi Pembangkangan Boyke Nainggolan
Sejatinya, Boyke adalah seorang perwira yang lurus. Sikap itu diperlihatkannya pada suatu hari dalam tahun 1950, saat mobil yang dikendalikannya menabrak seorang anak yang tengah bersepeda di tengah kota Medan. Usai membawa anak itu ke rumah sakit, ia lantas mengontak kantor CPT (Corps Polisi Tentara) setempat dan meminta para petugas CPT datang untuk menangkapnya. “ Padahal anak itu cuma lecet-lecet biasa saja, “kenang almarhum Sukotjo Tjokroatmodjo, eks perwira CPT yang ditugaskan “menangkap” Boyke.
Mengawali karir militer sebagai opsir PETA (Pembela Tanah Air), di masa revolusi, Boyke bergabung ke dalam tentara sukarela Korps Pasukan Kelima dengan pangkat letnan dua. Pasukan Kelima adalah cabang khusus lasykar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) – yang kemudian memisahkan diri –terdiri dari sekumpulan orang-orang Batak. Ayah Boyke, dr. Nainggolan seorang dokter merangkap Wakil Komandan I Pasukan Kelima.
“Ia seorang yang amat berdarah panas seperti sebuah bola api,” tulis Takao Fusayama dalam A Japanese Memoir of Sumatra, 1945--1946: Love and Hatred in the Liberation War.
Baca juga:
Mayor Boyke Nainggolan vs Kolonel Djatikusumo
Sikap mudah naik darah itu, bisa jadi dipengaruhi oleh situasi psikologis yang melatarbelakangi kisah pribadi Boyke. Dikisahkan Fusayama, ibu dan adik perempuan Boyke telah menjadi korban revolusi sosial tahun 1946 di Brastagi karena dianggap menjadi bagian dari bangsawan feodal. Ironisnya, mereka berdua diperkirakan terbunuh oleh laskar Pesindo, kelompok bersenjata yang justru menjadi tempat awal karir militer Boyke di masa Indonesia merdeka.
Selepas pengakuan kedaulatan, Boyke diangkat sebagai opsir TNI (Tentara Nasional Indonesia) berpangkat mayor. Komandan Teritorium I Bukit Barisan, Kolonel Maludin Simbolon mempercayakannya sebagai Komandan Batalyon Pengawal untuk kota Medan.
Di jajaran TNI, Boyke dikenal sebagai perwira brilian. Itu dibuktikan dengan dipilihnya Boyke menjadi salah satu dari dua perwira yang direkomendasikan Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) mengikuti pendidikan General Staff and Command College, sekolah staf dan komando di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat (AS) pada awal 1956.
“Mayor Nainggolan merupakan perwira dari Sumatera Utara yang cerdas luar biasa! Kecerdasannya sudah diakui oleh banyak pimpinan AD,” ungkap Ventje Sumual dalam Memoar Ventje Sumual.
Baca juga:
Nasib Tragis Anak Emas Jenderal Nasution
Justru sekembali dari AS, Boyke yang “apolitis” terprovokasi sejumlah seniornya untuk membelot dan terlibat dalam gerakan PRRI. Ia lantas ditugaskan untuk memimpin Operasi Sabang Merauke, sebagai respon dari tindakan pemerintah pusat yang menyerang Dewan Banteng di Sumatera Barat dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. “ Saya yakin, sebenarnya Boyke tak bermaksud untuk berontak kepada pemerintah…” ujar Sukotjo kepada Historia.
Dan memang dalam buku Kolonel Maludin Simbolon: Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa karya Payung Bangun, Maludin Simbolon yang terlebih dahulu bergabung dengan PRRI, sempat menjalin korespondensi dengan Boyke. Secara gamblang, ia menjelaskan perjuangan PRRI adalah untuk membangun daerah dan melawan pengaruh komunisme yang semakin melilit pemerintah pusat.
Sejak pergolakan yang diawali di Padang pada 15 Februari 1958, pemerintah pusat di Jakarta memutuskan untuk menghadapi gerakan PRRI dengan aksi militer. Situasi tersebut menjadikan Boyke berstatus sebagai musuh pemerintah dan secara otomatis menjadi buruan TNI hingga ia menyingkir ke rimba pegunungan Tapanuli, Sumatera Utara.
Baca juga:
Perburuan Mayor Boyke Nainggolan
Karena kurangnya dukungan rakyat, pada 1961 PRRI menyerah total terhadap pemerintah. Sebagai bentuk kompromi, pimpinan militernya direhabilitasi oleh rezim Sukarno. Nainggolan termasuk salah satu perwira menengah – bersama Simbolon dan Mayor Sahala Hutabarat - yang dipertimbangkan untuk dimaafkan namun dengan syarat diberhentikan dari TNI. Mereka lantas dikaryakan ke beberapa perusahaan milik pemerintah.
Boyke sendiri memilih untuk menetap di Medan. Ia diangkat menjadi Wakil Direktur Pertamina cabang Sumatera Timur. Nahas, Boyke gagal mengembangkan hubungan baik dengan direkturnya. Suatu hari, mayat Boyke ditemukan di bawah menara radio dekat perumahan dinas Pertamina. Kematiannya didesas-desuskan sebagai bunuh diri. Ayahnya dr. Nainggolan, mengusulkan untuk memeriksa jenazah Boyke tetapi tidak diizinkan pemerintah. Boyke Nainggolan lantas dimakamkan di Brastagi. Berakhirlah kisah hidup perwira lurus nan brilian tersebut