Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga calon presiden, ingin memakmurkan petani di Indonesia. Bahwasanya petani bukanlah profesi yang menyusahkan, bahkan bisa membanggakan. Dengan demikian, jumlah petani produktif akan terus meningkat; anaknya petani mau jadi petani. Isu tersebut disampaikan Prabowo dalam acara “Dialog Capres bersama Kadin”, pada 12 Januari 2024 silam.
Prabowo mencontohkan kehidupan petani di desa-desa di Jerman. “Saya pernah ke desanya Jerman. (Petaninya, red.) bau tai sapi, tapi mobilnya Golf. Rumahnya bagus. Dia kerja di ladang, sore-sore sudah langsung ganti baju. Malam-malam dia dansa di disko. Anak-anak muda mau jadi petani di Jerman. Kita harus bikin anak-anak muda Indonesia mau jadi petani di Indonesia,” imbuhnya. Gara-gara pernyataan visioner sekaligus kontroversi itu, lema disko sempat ramai mewarnai linimasa sosial media.
Disko merupakan irama musik dari piringan hitam yang membuat penikmatnya bakal berajojing ria. Ia biasanya disajikan di diskotek atau klub malam dengan fasilitas musik piringan hitam. Di Indonesia, alunan musik disko mulai menggeliat sejak dekade 1970-an, seiring menjamurnya diskotek di kota-kota besar.
Baca juga: Sejarah Musik Dugem
Berdisko adalah hak semua orang. Mau petani, orang biasa, hingga penggede, boleh-boleh saja berdansa di lantai disko asalkan suka dan cukup umur. Seorang jenderal yang masih senior jauh Prabowo juga doyan disko. Namanya Herman Sarens Sudiro, salah satu perwira yang dekat dengan Presiden Soeharto di masa awal Orde Baru.
Semasa menjabat duta besar (1974—1978), Herman Sarens sudah gemar berdisko. Waktu itu, dia bertugas di Madagaskar sebagai duta besar (dubes) Indonesia yang pertama. Pangkatnya sudah brigadir jenderal. Herman berperan membangun kantor kedutaan Indonesia di Antanarivo, ibu kota Madagaskar, yang kemudian digunakan oleh para dubes Indonesia selanjutnya. Selama “ngepos” di sana, Herman banyak menjalin kegiatan diplomatik non-formal dengan pejabat-pejabat tinggi Madagaskar. Mulai dari berburu, mengadakan bazar sosial, hingga berdisko semalam suntuk.
“Bahkan pada malam-malam tertentu, perdana menteri saya undang ke rumah sekedar berdisko bersama istri-istri staf kedutaan. Nyonya presiden senang sekali bazar. Tak jarang kami berdisko sampai larut malam. Sehingga acara tersebut menjadi acara tetap yang mengasyikan,” tutur Herman dalam Majalah Getar, Edisi 15, Tahun 2010.
Baca juga: Herman Sarens, Perwira yang Nyaris Ditembak Soeharto
Herman jemawa, karena menurutnya jarang istri presiden menyambangi rumah duta besar sekadar berkunjung apalagi berdisko bersama. “Nah, kalau presidennya sudah terpegang, apa lagi? Itulah sebabnya semua urusan saya tak pernah mengalami kesulitan,” katanya mengenang penugasan sebagai duta besar.
Semasa aktif di militer, Herman membeli sejumlah lahan tanah di Banten dan Jawa Barat. Setelah pensiun, dia membangun usaha perhotelan di atas lahan tersebut. Beberapa di antaranya seperti Hotel Pulorida di Merak dan Pondok Dewata Cottage di Pelabuhan Ratu, Carita, dan Gekbrong. Tentu saja ada yang dilengkapi dengan fasilitas diskotek.
“Meskipun saya haji, saya juga punya usaha diskotek. Tetapi itu bukan untuk saya. Semua itu saya percayakan kepada mereka yang berbakat agar bisa bekerja,” aku Herman dalam manuskrip otobiografinya berjudul Cerita Seorang Tentara: Cuplikan Riwayat Kehidupan Herman Sarens Sudiro.
Baca juga: Kisah Jenderal yang Berniaga
Selain perhotelan, Herman juga dikenal sebagai perintis wisata perburuan di Indonesia. Dia pernah berniat membangun kawasan penangkaran yang di dalamnya terdapat game resort untuk berburu. “Di tengah hutan itu bakal ada diskotek. Semacam wildlife (margasatwa), sejenis kebun binatang, namun dalam arti luas, karena binatangnya bisa diburu,” ungkapnya dalam Majalah Tiara, No. 63, 11-24 Oktober 1992.
Sementara itu, dalam Majalah Tiara, No. 48, 15-28 Maret 1992, Herman mengaku memiliki gunung sendiri di Ciamis. “Di bawah bukit itu ada diskotek,” ujarnya. Herman memang senang dengan musik disko. Dari hobi berdisko, dia merambah ke usaha diskotek. Kegandrungan itu, sebagaimana dikisahkan dalam manuskrip otobiografinya, lantaran ketiadaan hiburan pada masa kecilnya.
Sejak usia 15, Herman sudah ikut memanggul senjata dalam Perang Kemerdekaan. Pada 1945, dia bergabung dengan Tentara Pelajar Siliwangi, di Kompi Banjar, Jawa Barat. Ikut hijrah ke Yogyakarta pada 1948, dan turut menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Jadi, dengan masa muda yang dihabiskannya di palagan demi palagan, kemudian menjadi tentara profesional, menurutnya wajar saja dia mencari hiburan berdisko dengan kawan-kawan. Terkadang, sambil berdisko itulah Herman bertemu rekan bisnis dan teman baru.
Baca juga: Herman Sarens Sudiro, Nasib Mujur si Perwira Tempur
“Kebetulan saya senang disko. Tetapi tidak berarti saya lupa daratan dan menghamburkan libido saya di sana,” terang Herman dalam manuskripnya.
Herman Sarens terkenal sebagai salah satu jenderal purnawirawan yang sukses dalam berbisnis. Selain usaha perhotelan dan perburuan, dia merintis berbagai usaha di bidang yang lain, seperti Sekolah berkuda “Satria Kinayungan” yang begitu populer di zamannya. Herman juga dikenal sebagai promotor tinju yang kerap mendatangkan petinju-petinju ternama bertanding di Indonesia.
Di luar bisnis, Herman aktif dalam komunitas motor Harley Davidson dan mobil jip. Dunia seni peran juga pernah dirambahnya. Pada dekade 1980-an, Herman bermain sebagai aktor di beberapa film. Penampilannya parlente. Kerap pakai topi koboi dan bawa pistol ke mana-mana kendati tak lagi aktif jadi tentara. Namun, di masa senjanya, Herman sempat tersandung kasus penguasaan tanah negara di bilangan Buncit Raya, Jakarta Selatan. Dia wafat tak lama setelah kasus itu selesai, tepatnya pada 11 Juli 2010 dalam usia 80 tahun.
Baca juga: Kasus Jenderal Tuan Tanah