Masuk Daftar
My Getplus

Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama

Penjaga gawang Republik di kala Belanda menyerang. Pemerintah kemudian menganugerahinya pangkat jenderal kehormatan sekaligus penerima pertama gelar itu.��

Oleh: Martin Sitompul | 19 Mar 2024
Presiden Sukarno menyematkan pangkat Jenderal Kehormatan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX di Istana Merdeka, Januari 1960. Sumber: Nationaal Archief.

Untuk pertama kalinya, di Istana Merdeka berlangsung upacara pelantikan seorang jenderal bintang empat. Namun, penerima pangkat militer tertinggi itu bukanlah seorang perwira dari lingkungan angkatan bersenjata. Ia justru melekat di atas pundak warga sipil yang amat dihormati. Hari itu, 14 Januari 1960, Presiden Sukarno melantik Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Jenderal Kehormatan.

“Sultan Hamengkubuwono orang besar berjasa bagi tanah air dan bangsa, diangkat jadi jenderal dengan bintang emas 4,” demikian diwartakan harian Merdeka, 15 Januari 1960.  

Dalam upacara pelantikan itu, Presiden Sukarno menyebut Sri Sultan termasuk dalam golongan orang-orang yang berjasa terhadap tanah air, bangsa, dan negara. Sri Sultan, dalam pidato Sukarno, disejajarkan dengan para tokoh seperti Jose de San Martin, pejuang dari Amerika Latin, atau Tjokroaminoto dan Ki Hadjar Dewantara dari Indonesia. Orang-orang yang namanya diukir dengan tinta emas karena kepemimpinan dan gagasan untuk kemerdekaan. Untuk itulah Sri Sultan benar-benar layak mendapat penghormatan dari segenap rakyat.

Advertising
Advertising

“Pangkat Jenderal Kehormatan atau barang tanda pangkat yang tadi saya cantumkan di atas pundak Saudara Hamengkubuwono, sebenarnya dicantumkan oleh hati bangsa Indonesia yang merasakan hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Saudara Hamengkubuwono. Jenderal Hamengkubuwono, saya mengucapkan selamat bahagia kepada Saudara,” tutup Sukarno dalam pidatonya yang dikutip dari Daftar Arsip Pidato Presiden Republik Indonesia Ir Sukarno Tahun 1958-1967 No. 146, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Baca juga: Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto

Menilik rekam jejaknya, terutama pada periode 1945—1949, gelar kehormatan itu memang patut bagi Sri Sultan. Kesultanan Yogyakarta yang dipimpinnya menjadi kerajaan pertama yang menyatakan dukungan dan bergabung dengan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Sri Sultan kemudian memainkan banyak peran penting di masa-masa krusial mempertahankan kemerdekaan.

Ketika tentara Belanda menduduki Jakarta, Sri Sultan menawarkan Yogyakarta sebagai ibukota negara sementara yang berlangsung hingga pengakuan kedaulatan. Perjuangan di masa revolusi tentu sulit karena bertempur di palagan dan diplomasi di kancah internasional butuh biaya besar. Pun demikian, Sri Sultan menyumbangkan kas kesultanan demi menopang jalannya pemerintahan. Sri Sultan juga merupakan konseptor Serangan Umum 1 Maret 1949, yang selama tahun-tahun Orde Baru berkuasa tidak begitu diekspos dalam narasi sejarah resmi.

“Dengan sikap Sultan yang tetap membantu perjuangan Republik secara moral dan material, Belanda tidak mempunyai peluang sedikit pun untuk menguasai daerah Yogyakarta. Inilah yang memberikan kesempatan kepada tentara untuk menjadikan daerah Yogyakarta pangkalan yang kuat bagi perang rakyat sampai Belanda terpaksa meninggalkan daerah itu sebagai hasil dari tekanan militer dan diplomatik,” terang tokoh militer Letjen (Purn.) Tahi Bonar Simatupang dalam kumpulan tulisan Takhta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX suntingan Atmakusumah.

Baca juga: Sebuah Usaha Mengenal Sultan Hamengku Buwono IX

Menurut Simatupang, penyematan gelar Jenderal Kehormatan terhadap Sri Sultan sejatinya telah digalang sejak Markas Besar Tentara (MBT) berdiri di Yogyakarta pada 1945. Pimpinan MBT, mula-mula Letjen Oerip Soemohardjo kemudian Panglima Besar Jenderal Soedirman menyadari betapa pentingnya hubungan yang baik antara tentara dengan Sri Sultan. Selain di lingkungan keraton, pengaruh Sri Sultan juga berakar di tengah rakyat Jawa pada umumnya.

Pada pertemuan pemilihan Panglima Besar menjelang akhir 1945 di Markas Tertinggi, Sri Sultan hadir sebagai Jenderal Kehormatan. Pertemuan mengusulkan kepada pemerintah agar Sri Sultan diangkat menjadi menteri pertahanan. Permintaan itu tidak segera dipenuhi oleh pemerintah. Walaupun demikian, telah terbentuk semacam ikatan batin antara pimpinan tentara dan Sri Sultan. Ikatan batin itu nyatanya sangat kuat selama Perang Kemerdekaan ketika Yogyakarta diduduki Belanda dalam Agresi Militer kedua pada 19 Desember 1948.  

Keterangan Simatupang seturut dengan penelitian sejarawan John Monfries yang menulis biografi Sri Sultan. Dalam A Prince in A Republic: The Life of Sultan Hamengkubuwono IX of Yogyakarta, Monfries menyebut Sri Sultan mengorganisasikan kelompok laskar pemuda ke dalam Laskar Rakyat Mataram di kepatihannya. Sri Sultan menjadi panglimanya, sementara abdinya Selo Soemardjan menjabat kepala staf. Setelahnya, Sri Sultan diterima menjadi perwira kehormatan senior Tentara Keamanan Rakyat (TKR), anggota dewan tertinggi tentara, serta menerima pangkat jenderal kehormatan pada bulan November 1945.

Baca juga: Berdebat dengan TB Simatupang

Namun, pengukuhan gelar Jenderal Kehormatan atas Sri Sultan baru disematkan pada 1960, setelah Presiden Sukarno melantiknya di Istana. Sri Sultan sekaligus menjadi satu-satunya yang berpangkat jenderal pada saat itu. KSAD Abdul Haris Nasution dan KSAU Suryadarma meraih pangkat jenderal dan laksamana udara setelah dilantik Presiden Sukarno di Istana pada 7 Februari 1960. Kurang lebih tiga minggu setelah pelantikan Sri Sultan.  

”Pemberian pangkat jenderal penuh itu adalah yang kedua kalinya sejak Jenderal Besar Soedirman. Yang pertama ialah Sultan Hamengkubuwono yang berpangkat jenderal kehormatan. Sedangkan KSAU Suryadarma adalah Laksamana berbintang empat yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia,” lansir harian Indonesia Merdeka, 9 Februari 1960.

Setelah Sri Sultan, tradisi penyematan jenderal kehormatan masih terus berlangsung. Selain faktor jasa dan sumbangsih pada negara, di balik gelar jenderal kehormatan berikutnya diperhitungkan pula aspek politik dan psikologis untuk menempati posisi tertentu. Beberapa di antaranya menuai kontroversi.    

Baca juga: Kebersahajaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX

TAG

jenderal sri sultan yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Sultan Aman Setelah Pertempuran Tempel 1883 Kisah Perwira Luksemburg di Jawa Evolusi Angkatan Perang Indonesia Kisah Perwira TNI Sekolah di Luar Negeri Ramalan-ramalan Tjokrokario Albert Dietz dan Pangeran Yogyakarta yang Dibuang Dicopot dari Panglima ABRI, Jenderal Benny Moerdani Santai Asal-Usul Malioboro Sudirman dan Bola Sehimpun Riwayat Giyugun