Berdebat dengan TB Simatupang
Di masa mudanya, Jenderal T.B Simatupang cermat beradu pendapat. Dari guru hingga presiden didebatnya sampai bersitegang.
Tahi Bonar Simatupang menjadi jenderal pada usia muda. Saat berumur 30, Sim –demikian ia dipanggil– mengemban jabatan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Sejak Perang Kemerdekaan, Sim telah membuktikan dirinya sebagai perwira intelektual yang brilian. Sim adalah satu-satunya perwira TNI yang terlibat dalam perundingan dengan Belanda sejak 1946 hingga pengakuan kedaulatan.
“Saya waktu berusia 28 tahun diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, dan waktu Pak Dirman meninggal kemudian, setelah melalui banyak kesulitan, akhirnya diangkat sebagai kepala staf,” kenang Sim dalam Percakapan dengan Dr. T.B. Simatupang.
Menjadi jenderal di usia muda dan berasal dari suku Batak yang suka bicara ceplas-ceplos membuat Simatupang tak sungkan mendebat siapa saja. Presiden Sukarno bahkan pernah jadi sasaran kritik Sim lantaran gemar mengenakan seragam militer. Sim pada suatu pertemuan mengatakan agar presiden tak perlu lagi mengenakan uniform usai Perang Kemerdekaan. Anjuran itu rupanya jadi persoalan antara Sim dan Bung Karno.
“Bung Karno marah waktu itu kepada saya, dia bilang saya larang dia pakai uniform. Bukan itu yang saya maksud tapi supaya ada tradisi di sini bahwa bukan uniform yang paling tinggi,” tenang Sim.
Simatupang sebenarnya punya alasan yang wajar. Maksudnya agar Presiden dijunjung oleh karena kedudukannya sebagai kepala negara, bukan karena gagah-gagahan pakai uniform. Simatupang juga melihat perlunya mengurangi kesan militeristik bagi negara Indonesia yang baru saja berdiri. Berkaca dari pengalaman Jerman dan Jepang, pada masanya kedua negara ini sangat militeristis sehingga terlibat dalam banyak peperangan. Itulah sebabnya Sim meminta Bung Karno menanggalkan seragam militer.
Namun, Sim juga menyadari, dirinya masih sangat muda pada saat itu. Untuk orang seusianya, Sim terlalu keras berbicara terhadap sosok sekelas Presiden Sukarno. Hubungan Sim dengan presiden kian renggang.
Keduanya kembali berdebat setelah peristiwa Kolonel Bambang Soepeno menggalang tanda tangan panglima-panglima divisi sebagai petisi untuk memberhentikan KSAD Kolonel Abdul Haris Nasution. Sim mempersoalkannya lantaran penggalangan tersebut terjadi atas seizin presiden. Pembicaraan berlangsung dalam suasana penuh amarah. Sim akhirnya dicopot dari kedudukan KSAP. Jabatan itupun dihapuskan untuk seterusnya.
“Setelah jabatan KSAP dihapuskan, maka saya diangkat menjadi Penasihat Militer Menteri Pertahanan, tetapi sudah jelas tidak pernah ada maksud untuk meminta nasihat saya, oleh sebab itu saya praktis tinggal di rumah saja,” kata Sim dalam otobiografinya Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos.
Sikap kritis memang telah terbentuk pada diri Sim sejak remaja tanggung. Sewaktu bersekolah di Christelijke AMS (SMA Kristen) Salemba, Sim bahkan mendebat gurunya sendiri. Meneer Hantjes, guru sejarah AMS Salemba, kata Sim, dalam mengajar acapkali merendahkan bangsa Indonesia.
Menurut Haantjes, penduduk pribumi Hindia Belanda yang terdiri dari banyak suku mustahil bersatu untuk mencapai kemerdekaan. Haantjes juga bilang bangsa pribumi tidak bisa menjadi tentara. Alasannya, rata-rata kondisi fisik orang pribumi belum memadai untuk membentuk angkatan perang yang tangguh dan modern.
Sebagai siswa pribumi dan kelompok minoritas dalam kelas, Sim terdorong untuk membantah gurunya yang jelas-jelas rasis dan diskriminatif itu. Bagi Sim, omongan Haantjes itu tak lebih dari sekadar mitos yang bakalan usang ditelan sejarah. Sanggahan Sim ternyata menyulut emosi Meneer Haantjes.
“Bahkan perdebatan kami pernah menjadi begitu tajam dan begitu panas, sehingga saya pernah diusir dari kelas untuk melapor kepada Direktur Meneer E.H. de Haan,” tutur Sim dalam otobiografinya.
Kasus perdebatan Sim dengan Meneer Haantjes sampai kepada Direktur de Haan. De Haan adalah penganut Calvinis yang ketat, juga seorang yang mementingkan disiplin dan keadilan, demikian kesan Sim. Namun, sang kepala sekolah mendengar laporan Sim dengan sabar. De Haan menyampaikan teguran kepada Sim secara halus.
“Kamu sekarang boleh saja mengemukakan dan membela pendapat sesuai keyakinanmu. Tetapi cobalah selalu berargumentasi tanpa menyakitkan hati orang lain,” kata de Haan kepada Sim.
Sim di kemudian hari membuktikan ketidakbenaran mitos yang ditiupkan gurunya, Meneer Haantjes. Meski posturnya kurang semampai untuk ukuran prajurit, Sim berhasil menjadi seorang tentara, bahkan menduduki posisi pucuk pimpinan angkatan perang di usia muda. Namun, sikap kritisnya yang kurang luwes itu pula yang membuat karier militer Sim berakhir dengan cepat. Belakangan Sim mengoreksi sikap sakleknya itu. Seperti diakui Sim dalam otobiografinya, dia selalu teringat pada wejangan Meneer de Haan.
“Pada waktu itu nasihat itu saya anggap nasihat orang yang berjiwa kolonial. Tetapi mungkin saya tidak akan mengalami begitu banyak kesulitan dalam hidup saya selanjutnya andaikata saya menerima nasihat Meneer de Haan itu secara lebih sungguh-sungguh,” tandas Sim.
Baca juga: Orang Batak Jadi Jenderal
Tambahkan komentar
Belum ada komentar