Orang Batak Jadi Jenderal
A.H. Nasution menjadi orang Batak pertama yang menjadi Jenderal di TNI. Setelahnya banyak orang Batak jadi jenderal.
Orang-orang Batak sempat tidak dipercaya menjadi anggota KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Orang Batak baru bisa diterima dengan baik sebagai serdadu kolonial sejak tahun 1929. Jika pun ada sebelum 1929, orang Batak harus menjalani masa percobaan dulu.
Suatu hari di tahun 1929, seorang Batak yang telah menjadi sersan KNIL datang ke Tarutung. Sumatra Post, 28 Desember 1929 memberitakan, ia datang dari Bandung dengan tujuan merekrut 60 orang Batak untuk menjadi serdadu KNIL.
Satu dekade kemudian, KNIL memberikan kesempatan kepada dua pemuda Batak, satu dari Batak Toba dan satu lagi dari Mandailing, sebagai calon perwira di CORO (Corps Opleiding Voor Reserve Officieren atau Koprs Pendidikan Perwira Cadangan) dan KMA (Koninklijke Militaire Academie atau Akademi Militer Kerajaan) di Bandung.
Baca juga: Jenderal Ambon Generasi Pertama di TNI
Dua pemuda Batak itu adalah Tahi Bonar Simatupang (1920–1990) dan Abdul Haris Nasution (1918–2000). Keduanya lulus sebagai perwira, Simatupang di bagian zeni sedangkan Nasution di bagian infanteri. Mereka hanya sebentar bertugas karena KNIL kalah perang dan Hindia Belanda menyerah kepada Jepang.
Setelah menganggur di zaman pendudukan Jepang, ketika Indonesia merdeka pada 1945, Nasution dan Simatupang bergabung dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Nasution bergabung dengan Divisi Siliwangi di Jawa Barat. Ia dengan cepat menjadi panglima Divisi Siliwangi dengan pangkat Kolonel di usia yang belum 30 tahun. Sementara Simatupang menjadi perwira di MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta.
Sebelum tahun 1947, Nasution selaku Panglima Divisi I Siliwangi pernah berpangkat Jenderal Mayor. Kala itu ia memimpin gerilya segala kekuatan militer di Jawa Barat. Setelah kebijakan Rera (Rekonstruksi dan Rasionalisasi) dari Kabinet Hatta, Nasution turun pangkat menjadi Kolonel.
Baca juga: Kekecewaan Didi kepada AH Nasution
Pada 1949, Nasution menjabat KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat), tapi hanya dengan pangkat Kolonel, hingga tahun 1952. Setelah menjadi KSAD lagi pasca tahun 1955, Nasution naik menjadi Mayor Jenderal, dan akhirnya Jenderal pada 1960-an.
Pada masa revolusi di Sumatra Utara, pernah ada seseorang yang tanpa persetujuan pemerintah pusat mengaku diri sebagai Jenderal. Ia adalah Timur Pane, pemimpin laskar Napindo yang tunduk pada PNI (Partai Nasional Indonesia).
Muhammad Radjab dalam Sumatera Tempo Doeloe menyebut Timur Pane mengaku “dulu ia seorang pedagang jengkol, lada, dan sayur-sayuran di Pasar Medan, dan juga jadi bajingan dan pencopet.” Timur Pane adalah versi nyata dari Jenderal Nagabonar.
Baca juga: Timur Pane Si Jenderal Bohongan
Sementara itu, pada masa revolusi, Simatupang menjadi pembantu Panglima Besar Jenderal TNI Soedirman. Ia pernah menjadi Wakil Kepala Staf Oemoem Angkatan Perang pada September 1948. Kepala Staf Oemoem dijabat oleh Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo. Setelah Jenderal TNI Soedirman tutup usia di awal tahun 1950, Simatupang menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP).
“Simatupang adalah Jenderal Mayor (setingkat Brigadir Jenderal sekarang) pertama TNI selepas Belanda meninggalkan Indonesia pada 1950. Pangkat itu diperolehnya karena kedudukannya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Pada masa-masa Simatupang menjadi Jenderal Mayor, Nasution tetap berpangkat Kolonel, namun memimpin pasukan tempur terbanyak. Simatupang tidak lama menjabat KSAP, hanya sampai tahun 1954, dan kemudian menjadi penasihat Menteri Pertahanan. Jabatan KSAP kemudian tak ada lagi.
Nasution tak lagi jadi KSAD pada 1962. Ia diberi jabatan tinggi tapi tak bergigi di militer, yaitu Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan (Menko Hankam). Namun, di tahun 1960-an, Jenderal-Jenderal dari Tanah Batak bermunculan.
Pada 1962, setidaknya ada Brigadir Jenderal TNI Washington Siahaan (1918–1962), mantan perwira administasi Angkatan Laut Belanda yang memilih ikut Republik dan menjadi perwira Angkatan Darat.
Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkata Darat, Washington Siahaan sempat menjadi Deputi III KSAD sebelum wafat pada 18 November 1960 di Jakarta.
Selain Washington Siahaan, Djamin Gintings (1921–1974) sudah berpangkat Brigadir Jenderal pada 1962, kemudian berpangkat Mayor Jenderal tahun 1965. Orang Batak lain yang sudah jadi Jenderal tahun 1965 adalah Maraden Saur Halomoan Panggabean (1922–2000) dan Donald Izacus Panjaitan (1925–1965). Panjaitan terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Panggabean, pembantu Soeharto sebelum 1965, diangkat menjadi KSAD pada 1967. Setelah itu, ia menjadi Panglima ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) pada 1973 hingga 1978. Orang Batak lain yang kemudian menduduki jabatan Panglima ABRI adalah Feisal Tanjung (1939–2013) dari tahun 1993 hingga 1998.
Pada masa Feisal Tanjung jadi Jenderal, beberapa orang Batak yang jadi Jenderal antara lain Sintong Panjaitan, Adolf Sahala Radjaguguk, Raja Inal Siregar, dan Raja Kami Sembiring Meliala. Pada generasi selanjutnya ada Luhut Binsar Panjaitan dan menantunya, Maruli Simanjuntak.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar