Kebersahajaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Meskipun seorang raja Jawa, orang-orang mengenalnya sebagai pribadi yang murah hati dan sederhana.
BERTANYALAH ke para sepuh di Yogyakarta: siapa pemimpin yang menjadi panutan mereka? Pastilah jawabannya: Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Hingga kini orang-orang tua di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya tak pernah akan melupakan sosok Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sebagai raja Jawa, banyak kalangan yang memandangnya sebagai sosok terbesar di sepanjang zaman.
“Kami akan selalu mengingat dan menghormati sinuwun…” ujar Ki Herman Sinung Janutama, budayawan sekaligus penulis sejarah asal Yogyakarta.
Sejatinya kisah kesederhanaan dan kemurahan hati yang dimiliki oleh lelaki yang dilantik sebagai raja pada 18 Maret 1940 itu, bukan saja diketahui oleh rakyatnya. Para kolega di luar lingkungan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pun menjadi saksi betapa pemurahnya Sri Sultan.
Baca juga: Ketika Sultan Hamengkubuwono IX Masih Bernama Henkie
Syahdan ketika tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta pada Juni 1949, TNI harus mengisi kekosongan kawasan ibu kota RI tersebut. Selain itu, sebagian anak buah Panglima Besar Jenderal Soedirman tersebut akan sering berhadapan dengan para peninjau PBB. Di sinilah masalah muncul: penampilan prajurit-prajurit TNI sama sekali jauh dari kelayakan sebuah tentara. Sebagian besar pakaian mereka sudah rombeng karena terlalu lama berperang di hutan-hutan.
Demi menjaga harga diri TNI di depan para peninjau PBB dan pejabat tinggi Belanda, Sri Sultan pun tanpa diminta memberikan uang pribadinya untuk membeli dan membuat seragam militer yang layak lengkap dengan tutup kepala para prajurit.
Baca juga: Sultan Hamengkubuwono IX Naik Takhta
“Itulah pertama kali baret digunakan secara resmi di lingkungan TNI…” ungkap sejarawan Moehkardi.
Sebagai Menteri Negara dan Koordinator Keamanan RI, pasca penyerahan kedaulatan, Sri Sultan dengan Land Rover-nya kerap blusukan ke seluruh wilayah Yogyakarta untuk memeriksa keadaan rakyat. Tak jarang ia melakukannya sendirian. Letnan Kolonel Pranoto Reksosamodra, komandan Brigade IX Divisi III memiliki pengalaman mengesankan saat mengawal Sri Sultan.
Ceritanya, sekembali blusukan dari wilayah Tempel, mereka menyaksikan asap mengepul dari arah selatan Pabrik Gula Medari. Rupanya itu adalah kelakuan tentara Belanda yang geram dan sebelum mundur menumpahkan drum-drum berisi minyak residu ke sungai yang ada di sana lalu membakarnya.
Demi melihat situasi itu, dengan tangkas, Sri Sultan membanting setirnya, keluar dari jalur utama dan memotong dengan jalan pintas melalui tanah pesawahan dan jalan desa yang berbatu dan masih ditumbuhi semak-semak belukar. Begitu sampai ke lokasi, mereka lantas berloncatan dan dengan menggunakan pacul yang tadinya tersandar pada dinding-dinding rumah penduduk, menimbuni api yang menjalar itu dengan pasir hingga padam.
Baca juga: Meluruskan Fakta Pertemuan Soeharto dan Sultan Hamengkubuwono IX
Lain kesempatan, saat blusukan di Kota Gede secara tiba-tiba Sri Sultan menghentikan Land Rover-nya lantas melangkah menuju pasar. Di hadapan seorang perempuan penjual beras ia sekonyong-konyong berhenti dan berjongkok sambil memegang butiran beras-beras.
“Niki disade pinten Mbakyu salitere?” tanya Sri Sultan menanyakan harga beras seliternya.
Sambil tersenyum genit, perempuan itu menjawab: “Mirah kemawon kok Maass.” Murah kok, katanya.
Saat transaksi masih berlangsung dengan akrabnya, tiba-tiba seorang pedagang tua yang mengenal Sri Sultan berseru: “Heh, aja wani-wani kuwi Ngarsa Dalem!” (Heh, kamu berani-beraninya sama Sri Paduka!).
Kontan gegerlah situasi pasar tersebut. “Orang-orang seisi pasar itu semuanya berjongkok saat mengetahui kehadiran rajanya di tempat itu…” kenang sang jenderal seperti dinukil dalam biografinya, Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra: Dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar