JAKARTA, akhir 1969. Siddharta Moersjid baru saja pulang sekolah. Setiba di rumah, ayahnya Mayor Jenderal Moersjid bergegas keluar, menenteng koper dan mengenakan pakaian harian tentara. Sementara sang ibu, Siti Rachma, menangis melepas kepergian Moersjid.
“Sida, Papa pergi dulu, jagain mama di rumah,” kata Moersjid menitip pesan kepada Siddharta. Entah apa yang terjadi saat itu, Siddharta yang masih bocah tanggung belum tahu.
Setengah abad berselang, Siddharta menuturkan apa yang terjadi hari itu. “Dia (Moersjid) pergi ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo sendirian,” kenang Sida kepada Historia. Itu adalah hari di mana Moersjid menjadi tahanan dalam penjara rezim Orde Baru.
Dari Manila ke Nirbaya
Moersjid adalah bagian dari lingkaran Letnan Jenderal Ahmad Yani yang tersisa pasca-Oktober 1965. Ketika itu, Moersjid menjadi salah satu pembantu utama Yani yang menjabat Deputi I membidangi operasi. Di kalangan sejawatnya, Moersjid dikenal sebagai tentara tulen dengan pribadi yang tegas.
Baca juga: Moersjid, Jenderal Pemarah yang Disegani Sukarno
Wartawan kawakan Julius Pour mencatat Moersjid terkenal sebagai perwira pemberani. Reputasinya sebagai tentara lapangan telah dirintis sedari perang kemerdekaan, penumpasan Darul Islam, serta memimpin operasi menghancurkan Permesta di Sulawesi Utara. Dia pernah mendapatkan pendidikan infantri dari Infantry Advance Course Amerika Serikat.
“Bahkan, anak buahnya memberinya sebutan jagoan tempur,” tulis Julius Pour dalam Konspirasi Dibalik Tenggelamnya Matjan Tutul.
Di masa peralihan menuju era Orde Baru ada niatan untuk mengadili Presiden Sukarno yang kekuasaannya sudah di ujung tanduk. Menurut Sida, Moersjid tidak bersedia memberi kesaksian yang semata-mata bertujuan menyudutkan Sukarno. Sekembali dari Manila usai berdinas sebagai duta besar Indonesia untuk Filipina, Moersjid diinterogasi. Kesalahannya pun dicari-cari.
Baca juga: Moersjid, Soeharto dan Senapan Chung
Tim pemeriksa pusat mulai melontarkan dalil-dalil untuk menjerat Moersjid. Mulai dari tuduhan soal rumah milik Sukarno yang ditempati Moersjid di Manila hingga amarah Moersjid yang ingin menggebuk Marshall Green, duta besar AS yang dianggap menghina Sukarno. Namun tiada celah yang dapat menjebak Moersjid secara hukum pidana. Semua sangkaan itu tidak dapat dibuktikan.
Tanpa melalui proses pengadilan, rezim Soeharto menahan Moersjid selama empat tahun. Tempat “pengamanan” Moersjid berpindah dari RTM Budi Utomo ke RTM Nirbaya. Dakwaan yang ditimpakan kepada Moersjid berkutat pada anggapan bahwa dirinya merupakan perwira yang pro Sukarno. Kendati demikian, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, Moersjid tergolong jenderal apolitis, tidak tergabung pada kelompok manapun.
“Bukan orangnya Nasution, Yani, apalagi Soeharto; juga tak terlalu dekat dengan Sukarno,” kata Asvi.
Luka Hati Sang Istri
Moersjid tampaknya lebih tegar menghadapi hari-harinya di penjara. Selama mendekam di balik jeruji besi, tiada yang berani mengganggu Si Jago Tempur itu. Tapi tidak demikian dengan istrinya, Siti Rachma. Perlakuan tidak adil terhadap Moersjid meninggalkan kesedihan yang mendalam baginya.
“Ibu saya membakar semua atribut Angkatan Darat ayah saya. Habis (tanpa tersisa). Sakit hati dia,” tutur Sida. “Jadi setelah berjuang yang ada malah dipenjarakan. Ibu marah karena dia tahu ayah enggak pernah nyolong, enggak pernah memberontak tapi dipenjara.”
Baca juga: Dua Panglima Bersimpang Jalan
Siti Rachma menghadapi kondisi yang berat. Untuk menghidupi keluarga dengan enam orang anak, dia harus berjuang menggantikan peran Moersjid sementara waktu. Meski terpukul dan sedih, Siti Rachma memiliki ketahanan yang tinggi. Pada 1970, Siti memulai usaha berjualan roti di rumahnya di Jalan Sutan Syahrir.
“Akhirnya Ibu banting tulang jualan roti, buka pukul 6 pagi tutup pukul 11 malam. Saya pulang sekolah ambil roti keliling Jakarta,” ujar Sida. “Makanya kami sekeluarga dapat hidup dengan baik.”
Usaha itu berhasil dilakoni hingga 1976. Ketika Moersjid menghirup udara bebas pada 1973, seluruh keluarga bersukacita, terutama sang istri Siti Rachma. Kebersamaan pasangan ini berlangsung hingga dua dekade kemudian. Siti Rachma lebih dahulu menghadap Sang Khalik. Itu terjadi pada 16 Februari 1992.
“Walaupun ia menderita diabetes, ia jalankan peran ibu dengan sangat baik (dan keras), makanya beliau wafat dalam usia relatif muda (63),” kenang Sida.