DUA jenderal penting bertarung di awal Orde Baru: Jenderal Soemitro versus Mayjen Ali Moertopo. Soemitro adalah panglima Kopkamtib merangkap wakil panglima ABRI. Sementara Ali, perwira intelijen merangkap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto.
“Ketika itu banyak intrik dilancarkan oleh Ali Moertopo dan orang-orang yang dekat dia seperti Soedjono Humardani. Dan ditiupkan berita bahwa Soemitro mau tampil merebut pimpinan,” kata mantan Wakil Kepala Staf AD (1973-74) Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia.
Sayidiman yang disebut-sebut sebagai orang dekat Soemitro mengatakan, Soemitro salah reaksi menghadapi Ali. Soemitro jemawa dengan kedudukannya sebagai orang kuat nomor dua setelah presiden. Tanpa disadari, Soemitro kalah lihai dari Ali yang sudah lama berkecimpung di dunia telik sandi. “Perang Bintang” ini berujung dengan meletusnya kerusuhan Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.
Baca juga: Malapetaka Politik Pertama
Soemitro kalah kuat. Dia pun terjungkal. Dianggap gagal menjaga keamanan, Soemitro mengundurkan diri dan karier militernya berakhir seketika. Di balik tragedi Malari, tersebutlah Ali Moertopo yang disinyalir merancang operasi khusus untuk melibas Soemitro.
“Soemitro terlalu yakin dengan kekuasaan sebagai Pangkopkamtib. Maka terjebak oleh kelihaian Ali Moertopo dengan Peristiwa Malari. Soemitro jadi korban,” ujar Sayidiman.
Adu Kuat
Konflik antara Soemitro dan Ali bermula setelah Pemilu 1971. Ali saat itu menjabat Kepala Operasi Khusus (Opsus). Dia berperan dalam menyukseskan pemilu lewat serangkaian operasi intelijen dan rekayasa politik. Dalam memoarnya, Soemitro mengaku pernah mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar membubarkan Opsus.
“Dengan adanya Opsus, bisa terjadi konflik kepentingan antarintel, misalnya dengan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) atau Intel Kopkamtib, sehingga wilayah pekerjaan mereka overlapping (tumpang-tindih). Kadang-kadang terjadi ketengangan yang sebenarnya tak perlu,” kata Soemitro kepada Ramadhan K.H dalam Soemitro: Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib.
Baca juga: Muslihat Opsus di Papua
Dalam pandangan Soemitro, Ali berambisi menjadi Kepala Bakin. Soemitro selamanya tak pernah setuju keberadaan Ali dalam Bakin. Dia lantas menyarankan agar Ali mengisi posisi menteri penerangan. Soeharto setuju namun Ali menolaknya. Dalam suatu pertemuan di markas Kopkamtib, Soemitro memperingatkan Ali yang menurut rumor ingin menggantikan Soeharto sebagai presiden.
“Jangan kamu mengadakan machtosvorming (pembentukan kekuatan) dengan tujuan untuk menjatuhkan dia (Soeharto). Kalau itu yang kamu lakukan, kamu akan berhadapan dengan saya,” demikian ultimatum Soemitro kepada Ali.
Baca juga: Pramoedya Ananta Toer dan Soemitro
Menurut Jusuf Wanandi, orang kepercayaan Ali Moertopo pendiri lembaga CSIS, Soemitro kerap bertindak arogan melampaui kewenangan sebagai Pangkopkamtib. Soemitro mencoba berperan sebagai perdana menteri atau orang kedua setelah presiden untuk menjalankan roda pemerintahan. Soemitro sering memanggil menteri-menteri ke kantor Kopkamtib dan rapat di sana. Soemitro atas nama Soeharto juga pernah memarahi Ali Moertopo perihal pernyataan Ali mengenai wilayah Sabah.
Pada September 1973, Soemitro bertindak lebih jauh lagi. Soemitro mengunjungi kampus-kampus dan meminta mahasiswa agar kritis dengan pemerintah. Kampanye Soemitro berhasil. Di kalangan mahasiswa, popularitas Soemitro cukup tinggi. Citranya lekat sebagai reformator di tengah kemuakan terhadap “jenderal politik” dan “jenderal uang” yang bernaung di bawah lembaga Aspri.
“Soemitro menuai simpati di kampus-kampus di Jawa ketika mengadakan perjalanan keliling secara kilat bulan November 1973,” tulis David T. Hill dalam Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis.
Baca juga: Kisah Jenderal Soemitro vs Kolonel Muammar Khadafi
Pada akhir tahun, Satuan Komando Garnisun Jakarta (Skogar) menarik semua pengawal dari kediaman Ali dan Soedjono. Akibatnya, kediaman kedua Aspri yang mendapat cap sebagai antek kapitalis Jepang ini diserang oleh aksi demonstran. Kemudian, Badan Intelijen Strategis (BAIS) menyadap jaringan telepon Ali dan Soedjono. Skogar dan BAIS memang unit militer yang berada di bawah otoritas Kopkamtib.
“Tindakan Soemitro merupakan rongrongan terhadap kekuasaan Soeharto,” tulis Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998.
Namun sebaliknya, menurut Sayidiman, Ali memang punya agenda politik yang lebih tinggi. “Ali ingin menjadi wakil presiden di bawah Pak Harto, untuk kemudian menggantikannya.”
Disingkirkan Soeharto
Malari pecah. Huru-hara mewarnai kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Pemerintah Indonesia terancam kehilangan investor modal potensial. Presiden Soeharto ikut merasa dipermalukan. Kerusuhan itu menempatkan Soemitro sebagai pejabat negara yang paling bertanggung jawab.
“Saya harus menyerahkan kembali tanggung jawab saya sebagai Pangkopkamtib kepada Presiden,” kata Soemitro. “Kejadian tanggal 15 Januari itu memang tanggung jawab saya.”
Baca juga: Ali Moertopo Disebut Pernah Jadi Agen Belanda
Soemitro memutuskan mundur dari jabatannya. Soeharto sempat menawarkan Soemitro opsi untuk “didubeskan” ke Washington, Amerika Serikat. Soemitro menolak dan memilih pensiun dini. Bukan hanya Soemitro, perwira-perwira yang sekubu dengan Soemitro ikut tersingkir dari gelanggang TNI. Kepala Bakin Sutopo Juwono dikirim ke Belanda sebagai duta besar. Termasuk pula Sayidiman, yang digeser menjadi gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas).
“Saya dituduh mengatur perwira-perwira muda,” ujar Sayidiman. “Ya dia (Ali Moertopo) lapor ke Pak Harto bahwa saya sebagai Wakasad mengatur perwira-perwira muda untuk turut Malari,” ungkapnya.
Baca juga: Ketika Asisten Pribadi Presiden Soeharto Berkuasa
Soeharto tak lengah. Dia tahu persis tindak-tanduk Ali Moertopo. Lembaga Aspri kemudian dibubarkan. Pasca-Malari, pengaruh Ali Moertopo berangsur-angsur pudar.
“Mula-mula Jenderal Soemitro yang tersingkir, dan terkesan Ali Moertopo yang keluar sebagai pemenang. Tapi secara perlahan, Moertopo juga dihabisi. Dan pemenang sebenarnya adalah Soeharto,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian.
Jalur-jalur jejaring intelijen Ali dikebiri setelah Soeharto menemukan sosok yang bisa lebih dipercaya: Leonardus Benny Moerdani. Untuk selanjutnya, Ali tak pernah lagi menempati posisi kunci dalam pemerintahan. Pada 1978, Ali Moertopo menjabat sebagai menteri penerangan selama satu periode. Posisi itu –yang pernah disarankan Soemitro– adalah pencapaian tertinggi Ali Moertopo sepanjang kiprahnya.
“Pada tahun 1980 berganti Ali Moertopo dipukul oleh Benny Moerdani. Ali curhat kepada saya tahun 1982 di Tokyo. Itulah story Malari 15 januari 1974,” kenang Sayidiman.*