Presiden Joko Widodo membuat kejutan ketika mengangkat beberapa staf khususnya dari kalangan milenial. Namun belum sempat menorehkan prestasi mentereng, salah satu dari mereka telah membuat blunder fatal. Andi Taufan Garuda Putra, staf khusus presiden bidang Usaha Mikro Kecil Menegah (UMKM) ketahuan menyurati camat se-Indonesia agar menggunakan jasa relawan PT Amartha Mikro Fintek dalam program penanggulangan Covid-19. Amartha merupakan perusahaan dimana Taufan duduk sebagai kepala eksekutifnya.
Tawaran kerja sama itu memantik polemik lantaran Taufan menggunakan kop resmi Sekretaris Kabinet dalam suratnya. Entah keliru atau kurang paham administrasi yang jelas isi surat itu menuai sorotan miring dari publik. Taufan sendiri telah minta maaf dan menarik kembali surat tersebut namun akibatnya mencelakai citra sendiri. Tindakannya tetap mendapat cercaan karena tersandung isu politik kepentingan.Taufan dianggap telah melampaui kewenangannya selaku staf khusus presiden.
Apa yang terjadi pada Taufan mengingatkan memori silam tentang lembaga Aspri (Asisten Pribadi) di masa Presiden Soeharto. Ketika menerima Supersemar pada 1966, Soeharto membentuk tim penasihat dalam lingkup Staf Pribadi (Spri). Mereka terdiri dari 6 orang perwira Angkatan Darat (AD) dan 12 orang profesional dari kalangan sipil.
Melebihi Menteri
Pada 1968, Soeharto mulai menjabat presiden. Dia membubarkan Spri kemudian menggantinya menjadi Aspri. Keanggotan Aspri lebih ramping karena hanya melibatkan perwira AD saja. Mereka antara lain Mayjen Ali Moertopo (Aspri urusan khusus), Mayjen Soedjono Hoemardani (Aspri urusan perekonomian), Letjen Suryo (Aspri urusan keuangan), dan Mayjen Tjkropranolo (Aspri urusan pengamanan presiden).
Dalam praktiknya, Aspri menjalankan peran dengan kewenangan yang besar di bidang masing-masing. Dua sosok Aspri yang paling disorot pada masa itu ialah Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Keduanya memang merupakan orang dekat Soeharto sejak masih mengenakan seragam tentara (semasa di Divisi Diponegoro yang berlanjut di Kostrad).
Ali Murtopo misalnya,yang diberi ruang gerak mengurusi intelijen. Dia memiliki keleluasaan menguasai sendi-sendi intelijen negara sehingga menyebabkan tumpang tindih dengan badan intelijen yang ada. Serangkaian Operasi Khusus (Opsus) pada awal kekuasaan Orde baru tidak lepas dari peran Ali Moertopo.
Baca juga: Muslihat Opsus di Papua
“Dengan adanya Opsus, bisa terjadi konflik kepentingan antar-intel, misalnya dengan Bakin atau Intel Kopkamtib, sehingga wilayah pekerjaan mereka overlapping. Kadang-kadang terjadi ketegangan yang sebenarnya tak perlu,” ungkap Soemitro, mantan Panglima Kopkamtib kepada Ramadhan K.H dalam Soemitro: Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkomkamtib.
Begitu pula dengan Soedjono yang bebas menjalin lobi dengan pihak asing dalam urusan penanaman modal di Indonesia. Soedjono kerap menjalankan misinya di negara mitra bisnis Indonesia tanpa sepengetahuan duta besar. Selain wara-wiri di luar negeri, Soedjono juga acap berlaku arogan dengan memanggil menteri kabinet rapat ke kantornya.
Baca juga:
Soemitro dan Ali, Kisah Duel Dua Jenderal
Demikialah secuplik aksi para Aspri Soeharto yang kiranya melewati batas kewajaran. Kehadiran Aspri bukannya tidak menimbulkan kegaduhan. Kritik malahan datang dari berbagai kalangan.
Kritik Anti Aspri
Mochtar Lubis jurnalis pemimpin redaksi Indonesia Raya menyigi betapa tindak tanduk Aspri kerap mencampuri urusan departemen yang sebenarnya bukan wewenang mereka. Beberapa Aspri umpamanya suka langsung memberi instruksi dan nota pada berbagai departemen. Mereka bahkan langsung memberi instruksi pada menteri sendiri. Ada pula yang langung mengirim nota kepada direksi bank negara untuk mengeluarkan kredit. Tanpa menyebut nama, Mochtar agaknya merujuk hal ini kepada Soedjono Hoemardani.
Menurut Mochtar banyak terjadi campur aduk antara pekerjaan Aspri dengan menteri. Ini semua hanya akan menyukarkan pekerjaan pemerintah sendiri saja. “Aspri tak boleh bertugas jadi semacam super-menteri atau menteri bayangan karena ini akan menimbulkan kekacauan belaka seperti yang sering dialami belakangan ini,” tulis Mochtar Lubis dalam tajuk rencana Indonesia Raya, 13 Juli 1970.
Tokoh pejuang Bung Tomo pun ikut menentang. Menurutnya jaringan-jaringan swasta yang difasilitasi Soedjono telah membuka praktik cukongisme dan hanya memperkaya golongan tertentu. Pun demikian dengan Ali Moertopo yang dalam pidato-pidatonya (yang terlalu banyak) sering membingungkan masyarakat. Dari semua Aspri, menurut Bung Tomo hanya Tjokropranolo tipe pembantu yang diperlukan presiden.
Baca juga: Persekutuan Jenderal dan Pengusaha
Mewakili generasinya, Bung Tomo menuangkan kritik itu dalam “Konsepsi Pejuang 45” yang ditujukan kepada pimpinan ABRI. Bung Tomo berharap agar Soedjono dan Ali dicopot dari Aspri dan dikembalikan ke ranah ABRI yang sesuai. Dalam arti, jauh dari “lahan basah”.
“Aksi-aksi keluar yang dijalankan oleh aspri-aspri presiden yang bersifat ‘cari rezeki’ dengan dalih apapun, dengan mempergunakan kewibawaan kekuasaan Jalan Cendana, sulit untuk ditolerir masyarakat,” ujar Bung Tomo dalam Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat
Kritik bahkan datang dari lingkungan kampus. Dalam Menentang Tirani: Aksi Mahasiswa “77/”78, Edy Budiyarso merekam aksi mahasiwa vokal pada masa itu yang mencecar Soedjono sebagai “dukun palsu” sebab dia memang disebut-sebut sebagai penasehat spiritual Presiden Soeharto. Sementara itu, Ali Moertopo dijuluki sebagai “calo politik”. Pada akhir 1973, mahasiswa melakukan unjuk rasa ke kediaman Ali dan Soedjono. Saat itu, duet Aspri ini kian lekat dengan predikat antek kapitalis Jepang.
Baca juga: Malapetaka Politik Pertama
Presiden Soeharto tetap membiarkan Aspri bekerja sampai Malapetaka 15 Januari 1974 pecah. Kerusuhan itu terjadi pada saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta. Namun menurut banyak pengamat peristiwa yang disebut “Malari” itu merupakan akumulasi dari berbagai persoalan, salah satunya dominasi Aspri dalam pemerintahan.
Pada 28 Januari 1974, Presiden Soeharto mengambil keputusan: Aspri ditiadakan. Para Aspri dipulangkan ke posisinya semula. Ali Moertopo menjabat lagi Deputi Bakin. Soedjono Hoemardani dikembalikan sebagai anggota DPR. Tjokropranolo menjadi Sekretaris Militer Kepresidenan. Suryo mengurusi Hotel Indonesia sebagai direktur. Sejak itu, Soeharto berkuasa penuh mengendalikan jalannya pemerintahan rezim Orde Baru.