Masuk Daftar
My Getplus

Baku Hantam Soemitro dengan Kenpeitai Jepang

Cerita masa muda yang liar dan menantang bahaya di zaman pendudukan Jepang. Jenderal mantan pangkopkamtib ini pernah menjotos agen intelijen polisi militer Jepang.

Oleh: Martin Sitompul | 01 Mar 2023
Jenderal Soemitro. Foto: Repro "Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib."

Sejak usia belasan, Soemitro telah keluar dari rumah. Dia tidak tinggal lagi bersama orang tuanya. Soemitro berkelana berjalan kaki. Seperti pendekar di cerita silat, dia berguru ke mana-mana mempelajari ilmu kanuragan. Dihadang di tengah jalan, bergelut dengan orang, hingga dikeroyok sudah biasa dilakoninya.

“Dikeroyok satu kampung, biasa ya waktu itu, berkelahi lawan sekolah lain. Sering berkelahi saya ini,” aku Soemitro dalam Majalah Tiara No.44, 19 Januari 1992.

Soemitro lahir di Desa Sebaung, Kecamatan Gending, Probolinggo pada 13 Januari 1927. Di daerah itu banyak berdiri pabrik gula yang disebut kawasan pabrik Gending. Menurut Soemitro lingkungan kebun tebu tempatnya tinggal sarat kekerasan dan kriminalitas. Keberadaan maling, perampok, dan begal adalah pemandangan lumrah. Itulah sebabnya Soemitro belajar silat supaya pertahanan fisiknya kuat dalam membela diri.

Advertising
Advertising

“Kalau masih muda saya ladingan (suka membawa pisau),” imbuh Soemitro dalam bahasa Jawa Timur-an yang khas dikutip Tiara.      

Baca juga: Hikayat Amat Boyan dan Pasukan Cap Kampak

Bermodal fisik yang tangguh dan nyali petarung, Soemitro mengadu nasib. Dengan bekal itulah Soemitro tertarik menjadi tentara di zaman pendudukan Jepang. Bersama Suwanda, Suyoso, Suwignyo –kawan-kawannya di Probolinggo–, Soemitro mendaftar sekolah perwira PETA di Surabaya pada 1944. Setelah lulus tes kesehatan, mereka dikirim ke Bogor untuk menjalani pendidikan selama empat bulan.   

Semasa sekolah perwira PETA, Soemitro merasakan betapa keras gemblengan Jepang. Soemitro sering dihukum bareng kawan-kawannya. Namun, di antara siswa seangkatannya, Soemitro terbilang anak paling kuat. Walaupun berpostur kecil untuk ukuran tentara, otot tubuhnya lumayan kekar. Terlebih lagi, Soemitro nekat menantang bahaya kendati lingkungan sekolah perwira menerapkan disiplin ketat.

“Saat itu, saya terkenal paling nakal dan sering keluar pagar asrama untuk cari makan dan mencuri makanan di dapur maupun di kamar sidhokang (instruktur),” tutur Soemitro dalam biografinya Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib yang disusun Ramadhan K.H.

Baca juga: Balada Seorang Instruktur Tua

Pada suatu malam, Soemitro bersama Sukaryadi dan Ponidi keluar pagar asrama untuk mencari makan. Sewaktu kembali ke asrama, Soemitro dan Ponidi berhasil menerobos masuk ke dalam asrama. Sukaryadi meloncat pagar belakangan, namun kadung tertangkap basah oleh Kapten Yanagawa, komandan pendidikan perwira PETA. Apes bagi Sukaryadi.

Soemitro mengenang Sukaryadi digebuki habis-habisan. Selama sepekan, Sukaryadi menjalani hukuman ala Jepang di-saseng, duduk bersila di atas kakinya. Pada siang hari, Sukaryadi diharuskan melakukan kendo, yaitu berkelahi dengan pedang. Ketika diinterogasi siapa saja kawannya yang ikutan kabur dari asrama, Sukaryadi bungkam. Dia malah memberi jawaban samar-samar. “Dari kompi 1 dan 2,” katanya. Sukaryadi tutup mulut rapat-rapat soal nama sekalipun dihukum berat. Rahasia Sukaryadi itu tidak ketahuan oleh Yanagawa hingga Soemitro menyelesaikan sekolah perwira.     

“Saya respek sama dia dan berutang budi padanya. Umpama dia menyebut nama kita berdua (saya dan Ponidi), tentu kita bertiga akan dikeluarkan dan saya tidak akan jadi jenderal,” celetuk Soemitro kepada penulis biografinya. Ketika Soemitro menjabat panglima Kopkamtib, Sukaryadi menjadi sekretaris dengan pangkat terakhir brigadir jenderal.

Baca juga: Perkawanan Dua Perwira AD

Setelah lulus, Soemitro menjadi perwira PETA yang bertugas sebagai ajudan komandan batalion (daidan fukan). Dia ditempatkan di Daidan V Probolinggo. Soemitro pernah dihukum lantaran enggan melaksanakan perintah sengnin shidokan (kepala instruktur). Soemitro hanya mau menerima perintah dari daidanco (komandan batalion)-nya saja. Insiden itu berakibat Soemitro dicopot dari posisi ajudan komandan batalion. Soemitro kemudian dipindahkan ke bagian sangyo gahari, perwira petugas perbentengan. Tugasnya membeli kayu bakar, membayar upah romusha, dan mengawasi pembuatan benteng. Kekecewaan itu dilampiaskan Soemitro dengan mencuri sepeda motor dari markas batalion.    

Kali lain, Soemitro hendak mengunjungi pacarnya di Leces. Dia berangkat menumpang kereta mengenakan seragam PETA. Saat itu tentara mendapat prioritas untuk fasilitas umum. Waktu membeli karcis, tiba-tiba seseorang menepuk Soemitro dari belakang. Soemitro ditegur karena menyelak antrean.

“Saya tahu dia itu Kenpeiho, pembantu Kenpeitai (polisi militer Angkatan Darat Jepang). Marah saya, saya hantam dia jatuh,” kata Soemitro dalam Tiara.

Baca juga: Ahmad Yani Berkelahi

Menurut Soemitro, dia sudah mengantongi jusaken, surat perintah jalan yang berlaku sebagai karcis kereta api. Namun, teguran di tengah keramaian stasiun membuatnya naik pitam. Soemitro bahkan hendak mencabut pedangnya untuk menghabisi si penegurnya itu. Tapi, kawan-kawan Soemitro keburu mengeroyoknya.

“Akhirnya saya nggak jadi ketemu bojo saya ha ha ha,” ujarnya terkekeh.  

Peristiwa baku hantam di stasiun itu tersiar sampai ke markas Kenpeitai. Ternyata orang yang dihajar Soemitro merupakan intelijen Kenpeitai berpangkat kopral. Soemitro pun dipanggil menghadap kenpei taicho alias komandan Kenpeitai. Soemitro sempat ragu. Kenpeitai terkenal kejam. Namun, setelah kawan-kawannya menyatakan akan berontak jika terjadi apa-apa, Soemitro yakin mendatangi markas Kenpeitai.

Baca juga: Tamparan Jenderal Mitro

Soemitro mengatakan, dirinya tidak terima ditegur bintara sedang dirinya adalah seorang perwira. Sang komandan mengerti sambil mengangguk-angguk. Dia berpesan kepada Soemitro agar jangan lekas marah. Di luar dugaan, kenpei taicho menawarkan rokok merk “KOOA” buatan Jepang, rokok paling enak yang pernah dihisap Soemitro.  Selidik punya selidik, Daidanco Sudarsono, komandannya Soemitro, adalah kawan akrab sang komandan Kenpeitai. Setelah pertemuan itu, Soemitro kembali ke markasnya main kartu.

Usai pendudukan Jepang, Soemitro melanjutkan karier militernya di TNI. Soemitro mencapai jenderal bintang empat sebagai panglima Kopkamtib yang cukup berpengaruh di masa awal Orde Baru. Dia dikenal sebagai Jenderal Mitro "gendut". Peristiwa huru-hara Malari 1974 menyebabkan Soemitro pensiun dini. Soemitro kemudian mengisi masa pensiunnya sebagai pengusaha dan tokoh masyarakat.

“Waktu muda saya keras. Kurangajar hehehe. Setelah tua lain, tepo seliro (tenggang rasa),” ujar Soemitro dikutip Tiara. Soemitro wafat pada 10 Mei 1998.  

Baca juga: Soemitro dan Ali Moertopo, Kisah Duel Dua Jenderal

TAG

soemitro pendudukan jepang peta tentara-jepang

ARTIKEL TERKAIT

Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Memburu Njoto Prabowo Berenang di Manggarai KNIL Jerman Ikut Kempeitai Kisah Perwira TNI Sekolah di Luar Negeri KNIL Turunan Genghis Khan Eks KNIL Tajir