Wartawan berita T-Online, Jonas Mueller-Töwe bersama rekannya meneliti arsip-arsip rahasia Dinas Intelijen Jerman (Bundesnachrichtendisenst atau BND) untuk mengungkap peran BND dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Hasil penelitiannya diterbitkan di t-online pada 13 Juli 2020.
Penelitian itu, sebagaimana dikutip dw.com, menyebut laporan internal BND tanggal 3 November 1965 menggambarkan pembantaian besar-besaran terhadap komunis. Dokumen tanggal 8 November 1965 menyebut permohonan mendesak para jenderal di Jakarta yang meminta dana sekitar 1,2 juta Deutsche Mark untuk pembersihan komunis.
“Tidak jelas, apakah uang itu akhirnya dikirimkan, karena masih ada beberapa dokumen BND yang tetap ditutup,” tulis dw.com.
Dokumen lain juga mengungkapkan hubungan dekat BND dengan Angkatan Darat sebelum peristiwa G30S. Tahun 1962 dan 1963, perwira-perwira intelijen Indonesia mendapat pelatihan di Jerman. “Kedekatan BND dengan Angkatan Darat memungkinkan kerja sama intelijen kedua negara berupa uang, peralatan, penasihat,” tulis dw.com.
Baca juga: DI Pandjaitan, Jenderal-Pendeta yang Gugur di Hadapan Keluarga
Kolonel D.I. Pandjaitan, Atase Militer Indonesia di Bonn, Jerman Barat, yang menangani pelatihan para perwira Angkatan Darat itu. Tragisnya, dia menjadi salah satu korban pembunuhan dalam peristiwa G30S.
“Kerja sama antara Angkatan Darat kita dengan Angkatan Perang Republik Federasi Jerman dibina suami saya, sehingga menghasilkan bantuan pendidikan bagi para perwira kita di Jerman,” kata Marieke Pandjaitan br. Tambunan dalam biografi D.I. Pandjaitan Gugur dalam Seragam Kebesaran.
Bantuan kerja sama itu meliputi pendidikan Sekolah Staf dan Komando (Sesko) di Hamburg, pendidikan NBC (nuclear, biological, dan chemical) Warfare, dan pendidikan intelijen di BND.
Perwira Angkatan Darat gelombang pertama yang mengikuti Sesko Bundeswehr atau Fuhrungsakademie der Bundeswehr di Hamburg antara lain Kolonel Soemitro, Kolonel Sayidiman Suryohadiprojo, Kolonel Ismael, Kolonel Claproth, dan Kolonel Acub Zainal.
Baca juga: Indonesia, CIA, BND, dan Crypto AG
Menurut Marieke, para perwira peserta pelatihan di Jerman tercatat dalam arsip administrasi kantor Atase Militer di Bonn sebagai MAD (Mahasiswa AD). Mereka sangat memerlukan perhatian Atase Militer, antara lain karena tunjangan uang saku mereka disesuaikan dengan peraturan SUAD-I waktu itu yang sangat terbatas. Tunjangan itu hanya sekitar 400 Deutsche Mark yang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Karena itu Atmil menggunakan kebijaksanaan untuk membantu mereka melalui berbagai cara, antara lain memberikan tunjangan tambahan dari dana khusus Atmil,” kata Marieke.
Soemitro dalam biografinya, Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib, menyebut bantuan itu meski tidak khusus dari Atmil. “Untung saya dibantu Kedutaan Besar dengan bensin serta membeli rokok dan minuman bebas bea,” kata Soemitro.
Baca juga: Intel Indonesia Dilatih Intel Israel
Soemitro mengikuti Fuhrungsakademie der Bundeswehr selama dua tahun (1962–1964). Namun, dia tidak menceritakan apa yang dipelajarinya di sana. Dia malah menyebut soal uang sangu dari Jenderal TNI Gatot Soebroto sebesar 5.000 Deutsche Mark untuk membeli mobil di sana.
Soemitro menyerahkan uang itu kepada Abang Batangtaris, mantan ajudan Bung Hatta, untuk membelikan mobil yang bisa dicicil. “Alhasil, dari honorarium DM1.000, saya setiap bulan harus membayar cicilan tersebut dan hidup hanya dari sisanya sebanyak DM500,” kata Soemitro.
Sekembalinya ke Indonesia, Soemitro menjabat Pangdam Mulawarman di Kalimantan Timur. Dia mendapat informasi peristiwa G30S dari Kepala Staf Kolonel Sukadyo dan Asisten Intel Mayor Sudjarwo. Soemitro juga bertemu dengan Kolonel Acub Zainal yang bertugas di perbatasan Kalimantan.
“Ketika peristiwa G30S/PKI terjadi, Acub Zainal sedang berada di perbatasan Kalimantan Timur. Dan mendapat teleks dari Pangdam Mulawarman. Ia baru tahu mengenai peristiwa ini setelah kembali dari perbatasan,” tulis Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk. dalam biografi Acub Zainal: I Love The Army.
Baca juga: Intel Indonesia Dilatih CIA
Tahun 1965 itu juga Acub Zainal ditugaskan berangkat ke Jerman. Dia menjalani pendidikan Fuhrungsakademie der Bundeswehr selama dua tahun. “Luasnya pergaulan Acub Zainal selama masa pendidikan di Jerman membuatnya memiliki mobil hingga dua buah,” tulis Nurinwa.
Sementara itu, Soemitro ditarik ke Jakarta. Dia diangkat menjadi Asisten II/Operasi Menpangad Jenderal TNI Soeharto untuk menjalankan kebijakan Angkatan Darat, yaitu menghancurkan PKI, memulihkan lembaga intelijen dan teritorial.
“Saya sendiri waktu itu tidak terlalu mengurusi politik,” kata Soemitro, “…karena fokus saya kepada operasi fisik, yakni penghancuran PKI dan penangkapan terhadap orang-orang PKI dan ormas-ormasnya.”
Namun, ketika menjabat Pangdam VIII/Brawijaya di Jawa Timur pada Juni 1966, Soemitro menetapkan tugasnya untuk menghentikan pembunuhan massal. “Karena selama sekian bulan sudah terlalu banyak pembunuhan-pembunuhan atau korban-korban dari pihak PKI maupun orang-orang yang tidak bersalah. Tiap hari hanyut mayat di sungai yang bukan main banyaknya,” kata Soemitro.
Baca juga: M. Jasin, Jenderal Penantang Soeharto
Dalam pertemuan dengan berbagai kalangan, di antaranya panglima angkatan, gubernur, tokoh sipil, pemimpin partai politik, pengusaha, perwakilan ormas, mahasiswa, dan wartawan, Soemitro menegaskan agar menghentikan pembunuhan.
“Setop gorok-gorokan,” kata Soemitro. “Gorok-gorokan jangan dijadikan kesenangan.”
Kemungkinan karena itu Soemitro diganti oleh Mayjen TNI M. Jasin yang ditarik dari Atase Militer di Moskow, Uni Soviet.
“Sekalipun Jenderal Soemitro telah merintis bangkitnya Orde Baru di Jawa Timur, tetapi dia tidak melihat gejala mencurigakan pada gerakan di Blitar Selatan yang dipimpin Rewang cs. Dan ini menjadi tantangan yang harus saya hadapi,” kata Jasin dalam biografinya, Saya Tidak Pernah Minta Ampun kepada Soeharto karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk.
Ketika melantik M. Jasin, Soeharto mengatakan bahwa pemerintah memerlukan seorang yang keras untuk meng-Orba-kan Jawa Timur. Jasin mengambil langkah pertama dengan pembersihan lingkungan.
“Waktu itu Pak Mitro sempat marah, karena saya melakukan pembersihan terhadap kakaknya yang menjadi Asisten Wedana di Probolinggo,” kata Jasin. “Saya juga melakukan pemecatan terhadap seorang kolonel bukan karena komunis tetapi PNI-ASU (Ali-Surachman).”
Baca juga: Penumpasan PKI di Surabaya
Salah satu komandan pembersihan komunis adalah Acub Zainal. Sepulang dari Jerman, dia diangkat oleh Soemitro sebagai Asisten Operasi Kodam VIII/Brawijaya. Dia kemudian diangkat menjadi Komandan Korem 084/Bhaskara Jaya di Surabaya.
“Di sini, Acub Zainal bertugas sebagai Komandan Operasi Sambar Raga untuk menormalkan keadaan dari sisa-sisa PKI yang masih bergerak di Surabaya. Di antaranya berhasil membongkar kegiatan PKI di Blitar Selatan,” tulis Nurinwa.
Karier Acub Zainal naik menjadi Pangdam XVII/Cenderawasih di Irian Jaya. Setelah itu, dia menjadi gubernur Irian Jaya. Dia juga berkiprah dalam olahraga (sepakbola) dan perfilman. Soemitro kemudian menjabat sebagai Panglima Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Wakil Panglima ABRI. Setelah Peristiwa Malari, Soemitro mengundurkan diri. Dia menolak jabatan duta besar dan memilih pensiun.
Sementara itu, M. Jasin sampai menjabat Wakil KSAD. Di masa pensiun, dia bergabung dengan Fosko (Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha), kelompok diskusi para purnawirawan ABRI, yang berusaha memberi masukan kepada pemerintah. Jasin kemudian terlibat dalam Petisi 50 yang berisi tokoh-tokoh nasional yang mengkritisi pemerintahan Soeharto.