DALAM laman Badan Intelijen Negara (bin.go.id) disebutkan bahwa pada 1952 Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX menerima tawaran Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA, Central Intelligence Agency) untuk melatih calon-calon intel profesional Indonesia di Pulau Saipan, Filipina.
Menurut Ken Conboy, penulis sejarah militer dan intelijen, tawaran itu datang dari Merle Cochran, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia. Cochran menyatakan bahwa pemerintah Amerika bersedia melatih kader-kader intelijen di Departemen Pertahanan dan berjanji bantuan ini akan diberikan secara diam-diam.
“Sebagaimana dengan penawarannya yang dilakukan secara diam-diam, kedua tokoh ini secara diam-diam menyetujuinya,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia.
Hatta menugaskan Sumitro Kolopaking, orang kepercayaannya di Biro Keamanan, yaitu badan setara kementerian yang mengkoordinasikan kegiatan operasi Departemen Pertahanan, untuk merekrut calon intel yang akan dikirim ke Saipan. Hasil seleksi dari 50 orang berusia pertengahan duapuluhan, terpilih 17 orang, termasuk anak Sumitro.
Di Pulau Saipan, mereka disambut oleh instruktur CIA, Gilbert Layton. Dia ditugaskan di CIA segera setelah badan ini dibentuk pada 1947 untuk melakukan operasi rekrutmen di lokasi pengungsian di Jerman, sebelum dipindahkan ke Saipan. Layton telah melatih para agen baru dari dua negera sekutu Amerika Serikat, yaitu Republik Korea dan Republik Cina Taiwan. Dan sekarang dia akan melatih para agen dari Indonesia.
Perintah pertama, Layton meminta agar mengosongkan isi kantong mereka –seperti foto dan rokok– yang dapat mengingatkan mereka ke negara asal. Kemudian, masing-masing mendapat nama panggilan ala Amerika untuk memudahkan komunikasi dengan para instruktur.
“Anak Sumitro yang nama aslinya Purboyo, sekarang dipanggil Bob. Kartono Kadri, seorang pemuda pendek asal Magelang, kini dipanggil Shorty. Seorang lainnya, mantan mahasiswa kedokteran dari Yogyakarta, menjadi Doc,” tulis Ken Conboy, yang mewawancarai Kartono Kadri pada 15 April 2003.
Selama dua bulan, mereka melakukan berbagai latihan berat yang diberikan pelatih CIA. Sebagian besar materi pelatihan ini dipusatkan pada keahlian paramiliter dan komunikasi morse. “Saya menembakan lebih banyak peluru di sini dibandingkan dengan selama lima tahun masa revolusi,” kenang salah seorang dari mereka.
“Pada saat itu,” tulis Conboy, “Shorthy dan Doc menunjukkan prestasi yang lebih menonjol dibandingkan siswa lainnya, sehingga selama satu bulan mereka mendapatkan instruksi khusus tentang peralatan dan metode analisa intelijen. Siswa yang lainnya tetap menjalani latihan paramiliter mereka.”
Setelah selesai menjalani latihan selama dua bulan, mereka kembali ke Indonesia, namun sudah banyak berubah. Sultan tidak lagi menjadi menteri pertahanan, organisasi intelijen BISAP (Biro Informasi Staf Angkatan Perang) dibubarkan dan penggantinya setiap angkatan perang memiliki unit intelijen sendiri. Sumitro di Biro Keamanan kemudian mengumpulkan agen alumni Saipan dalam organisasi Firma Ksatria.
Sepanjang tahun 1953, mereka dikirim ke berbagai tempat di Indonesia untuk melakukan berbagai macam tugas. Misalnya, Kartono Kadri ditugas ke Pontianak, Kalimantan Barat, untuk membuat survei mendalam tentang penduduk setempat yang keturunan Tionghoa dan berusaha menarik simpati mereka kepada Indonesia.
Walaupun kontingen pertama lulusan Saipan tidak didayagunakan secara penuh, pada pertengahan 1953 Amerika menganggap proyek ini layak untuk dilanjutkan. “Demikian juga pendapat Sultan dan Wakil Presiden, yang ternyata telah menugaskan Sumitro untuk menyusun peserta gelombang kedua yang berjumlah sembilanbelas orang guna dikirimkan ke Saipan,” tulis Ken Conboy, yang juga menulis buku tentang Kopassus.
Kontingen kedua ini diterbangkan dengan menggunakan pesawat amfibi dari sebuah pantai di Sulawesi Utara. Sesudah tiga bulan menjalani latihan di pangkalan CIA, mereka kembali dan mendarat di pantai selatan Jawa. Ketika gelombang kedua ini kembali ke Indonesia keadaan politik sedang tidak menentu.
Menurut Ken Conboy, walaupun para lulusan Saipan tetap menjadi anggota Firma Ksatria, tetapi bakat dan kemampuan mereka tidak terpakai sama sekali; beberapa dari mereka memilih kembali menuntut ilmu di universitas, dan lainnya menjadi pegawai di beberapa departemen pemerintah. Ironisnya, gerakan pemberontak di Sumatera dan Sulawesi mulai menerima bantuan rahasia CIA dan dua gelombang pemberontak Sumatera dikirim ke Saipan untuk menerima pelatihan yang sama.
[pages]