Panglima TNI Laksamana Yudo Margono angkat bicara menyoal kerusuhan warga Pulau Rempang yang menolak direlokasi. Yudo menginstruksikan prajuritnya agar tidak menggunakan senjata, melainkan memiting saja para pelaku kerusuhan. Sontak saja ucapannya soal main “piting” ini mencuat ke publik usai tersiar dalam dalam akun Youtube Puspen TNI.
“Umpanya masyarakatnya seribu, ya kita keluarkan seribu. Kalau satu (masyarakat-red) dipiting satu (prajurit-red) kan selesai. Ndak usah pakai alat, dipitingi aja satu-satu,” kata Yudo sembari tangannya memperagakan gerakan membekap.
Klarifikasi atas ucapan Panglima TNI datang dari Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksda Julius Widjojono. Menurutnya kata “piting” harus dimaknai dalam konteks yang berbeda. Dalam bahasa prajurit, imbuhnya, “piting” berarti “merangkul”. Jadi, setiap prajurit merangkul satu masyarakat sehingga terhindar dari bentrokan. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “piting” tidak berasosiasi dengan kata “rangkul”. Kata piting lebih bersifat intimidatif.
Apakah “piting” yang dimaksud Panglima Yudo bermakna sebenarnya atau kiasan, hanya dia sendiri yang mafhum. Namun, Yudo sendiri belakangan mengaku salah dan meminta maaf atas ucapannya tersebut. Ini berarti, kata piting yang dimaksudnya bermakna sebenarnya.
“Itu saya ngga tahu karena bahasa saya itu ndeso, yang biasa mungkin melaksanakan dulu waktu kecil kan sering piting-pitingan dengan teman saya tuh. Saya pikir dipiting lebih aman, karena memang kita tak punya alat,” kata Yudo seperti dikutip detik.com.
Baca juga: Jenderal Yani Memiting Anaknya
Lisan seorang panglima memang harus lugas. Bukan kiasan atau bersayap ke mana-mana sehingga sulit diterjemahkan oleh prajurit. Apalagi menyangkut misi atau operasi yang penting.
Jenderal Soemitro, misalnya, terang-terangan menyebut kata "gebuk" ketika menindak orang-orang PKI di Kalimantan Timur. Pada Februari 1965, Soemitro baru bertugas sebagai panglima Kodam Mulawarman menggantikan Brigjen Soehario Padmowirio alias Hario Kecik. Waktu itu massa PKI sedang berkembang pesat. Anggota PKI Kalimantan Timur didominasi oleh kaum buruh yang bekerja di kilang-kilang minyak.
Baru beberapa bulan bertugas, Mitro menggelar operasi penangkapan terhadap tokoh-tokoh PKI berikut ormas-ormasnya seperti Perbum, Sobsi, Gerwani dan Pemuda Rakyat. Wilayah Balikpapan ditutup, termasuk lapangan terbang dan pelabuhan udara. Para perwira militer Kodam Mulawarman yang disinyalir sebagai kader PKI bahkan dikenai tahanan rumah.
“Mengenai PKI bagi saya adalah chicken feed, karena telah pernah saya ‘gebuk’ atau tangkapi pada peristiwa sebelumnya, yaitu pada tanggal 1 Mei 1965 Hari Buruh itu,” kata Soemitro dalam Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib yang ditulis Ramadhan KH.
Baca juga: Tamparan Jenderal Mitro
Kali lain, Soemitro hendak “memegang” petinggi PKI Njoto. Kejadiannya tidak lama setelah Peristiwa G30S 1965. Mitro telah bertugas di Jakarta sebagai Asisten II/Operasi Menpangad. Sementara itu, Njoto menjabat wakil ketua CC PKI merangkap menteri negara.
Pada suatu sidang kabinet di Bogor, Mitro dibuat jengkel oleh ulah Njoto. Mitro melihat Njoto seperti berlagak angkuh. Dan laku itu ditujukan Njoto kepada Letjen Hidayat Martaatmadja yang menjabat Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata. Soemitro saat itu duduk bersebelahan dengan Deputi I Menpangad Mayjen Moersjid. Sambil menyikut lengan Moersjid, Mitro berujar dalam bahasa Belanda.
“Sjid, ik krig hem wel,” (aku akan dapatkan dia),” kata Soemitro dengan nada geram, “Benar, saya sakit hati melihatnya.” Tak butuh waktu lama bagi Mitro untuk mendapatkan Njoto.
Baca juga: Kala Dubes Amerika Nyaris Digebuk Jenderal Moersjid
“Saya perintahkan khusus untuk mengejarnya supaya ia terpegang. Selang beberapa waktu ia dikabarkan mati sudah,” aku Mitro. Begitulah Soemitro dengan ciri khas Jawa Timur-annya yang keras dan saklek.
Tidak hanya Mitro, Presiden Soeharto, orang Jawa Tengah yang dikenal halus sekalipun pernah juga berlisan keras. Padahal, di depan publik, Soeharto hampir selalu tampil sebagai pemimpin ceria, penuh senyum, dan santun. Kesan itulah yang kemudian melekatkan predikat The Smiling General (jenderal yang tersenyum) pada diri Soeharto.
Namun, senyum Soeharto berubah jadi murung penuh amarah ketika peristiwa Malari pecah tahun 1974. Soeharto dikabarkan begitu murka. Menteri Penerangan Mashuri Saleh merekam wajah Soeharto yang tegang dan “jelek” ketika membaca pemberitaan pers. Dia perintahkan Mashuri mencabut izin terbit bagi koran yang vokal memberitakan kerusuhan tersebut. Ketika Mashuri bertanya untuk berapa lama, Soeharto hanya menjawab tegas, “Tutup!”
“Tetapi, karyawannya banyak, Pak?” ujar Mashuri.
“Tutup!!” timpal Soeharto dengan nada keras.
Baca juga: Jurnalisme Kepiting Jakob Oetama
“Mashuri pun menyadari bahwa ruang dialog sudah tidak ada lagi. Itu berarti ia harus segera melaksanakan perintah Kepala Negara tanpa reserve,” ulas pakar komunikasi politik Tjipta Lesmana yang mewawancara Mashuri pada 1996, dalam Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa.
Salah satu koran yang turut jadi korban adalah harian Pedoman milik Rosihan Anwar. Menurut keterangan Mashuri kepada Rosihan di kemudian hari, setelah lewat 14 hari pencabutan izin terbit, dia bertanya lagi kepada Soeharto. Apakah surat kabar Pedoman boleh terbit kembali. Soeharto ketika itu menjawab dengan ketus dalam bahasa Jawa.
“Pateni wae (matikan saja),” kata Soeharto kepada Mashuri seperti dikisahkan Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 5: Sang Pelopor.
Baca juga:
Rosihan Anwar Jatuh Bangun Koran Kiblik
Meski Soeharto bukan lagi panglima tentara, dia adalah presiden yang tak lain panglima tertinggi dalam pemerintahan. Perintah lisan itu pun jadi suatu titah yang mesti terlaksana. Terlebih lagi, Soeharto adalah seorang mantan militer.
Sementara itu, Rosihan hanya bisa meratap.
“Maka tamatnya riwayat Pedoman, sebuah surat kabar yang mulai terbit di zaman revolusi,” kenangnya.