Masuk Daftar
My Getplus

Serba-serbi Derbi Si Merah dan Setan Merah

Rivalitas paling panas dalam sepabola Inggris. Bermula dari persaingan ekonomi dan industri.

Oleh: Randy Wirayudha | 08 Mar 2023
Papan skor Stadion Anfield sudah berbicara banyak bagaimana Manchester United dibuat remuk redam Liverpool (liverpoolfc.com)

RIVALITAS acap jadi bumbu dalam sepakbola. Di Indonesia ada rivalitas Persija-Persib, di Argentina ada derbi sengit River Plate-Boca Juniors, dan di Spanyol ada Real Madrid kontra Barcelona. Namun yang paling menyita perhatian sekolong langit tetaplah rivalitas di liga Inggris –sang negeri pencipta sepakbola modern, yakni antara Liverpool dan Manchester United (MU).

Sejarah baru tercipta di Stadion Anfield, Minggu (5/3/2023), dalam matchday ke-25 Premier League musim 2022-2023. Tuan rumah Liverpool menggebuk tamu “kehormatannya”, Manchester United, dengan skor telak, 7-0. Kemenangan itu tentu jadi penyuntik kebangkitan “The Reds” (julukan Liverpool) yang belakangan tertatih-tatih.

“Hasil yang gila. Saya pikir, cara kami memulai laga sangat spesial, yang terbaik sejak sekian lama. Ketika kalah sebelumnya, Anda pasti menginginkan versi terbaik dari diri Anda sesegera mungkin. Perbedaan utamanya adalah, sekarang kami diperkuat pemain terbaik kami lagi,” kata pelatih Liverpool Jürgen Klopp di laman resmi klub, Senin (6/3/2023).

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Klopp dan Liverpool yang Klop

Jürgen Norbert Klopp memeluk Cody Mathès Gakpo yang tampil eksplosif (premierleague.com)

Skuad besutan Klopp itu sejak Januari memang kesulitan menemukan performa terbaiknya. Jika sang musuh bebuyutan yang ditukangi Erik ten Hag perlahan tapi pasti mampu on fire, Liverpool justru terpuruk. Setelah dipermalukan Brentford 1-3 pada 3 Januari; Liverpool dua kali dipukul Brighton & Hove Albion 3-0 pada 14 Januari dan 2-1 pada 29 Januari; dibekuk Wolverhampton Wanderers 3-0 pada 14 Februari, serta dihajar Real Madrid 5-2 di Liga Champions pada 22 Februari.

Namun keadaannya berbeda ketika meladeni sang rival. Dan dalam 129 tahun sejarah rivalitas keduanya, skor itu jadi yang terbesar di markas Liverpool. Kemenangan terbesar Liverpool di kandang “Setan Merah” (julukan Manchester United) terjadi pada 11 September 1946 ketika tuan rumah digempur 5-0 oleh Si Merah.

Baca juga: Derita Barcelona

Liverpool melecut kebangkitan di Anfield dengan menggilas bebuyutannya (liverpoolfc.com)

Mula Tensi Panas

Meski hooliganisme yang anarkis sudah sirna dari tanah Inggris sejak Tragedi Heysel (29 Mei 1985) dan Tragedi Hillsborough (15 April 1989), fanatisme suporter kedua klub masih sangat kental, bahkan menjamah sampai ke ubun-ubun yang menyebar ke sejumlah basis fans di luar Inggris. Tak ayal rivalitas MU dan Liverpool –acap disebut “Northwest Derby”– lebih menyita perhatian dunia ketimbang derbi sekota masing-masing, baik antara MU kontra Manchester City atau Liverpool vs Everton.

MU lahir pada 1878 dengan nama Newton Heath –nama Manchester United FC baru disandang pada 24 April 1902. Sedangkan Liverpool FC lahir 14 tahun berselang, yakni pada 3 Juni 1892. Namun, rivalitas kedua tim itu tak berasal dari lapangan hijau, melainkan imbas dari persaingan ekonomi dua kota industri yang sama-sama mengklaim sebagai kota terbesar kedua di Inggris Raya setelah London.

“Mayoritas populasi Manchester dan Liverpool juga berasal dari kalangan pekerja. Kota imigran yang sebagian besar berasal dari Irlandia. Keduanya menjadi adidaya ekonomi. Liverpool mengklaim diri sebagai pelabuhan terbesar di dunia, gerbang menuju Amerika Utara. Sedangkan Manchester menyebut dirinya, ‘Cottonopolis’, kota pertama terjadinya revolusi industri. Maka tak heran sampai muncul ungkapan: Manchester membuat dan Liverpool menjual,” tulis Andy Mitten dalam Mad for It: From Blackpool to Barcelona, Football’s Greatest Rivalries.

Baca juga: Kontroversi Iringi Sejarah Arsenal

Industrialisasi di kota Manchester dan Liverpool itu sendiri berkembang pesat sejak 1830, tepatnya ketika jalur keretaapi antarkota pertama di dunia dibuka. Jalur itu menghubungkan Stasiun Crown Street di Liverpool dan Stasiun Victoria di Manchester. Alhasil bahan-bahan baku untuk sejumlah industri di kota Manchester dan Liverpool tak lagi hanya bisa diangkut dengan transportasi air via Kanal Bridgewater dan Kanal Mersey and Irwell Navigation. Transportasi lewat jalur darat  tentu lebih cepat.

Namun meski jalur keretaapi sudah dibuka, tetap saja para pebisnis “Mancunian” “kudu” membayar bea ekspor-impor bahan-bahan baku mereka yang diangkut dengan kapal yang bersandar di pelabuhan Liverpool. Seiring perkembangan industri, para industrialis Manchester makin membutuhkan solusi yang lebih murah untuk pengangkutan bahan-bahan baku industri tekstil mereka. Maka sejak 1882, industrialis Daniel Adamson, sebagaimana disitat dari The Manchester Ship Canal karya David Owen, melontarkan gagasan pembangunan sebuah kanal yang bisa menghubungkan kota Manchester langsung ke laut tanpa harus melewati pelabuhan di Liverpool. Gagasannya menghasilkan komite bernama Provisional Manchester Ship Canal Committee, yang lalu mengusulkan gagasan itu ke parlemen.

Cetak biru rencana Manchester Ship Canal (kiri) & industrialis Daniel Adamson yang menggagasnya (Bibliothèque Nationale de France/transportarchive.org.uk)

Setelah tiga kali diajukan, usulan itu disetujui parlemen pada 2 Mei 1885 –memicu protes keras Dewan Pelabuhan Mersey yang mewakili kota Liverpool. Parlemen lalu mengesahkan Undang-Undang Kanal Kapal Manchester 1885 sebagai payung hukumnya.

“Beberapa kondisi turut disematkan (ke legislasinya); wajib menggalang dana 5 juta poundsterling, dan perusahaan kanalnya diwajibkan mengakuisisi Kanal Bridgewater dan Kanal Navigasi Mersey & Irwell dalam waktu dua tahun. Perkiraan biaya pembangunannya mencapai 5,16 juta poundsterling, dan diharapkan rampung dalam waktu empat tahun,” ungkap Owen.

Baca juga: Aston Villa Punya Cerita

Kanal Kapal Manchester sepanjang 58 kilometer akhirnya rampung pada 7 Desember 1893 dan resmi dibuka pada 1 Januari 1894. Dengan kanal itu, jalur transportasi laut tak lagi melalui Liverpool melainkan start dari Dermaga Eastham Locks dan berakhir di Salford Quays yang memberi akses langsung menuju Laut Irlandia.

“(Kota) Liverpool dan perusahaan keretaapi boleh saja meninggalkan rasa cemburu dan cemasnya; Kanal sudah dibangun dan akan bertahan. Akan ada lebih banyak potensi masa depan terkait kerjasama dengan asas saling menghormati. Hadirnya kanal untuk meningkatkan distribusi dan produksi komoditas. Liverpool sudah lama menikmati kontroversi besarnya karena mengabaikan permintaan pengurangan tarif keretaapi,” demikian diberitakan The Manchester Guardian edisi 1 Januari 1894.

Lukisan pembangunan Manchester Ship Canal karya Benjamin Williams Leader (galleryoldham.org.uk)

Mitten menambahkan, hadirnya kanal baru itu tentu berimbas pada perekonomian kota masing-masing. Sedikit demi sedikit itu melahirkan kebencian baik dari kalangan elit industri maupun, yang utama, pekerja pelabuhan Liverpool dan para buruh industri Manchester yang tentu menjadikan kegiatan menonton sepakbola sebagai hiburan kota itu.

“Tensinya makin tinggi setelah kanal itu selesai pada (Januari) 1894 atau tiga bulan menjelang pertemuan perdana antara Liverpool dan Newton Heath (nama lama Manchester United, red.) dalam sebuah laga play-off yang akan menentukan siapa yang bakal degradasi ke Divisi Kedua,” sambung Mitten.

Baca juga: Ketika Duo Manchester dan Liverpool Terlibat Match Fixing

Di era itu, pemenang divisi ketiga atau divisi kedua Football League tak otomatis promosi ke divisi di atasnya. Liverpool sebagai pemenang divisi kedua musim 1893-1894 harus melalui play-off Football League Test Match yang turut diikuti tim berposisi kedua dan ketiga divisi kedua serta tiga tim terbawah divisi pertama. Kebetulan, Newton Heath berada di juru kunci klasemen akhir divisi pertama.

Pertemuan pertama Liverpool kontra Newton Heath di laga play-off itu terjadi pada 28 April 1894 di tempat netral, Stadion Ewood Park. Hasilnya, Newton Heath harus rela turun kasta lantaran kalah 0-2 dan Liverpool promosi ke divisi pertama. Meski itu jadi titik nol rivalitas keduanya, tensi rivalitasnya pasang-surut hingga pasca-Perang Dunia II.

“Setidaknya rivalitas United dan Liverpool berlandaskan saling respek sampai era 1960-an, di mana beberapa pemain Manchester United saat sedang tidak ada pertandingan bahkan menonton Liverpool. Mantan gelandang United Pat Crerand bahkan mengatakan, ‘kami mendukung The Kop (julukan Liverpool)’,” lanjutnya.

Skuad Newton Heath (kiri) dan Liverpool musim 1892-1893 (The Graphic tahun 1892/lfchistory.net)

Pelatih Liverpool Bill Shankly dan pelatih MU Matt Busby juga bersahabat dekat karena keduanya berasal dari Lanarkshire, Skotlandia. Busby juga pernah bermain untuk Liverpool semasa berkarier sebagai pemain (1936-1945).

Saling respek itu terjadi seiring menjalarnya hooliganisme di kalangan suporter pada 1960-an. Rivalitasnya tak kondusif ketika memasuki 1980-an. Pelatih MU Ron Atkinson mendeskripsikan setiap MU tandang ke Stadion Anfield ibarat Perang Vietnam.

“Suatu kali kami baru keluar bus dan tiba-tiba sesuatu mengenai kami dan penglihatan semua orang menjadi hilang. Saya mengira itu adalah lemparan atau semprotan cat tapi ternyata kami dilempari gas air mata. Kami berjalan dengan setengah buta saat menuju ruang ganti,” kenang Atkinson.

Baca juga: Berkabung untuk Setan Merah

Hingga akhir 1980-an, sorakan saling ejek antarsuporter makin tajam. Fans Liverpool seringkali menyanyikan lagu tentang “Munich Air Disaster” –kecelakaan pesawat di Munich, Jerman Barat pada 6 Februari 1958 yang menewaskan banyak punggawa utama MU.

“Tetapi semua itu terhenti setelah Petaka Hillsborough 1989. Hanya sebagian oknum saja yang masih melakukannya. Sebagian besar fans United menghormati kampanye fans Liverpool yang mencari keadilan bagi 96 korbannya,” tandas Mitten.

William 'Bill' Shankly (kiri) dan Sir Alexander Matthew 'Matt' Busby dikenal bersahabat dekat (liverpoolfc.com/manutd.com)

TAG

manchester liverpool liga inggris sepakbola

ARTIKEL TERKAIT

Rossoblù Jawara dari Masa Lalu Lima Jersey Sepakbola Kontroversial Philippe Troussier si Dukun Putih Momentum Bayer Leverkusen Dua Kaki Andreas Brehme Petualangan Tim Kanguru Piala Asia Tanpa Israel Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Ingar-Bingar Boxing Day Sinterklas Terjun hingga Tumbang di Stadion