LANGKAH Portugal masih berlanjut di Piala Eropa 2024 dengan lolos ke babak 16 besar. Tak hanya tampil impresif, Portugal juga meninggalkan rekor tersendiri sepanjang penyisihan hingga jadi juara Grup F yang ditorehkan megabintang Cristiano Ronaldo, bek veteran Pepe Ferreira, dan winger muda Francisco Conceição sang anak dari pemain legendaris Sérgio Conceição.
Bagi Cristiano, ia sukses menyegel rekor pribadinya sebagai pemain pertama yang tampil di enam Piala Eropa sejak 2004 dengan total 28 laga dan 14 gol. Adapun Pepe didaulat menjadi pemain paling tua (41 tahun, 117 hari) seiring tampil di laga pembuka Grup F kontra Ceko, melewati rekor sebelumnya yang dipegang kiper Hungaria Gábor Király di Piala Eropa 2006 (40 tahun, 86 hari).
Partai Portugal kontra Ceko di Red Bull Arena, Leipzig, 18 Juni 2024 juga jadi momen bersejarah bagi Francisco Conceição. Tampil sebagai pemain pengganti di pengujung laga, pemain berusia 21 tahun itu berjasa sebagai super-sub dengan mencetak gol penentu kemenangan Portugal, 2-1, di menit ke-90+2.
“Francisco adalah contoh tentang apa artinya menjadi pemain yang pantas berada di tim dan sigap untuk membantu. Ia punya kedewasaan luar biasa dan ia menunjukkan aura berbahaya di kotak penalti. Bagi seorang pelatih, melihatnya berangkat dari bench dan membuktikan diri itu sangat penting,” puji pelatih timnas Portugal Roberto Martínez, dilansir Eurosport, 19 Juni 2024.
Baca juga: Cristiano Ronaldo, Lebah Kecil dari Madeira
Itu jadi gol perdana Francisco Conceição di timnas senior Portugal. Lebih bermakna lagi karena ia turut menorehkan rekor ayah dan anak yang mampu bikin gol di pentas Piala Eropa. Sang ayah Sérgio Conceição juga pernah punya catatan hat-trick 24 tahun lampau, tepatnya di laga penyisihan Grup A Piala Eropa 2000 ketika Portugal melibas Jerman, 3-0, di Feijenoord Stadion, Rotterdam, 20 Juni 2000.
Dari sedikit catatan di Piala Eropa, hanya ada dua pasang ayah dan anak yang pernah bikin gol di turnamen paling populer kedua setelah Piala Dunia itu. Sebelum Francisco dan Sergio Conceição, ada pasangan ayah dan anak: Enrico (Euro 1996) dan Federico Chiesa (Euro 2020).
Selain itu, hanya terdapat sedikit rekor anak yang menyusul ayahnya tak hanya berusaha mengukir caps di Piala Eropa tapi menyamai prestasi ayahnya yang pernah juara. Memang, tidak semua berhasil. Berikut 10 pasangan anak dan ayah yang lain:
Gheorghe Hagi & Ianis Hagi (Rumania)
Untuk kedua kalinya, Rumania sukses lolos ke fase gugur. Setelah mencapai perempatfinal di Euro 2000, kini di Euro 2024 Rumania dengan para pemain mudanya, termasuk Ianis Hagi, memastikan diri ke babak 16 besar setelah menjuarai Grup E.
Gelandang berusia 25 tahun itu merupakan putra bungsu eks bintang Real Madrid, Barcelona, dan timnas Rumania Gheorghe Hagi. Sayang ayah yakin Ianis masih bisa berbuat lebih dalam kariernya, baik di Piala Eropa maupun di klub. Ianis saat ini berstatus pemain Glasgow Rangers yang sedang dipinjamkan ke Deportivo Alavés.
“Ia (Ianis) punya pengalaman di Eropa. Bermain di level teratas di tim nasional semua jenjang. Dan ia sudah pernah menang kejuaraan di Barat (Liga Primer Skotlandia) di usia 21 tahun. Bersama Rangers ia jadi pemain muda terbaik seiring juara liganya,” kata sang ayah, disitat talkSPORT, Rabu (26/6/2024).
Baca juga: Sembilan Ayah dan Anak di Arena F1 (Bagian I)
Gheorghe Hagi sendiri punya catatan 124 caps bersama timnas Rumania dengan 35 gol kurun 1983-2000. Playmaker kelahiran Săcele, 5 Februari 1965 itu tercatat pernah tampil di tiga Piala Eropa (1984, 1996, 2000) dan tiga Piala Dunia (1990, 1994, 1998).
Penampilan terbaiknya terjadi di Piala Dunia 1994 dan Euro 2000 saat ia sebagai kapten berjasa membawa Rumania sampai ke perempatfinal. Sebagai pemuncak Grup A PD 1994, Rumania sukses menekuk Argentina di 16 besar namun langkahnya dihentikan Swedia lewat adu penalti di perempatfinal. Di Euro 2000, Rumania sebagai runner-up Grup A yang notabene merupakan grup maut karena juga dihuni Portugal, Inggris, dan Jerman.
“Walaupun sedang tak prima karena (pemulihan) cedera, saat itu tidak ada satupun pemain Jerman yang mampu menghentikan Hagi,” kata rekan setimnya, Dorinel Munteanu, kepada The Guardian, 12 Juni 2000.
Hagi hanya absen di laga penyisihan terakhir kontra Inggris yang dimenangkan Rumania, 3-2, gegara akumulasi kartu kuning. Walau kemudian tersingkir di perempatfinal usai kalah 0-2 dari Italia, itu jadi catatan terbaik Rumania sejak debutnya di Euro 1984.
Jan Verheyen & Gert Verheyen (Belgia)
Belgia memang jadi debutan di Piala Eropa 1972 seiring jadi tuan rumah, namun tim berjuluk Les Diables Rouges alias “Setan Merah” itu tak mengecewakan publik tuan rumah. Belgia sukses memenangkan perebutan juara ketiga kontra Hungaria, 2-1. Salah satu pilar utama yang berperan mendongkrak performanya adalah Jan Verheyen.
Pemain kelahiran Hoogstraten, 9 Juli 1944 ini merupakan gelandang Beerschot VAC (1961-1971) dan kemudian membela RSC Anderlecht (1971-1975). Ia sudah jadi punggawa timnas Belgia sejak 1965, lantaran punya prestasi turut membawa Beerschot memenangi Belgian Cup (1970-1971) serta dua kali membawa Anderlect juara liga teratas (1971-1972, 1973, 1974).
Sejarah itu diteruskan oleh putranya, Gert Verheyen, yang membela timnas Belgia kurun 1994-2002 dengan total 50 caps. Gert yang juga jadi striker andalan di klub ayahnya, Anderlecht (1988-1992) dan Club Brugge (1992-2006), turut jadi tulang punggung timnas Belgia di Piala Dunia 1998 dan 2002 serta Euro 2000 yang juga dihelat di Belgia bersama co-host Belanda.
Baca juga: Sembilan Anak dan Ayah di Arena F1 (Bagian II – Habis)
Namun, di Piala Eropa edisi ke-11 itu Gert gagal mencetak satu pun gol. Belgia pun gagal lolos dari persaingan di penyisihan Grup B yang juga berisi Türkiye, Italia, dan Swedia. Di musim itu pula Gert merasa musim terberatnya. Setelah gagal lolos dari grup di Piala Eropa, ia mesti menelan pil pahit di klub.
“Musim itu jadi titik rendah sepanjang karier saya ketika kami juga gugur di fase ketiga UEFA Cup usai disingkirkan Olympique Lyonnais dengan kekalahan (tandang) 3-0 walaupun di laga kandang kami menang 4-1,” kenang Verheyen di laman resmi UEFA, 27 September 2005.
Johan Cruyff & Jordi Cruyff (Belanda)
Naga-naganya, hampir semua pecinta sepakbola mengenal siapa Johan Cruyff. Bintang Belanda era 1970-an itu jadi ujung tombak filosofi total football-nya timnas Belanda yang ia bela kurun 1966-1977 dengan total 48 caps resmi dan 33 gol. Setelah sukses membawa Belanda jadi runner-up Piala Dunia 1974, Cruyff turut membawa Belanda lolos kualifikasi Euro 1976.
Di Piala Eropa edisi kelima itu sayangnya Cruyff gagal meloloskan Belanda sampai ke partai puncak. Di semifinal, Belanda keok 1-3 dari Cekoslovakia (kini Rep. Ceko dan Slovakia). Salah satu faktor kegagalannya adalah star syndrome Cruyff sendiri yang membuat situasi internal skuad kurang kondusif antara dirinya, pelatih baru George Knobel, dan beberapa pemain lain.
“Sejak kualifikasi (Euro 1976) Cruyff seperti punya status di atas pelatih Knobel. Beberapa kali juga terlambat datang untuk berkumpul dengan tim di hotel. Para pemain yang mencoba protes seperti Jan van Beveren dan Willy van der Kuijlen terpaksa meninggalkan skuad. Hans Kraay juga mengatakan, ‘bekerjasama dengan Cruyff harus melibatkan kerelaan menerima kepribadiannya atau jadi musuh’,” ungkap Auke Kok dalam Johan Cruyff: Always on the Attack.
Baca juga: Ada Apa dengan di Piala Dunia 1978?
Perhelatan itu jadi Euro satu-satunya Cruyff sampai kemudian di timnas Belanda baru hadir lagi pemain yang menyandang nama “Cruyff” dua dekade berselang, yakni di Euro 1996. Tak lain ialah Jordi Cruyff, playmaker kelahiran Amsterdam, 9 Februari 1974 yang juga berkarier di klub lama ayahnya, Barcelona (1994-1996).
Jordi dipanggil pelatih Guus Hiddink ke skuad Belanda di Piala Erpoa 1996 berkat penampilannya yang apik selama tampil di Barcelona. Walaupun ayahnya dipuja jadi legenda, Jordi punya satu catatan yang tak pernah dimiliki Johan, yakni torehan gol di Piala Eropa. Jordi menyumbangkan satu gol dalam kemenangan 2-0 Belanda atas Swiss di penyisihan Grup A. Sayang, Belanda akhirnya tersingkir di perempatfinal usai kalah adu penalti 4-5 dari Prancis.
“Debutnya di skuad nasional Belanda dan keikutsertaannya pada Euro 1996 jadi hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya karena pemanggilannya oleh Guus Hiddink adalah urusan pribadinya dan saya sama sekali tidak memengaruhi siapapun. Emosi saya meledak saat Jordi mencetak gol ke gawang Swiss,” kenang Johan Cruyff dalam otobiografinya, My Turn: A Life of Total Football.
António Veloso & Miguel Veloso (Portugal)
Portugal melakoni debut di Piala Eropa pada 1984. Hebatnya, Portugal jadi kuda hitam yang jadi runner-up Grup 2 dan melaju hingga semifinal. Faktornya adalah tangguhnya lini pertahanan, di mana salah satu pilarnya adalah full back António Veloso.
Meski begitu, tembok pertahanan Portugal terbongkar juga oleh Michel Platini dkk. dengan susah payah. Portugal akhirnya harus mengakui kekalahan 2-3 dari Prancis yang berlangsung hingga babak extra time.
“Melawan Portugal (di semifinal) mestinya kami bisa menang 2-0 ata 3-0 namun mereka mampu membuatnya menjadi 1-1 dan kemudian 2-1. Di perpanjangan waktu kami punya gairah lebih untuk menang, terlebih setelah Jean Tigana bilang bahwa kami tak pernah menang adu penalti dan itu yang harus kami hindari,” kenang Platini di laman resmi UEFA, 4 Oktober 2003.
Itu jadi Euro pertama dan satu-satunya bagi António karena Portugal baru lolos lagi di Euro 1996 atau dua tahun usai António pensiun dari timnas. Akan tetapi klannya di timnas berhasil diteruskan oleh putranya, Miguel Veloso, yang tercatat memperkuat timnas kurun 2007-2015. Miguel turut dalam skuad Portugal di Euro 2008. Ia melakoni debutnya sebagai gelandang kala Portugal kalah 0-2 dari Swiss di laga penyisihan Grup A.
Jika di Euro 2008 hanya sekali tampil, pada Euro 2012 Miguel sudah tampil jadi gelandang utama di skuad IX Portugal besutan Paulo Bento. Bahkan Veloso dkk. mampu lolos ke fase gugur sebagai runner-up di Grup B alias “grup maut” yang juga dihuni Jerman, Denmark, dan Belanda. Langkah Portugal kemudian terhenti di semifinal usai kalah adu penalti 2-4 dari Spanyol.
Baca juga: Pahit-Manis Kisah Martunis