Masuk Daftar
My Getplus

Sembilan Anak dan Ayah di Arena F1 (Bagian II – Habis)

Tak selamanya anak selalu di bawah bayang-bayang ayahnya. Empat pembalap F1 di bawah ini justru punya prestasi lebih tinggi.

Oleh: Randy Wirayudha | 04 Des 2020
Mick Schumacher mengenang masa-masa kejayaan sang ayah, Michael Schumacher dalam sejumlah memorabilia museum Scuderia Ferrari di Maranello. (Instagram @mickschumacher).

SUDAH tujuh dasawarsa Formula One (F1) bergulir sejak ajang perdananya pada 1950. Sejak itu pula bermunculan regenerasi pembalap dari ayah ke anak yang meramaikan pentas balap mobil kasta teratas itu. Ada 13 pasang ayah-anak yang membalap di lintasan F1. Mick Schumacher jadi yang teranyar.

Mick adalah putra Michael Schumacher, pemilik tujuh gelar dunia F1 (1991-2012). Rekor itu belum bisa dipecahkan pembalap manapun saat ini. Namun, tim Haas F1 memastikan perekrutan Mick pada musim 2021 bukan semata untuk jadi bayang-bayang sang ayah.

“Mick memenangkan banyak balapan, mengoleksi raihan podium dan membuktikan punya bakat luar biasa pada 2020 (di Formula 2, red.). Saya yakin dia pantas mendapatkan kesempatan balapan di Formula 1 berdasarkan performanya sendiri dan saya sangat menantikan kontribusi Mick di dalam maupun di luar trek,” ujar team principal Haas F1 Guenther Steiner di laman resmi tim, Selasa (1/12/2020).

Advertising
Advertising

Baca juga: Apa Kabar Michael Schumacher?

Dari ke-13 pasangan ayah dan anak di pentas F1, tak semuanya punya kiprah cemerlang baik si ayah maupun si anak. Empat pasang ayah-anak dengan karier tak moncer adalah Manfred (1980-1985) dan Markus Winkelhock (2011-2012), Jonathan 1983-1989) dan Jolyon Palmer (2016-2017), Satoru (1987-1991) dan Kazuki Nakajima (2007-2009), serta Jan (1995-1998) dan Kevin Magnussen (2014-2020).

Sisanya, sembilan pasang ayah-anak, punya tinta emas dalam sejarah F1. Sebelumnya sudah diuraikan empat pasang ayah-anak pembalap F1 nan gemilang. Berikut empat lainnya:

Wilson dan Christian Fittipaldi

Wilson Fittipaldi Júnior (kiri) & Christian Fittipaldi. (formula1.com/forzaminardo.com).

Seperti halnya keluarga Brabham atau Schumacher, nama Fittipaldi juga turut menggurita di kancah F1 lantaran hampir semua anggota keluarganya bersentuhan dengan dunia balap. Wilson Fittipaldi Jr. yang lahir di Hari Natal tahun 1943 di São Paulo, Brasil, jadi pionirnya. Olahraga balap sejak kecil bukan barang baru baginya mengingat sang ayah, Wilson Fittipaldi Sr., merupakan jurnalis dan komentator balap motor dan mobil.

Namun, karier Wilson di F1 sepanjang 1972-1975 bersama tim Brabham dan Copersucar –yang didirikannya sendiri– justru berada di bawah bayang-bayang sang adik Emerson Fittipaldi. Emerson dua kali merebut gelar juara dunia F1, musim 1972 dan 1974. Satu-satunya podium yang dicicipi Wilson hanya juara ketiga di Grand Prix Brasil pada musim 1972.

Meski begitu, putranya, Christian Fittipaldi, bisa jadi kebanggaan buat Wilson yang pensiun sejak 1976. Lahir pada 18 Januari 1971 di kota yang sama dengan Wilson, Christian beruntung punya dua mentor hebat, ayahnya dan pamannya, untuk meniti kariernya yang dimulai di ajang gokar. Debut Christian di F1 dilakoni pada musim 1992 bersama tim Minardi.

Baca juga: Sepuluh Keluarga di Arena Bulutangkis (Bagian I)

Ian C. Friedman dalam Latino Athletes menuliskan, Christian bisa promosi ke F1 setelah menjadi pembalap termuda yang lulus dan mendapatkan FIA Formula One Super License pada usia 18 tahun. Tetapi sialnya beberapa kali problem teknis mobil dan kecelakaan yang mengakibatkannya patah kaki membuat kiprah Christian di F1 tak berumur panjang.

Seiring pulih dari cedera, Christian beralih ke ajang lain pada 1994 dan menunjukkan tajinya di ajang balap Championship Auto Racing Teams (CART) sepanjang 1995-2004. Dia juga menjadi pembalap non-Amerika Serikat pertama di NASCAR pada 2002, menjuarai 24 Hour Daytona 2004 di tim Bell Motosports, dan mempopulerkan ajang Stock Car di Brasil pada 2005-2010, serta dua kali kampiun WeatherTech Sports Car pada 2014 dan 2015.

“Dengan berbagai alasan, saya memang tak punya kesuksesan besar sebagaimana yang saya harapkan (di F1 dan NASCAR, red.). Tetapi saya senang punya kesempatan di Brasil di mana kini semua orang mengenal balapan Stock Car yang berkembang pesat,” tutur Christian dikutip Friedman.

Gilles dan Jacques Villeneuve

Joseph Gilles Henri Villeneuve (kanan) & Jacques Joseph Charles Villeneuve. (formula1.com/redbull.com).

“Takkan ada yang mengingat juara dua.” Ungkapan familiar di beragam kompetisi itu untuk beberapa saat jadi tekanan bagi Gilles Villeneuve. Lahir di Sain-Jean-sur-Richelieu, Quebec, Kanada pada 18 Januari 1950, Gilles bersama sang adik, Jacques-Joseph Villeneuve, sudah menggilai balap mobil sejak muda. Gilles menembus F1 pada 1977 dengan direkrut tim Marlboro McLaren.

Sebelum datangnya Niki Lauda, Gilles jadi saingan terberat pembalap legendaris Inggris James Hunt. Di luar trek, Gilles dikenal sebagai pribadi santun dan ramah. Tetapi ketika sudah masuk kokpit jet darat, ia berubah jadi sosok nekat sebagaimana James Hunt.

“Dia (Gilles) pembalap tergila dan ternekat yang pernah saya temui di Formula 1. Padahal faktanya, pribadinya punya karakter yang sensitif dan menyenangkan di luar trek dan tak terlihat seperti pembalap nekat, tetapi itu yang membuatnya jadi seseorang yang unik,” kenang Lauda dalam otobiografinya, To Hell and Back.

Musim 1979 jadi puncak karier Gilles bersama Ferrari. Hampir sepanjang musim dia bersaing ketat dengan Jody Scheckter untuk berebut gelar. Sial, Gilles harus puas sebagai juara dua. Kesialan puncak Gilles tiba beberapa musim kemudian. Di GP Belgia, 8 Mei 1982, Gilles mengalami kecelakaan hebat yang kemudian merenggut nyawanya.

Baca juga: Kontroversi Schumi

Kala Gilles wafat, Jacques, putranya, baru berusia 11 tahun. Ia tumbuh jadi pemuda yang juga menyenangi balapan di bawah bimbingan sang paman, Jacques Sr., hingga melakoni debutnya di F1 pada 1996 bersama tim Williams. Seperti ayahnya, Jacques tipe pembalap yang cepat namun selalu berusaha tampil elegan. Meski Jacques paling anti melakoni manuver-manuver kontroversial, tetap saja dia kena sial mobilnya jadi korban manuver kotor Michael Schumacher di GP Eropa musim 1997. Jacques bahkan sampai bertengkar dengan Schumi gara-gara itu.

Musim 1997 itu juga jadi musim di mana Jacques akhirnya juara dunia. Gelar itu menjadikannya pembalap Kanada pertama yang mampu jadi kampiun F1.

“Ayah pembalap yang sangat cepat. Dia penyuka kecepatan dan adrenalin, selalu terburu-buru ingin menyalip pembalap lain. Dan dia mengalami kecelakaan hebat. Sulit mengatakan kemampuan saya didapat dari ayah tapi yang pasti saya punya perasaan kecepatan dan kemampuan itu darinya,” kenang Jacques, dikutip Gerald Donaldson dalam Gilles Villeneuve: The Life of the Legendary Racing Driver.

Nelson dan Nelson Piquet Jr.

Nelson Piquet Souto Maior (kiri) & Nelson Angelo Tamsma Piquet Souto Maior Jr. (sfcriga.com/nascar.com).

Nelson Piquet merupakan satu dari lima pembalap F1 yang punya tiga koleksi juara dunia. Ia juga pembalap legendaris Brasil kedua yang juara dunia setelah Emerson Fittipaldi. Lahir di Rio de Janeiro, Brasil pada 17 Agustus 1952, Piquet terjun ke dunia balap karena terinspirasi Fittipaldi yang dua kali juara dunia F1. Tiga gelar Piquet masing-masing diraih saat memiloti kokpit Brabham pada musim 1981 dan 1983, serta mobil Williams di musim 1987.

“Untuk jadi juara dunia Anda butuh banyak keberuntungan di mana itu hal terpenting. Ada banyak pembalap hebat yang jadi juara dunia. Namun Anda juga butuh mobil, mesin, pilihan ban dan tim yang tepat. Saya memiliki itu semua,” jelas Piquet sebagaimana dikutip Maurice Hamilton dalam Formula One, The Champions: 70 Years of Legendary F1 Drivers.

Selepas Piquet pensiun dari F1 pada 1991, baru 17 tahun berselang nama Piquet kembali nongol di grid F1. Nama itu disandang putranya, Nelson Piquet Jr.

Mobil dan dunia balap baru jadi hobi Piquet Jr. di usia delapan, usia di mana dia baru mengenal ayahnya. Ayah dan ibunya berpisah saat Piquet Jr. masih bayi dan ia dibawa tinggal bersama ibunya, Sylvia Tamsma, di Monaco. Saat umur delapan, dia pindah tinggal dengan ayahnya di Brasil.

Baca juga: Sepuluh Keluarga di Arena Bulutangkis (Bagian II – Habis)

Meski begitu, Piquet Jr. mengaku awal kariernya tak di bawah bimbingan sang ayah. Piquet Sr. hanya menyokong dana saat Piquet Jr. memulai kariernya dari ajang gokar pada 1993. Debutnya di F1 baru terjadi pada 2008.

“Saya memang menyandang namanya. Tetapi saya selalu berusaha sendiri. Ayah hanya sekadar melihat saya balapan namun saya tak pernah bergantung padanya, terlepas dari sisi finansial. Semua hal teknis, hanya bergantung pada saya dan para mekanik,” terang Piquet Jr. kala diwawancara The Guardian, 5 Oktober 2005.

Akan tetapi, Piquet Jr. gagal menyamai apalagi melewati reputasi sang ayah. Menduduki kokpit tim Renault di musim 2008 dan 2009, Piquet Jr. hanya mampu sekali naik podium sebagai runner-up di GP Jerman 2008. Pada GP Singapura di musim yang sama, Piquet Jr. bahkan jadi sorotan komisi disiplin FIA setelah diduga menabrakkan mobilnya sendiri demi memberi kesempatan rekan setimnya, Fernando Alonso, untuk menang.

Piquet Jr. mengakuinya lantaran ia diperintahkan bos timnya dan itu jadi titik konfliknya dengan tim Renault. Pada musim 2009, Piquet Jr. hanya bertahan hingga paruh musim. Beralih dari F1, Piquet Jr. memilih ajang NASCAR hingga Formula E dan keluar sebagai juara dunia di musim 2014/2015 bersama tim China Racing/NEXTEV.

Jos dan Max Verstappen

Johannes Franciscus 'Jos' Verstappen (kanan) &  Max Emilian Verstappen. (formula1.com/redbull.com).

“Jos the Boss” julukannya. Salah satu maestro balap asal Belanda yang malang-melintang di F1 sepanjang 1994-2003. Sebagaimana pembalap kebanyakan, Johannes Franciscus ‘Jos’ Verstappen yang lahir di Montfort, 4 Maret 1972 itu memulainya di ajang gokar sejak usia delapan tahun.

Namun, kegemilangan di F1 hanya terjadi di musim perdananya ( 1994). Dia dua kali berdiri di podium sebagai juara ketiga di GP Hungaria dan Belgia. Selebihnya ia bak pembalap penggembira di hampir setiap seri hingga pensiun pada 2003.

Baca juga: Seteru Sengit di Sirkuit

Seperti para seniornya, ia pun menurunkan bakat balapnya ke putra sulungnya, Max Verstappen. Max yang lahir di Hasselt, Belgia, 30 September 1997, bersentuhan dengan dunia balap sejak dini mengingat sang ibu, Sophie Kumpen, juga pembalap gokar semasa mudanya.

Meski kemudian ayah dan ibunya berpisah dan Max tinggal dengan Sophie di Maaseik, kota perbatasan Belgia dengan Belanda, hampir setiap hari dia menghabiskan waktu bersama ayahnya di seberang perbatasan.

“Sebenarnya saya tinggal di Belgia hanya menumpang tidur. Seharian saya selalu ke Belanda ke tempat ayah dan menemui teman-teman saya. Saya dibesarkan sebagai orang Belanda dan hingga sekarang itu yang saya rasakan,” ujar Max, disitat GP Fans, 3 Juli 2019.

Baca juga: Sembilan Ayah dan Anak di Arena F1 (Bagian I)

Berangsur-angsur Max membangun kariernya dari Formula Renault pada 2013, Formula Three setahun berselang. Puncaknya, dia mendapatkan kursi di F1 bersama tim Scuderia Toro Rosso juga pada 2014 selepas lulus dari tim junior Red Bull. Debutnya dilakoninya musim 2015. Sedikit demi sedikit dia melejit hingga jadi salah satu pesaing serius langganan juara Lewis Hamilton, utamanya setelah Max dipromosikan ke tim utama Red Bull pada 2016.

Pada musim 2019 ia mencuat jadi juara tiga. Kini di musim 2020 yang menyisakan dua seri, Verstappen di posisi yang sama masih sikut-sikutan dengan Valtteri Bottas untuk berebut status runner-up lantaran Hamilton di puncak klasemen takkan terkejar. Namun peluang Verstappen untuk punya capaian melebihi sang ayah –juara dunia F1– masih terbuka di musim 2021.

TAG

balap formula one

ARTIKEL TERKAIT

Lima Sirkuit Paling Menantang di MotoGP Lika-liku Pembalap Perempuan di Gelanggang F1 Kisah Pembalap Prancis di Garis Finis Siklus Valentino Rossi Angkernya Sirkuit Nürburgring Rush Memicu Adrenalin hingga Garis Finis Sembilan Ayah dan Anak di Arena F1 (Bagian I) Garis Start Valentino Rossi Stirling Moss, Raja Balap tanpa Mahkota Gas Pol Balapan F1 di Tengah Pandemi Virus