Konon angka 13 acap menghadirkan nasib sial. Percaya atau tidak, itulah yang terjadi dengan Adrián San Miguel del Castillo, kiper Liverpool. Mengenakan nomor punggung 13, pengganti kiper utama Alisson Becker yang cedera bahu itu membuka petaka buat timnya dengan blunder saat “dipermak” Aston Villa 7-2.
Stadion Villa Park, markas Aston Villa di kota Birmingham, jadi saksi bisu bagaimana jawara Liga Inggris musim lalu tak berdaya pada Minggu, 4 Oktober 2020. Petakanya berawal dari blunder Adrián saat mengoper bola di bidang permainan sendiri ketika babak pertama baru bergulir empat menit. Bola “liar”-nya langsung dikonversi Ollie Watkins menjadi gol Villa.
Watkins lantas jadi pahlawan bagi “The Villans” (julukan Aston Villa) dengan membukukan hattrick. Empat gol pelengkap lain disumbangkan Jack Grealish (dwigol), dan masing-masing satu gol dari John McGinn dan Ross Barkley.
Baca juga: Derita Pembantaian Barcelona
Dua gol Liverpool dihasilkan Mohamed Salah. Duel Liverpool kontra Aston Villa melengkapi kejutan di matchday keempat Liga Inggris 2020/2021 pada akhir pekan lalu. Sebelumnya, Manchester United digilas Tottenham Hotspur 1-6. Hasil itu jadi kekalahan terbesar Liverpool yang seolah memutar kembali memori pada 1963 ketika “The Reds” (julukan Liverpool) digasak Tottenham Hotspur dengan skor yang sama.
“Selamat untuk Aston Villa. Mereka layak mendapatkan tiga poin yang maknanya begitu besar karena mereka tampil sangat baik. Hampir semua pemain kami melakukan kesalahan. Jelas yang pertama dari kesalahan Adrián, namun reaksi tim di depan gawang jauh lebih buruk. Inilah risikonya bermain terbuka dan ofensif,” tutur pelatih Liverpool Jürgen Klopp sebagaimana disitat laman klub, 4 Oktober 2020.
Bagi Aston Villa, skor 7-2 itu jadi kemenangan terbesar kelima sepanjang sejarah klub di semua ajang kompetisi resmi. Kemenangan dengan skor terbesarnya terjadi lebih dari seabad lalu di pentas Football Association Challenge Cup (kini FA Cup), 3 Oktober 1886, kala mengubur Wednesbury Old Athletic, 13-0.
“Saya sangat bangga pada tim. Mereka mengeksekusi rencana permainan dengan sempurna. Mereka menunjukkan kualitas, namun kepuasan terbesar saya adalah etos kerja keras tim. Jika pelatih seperti Klopp di akhir laga mengatakan ‘wow’ kepada Anda, maka Anda telah melakukan hal yang istimewa dan buat saya performa tim sangat istimewa,” kata pelatih Aston Villa Dean Smith, dikutip situs resmi klub.
Sejarah Istimewa The Villans
Sejak 1990-an, Aston Villa boleh dibilang merupakan klub medioker. Jangankan prestasi mentereng, reputasinya saja tenggelam oleh The Big Four yang senantiasa jadi pemuncak Liga Inggris: Manchester United, Liverpool, Arsenal, dan Chelsea.
Memasuki era 2000-an pun, saat status tim unggulan bertambah menjadi The Big Six dengan masuknya Tottenham Hotspur dan Manchester City, Villa tetap marjinal. Padahal, Villa dengan warna kebanggaan merah darah kombinasi biru lebih senior ketimbang lima nama klub kondang di atas. Selain usianya lebih tua, Villa sudah terjun sejak Liga Inggris pertamakali digulirkan, masih dengan nama The Football League, 1888-1889.
Saat inagurasi Liga Inggris 132 tahun silam itu, Villa bukan hanya ikut berpartisipasi di antara 12 kontestan lain namun juga tampil sebagai runner-up. Klub-klub The Big Six saat ini belum lahir atau masih berkubang di arena amatir kala itu.
Baca juga: Catatan Sejarah Spurs Membantai Manchester United
Aston Villa Football Club (FC) didirikan di kota industri Birmingham pada 21 November 1874. Pendirinya adalah empat tokoh pemuda religius anggota Kapel Villa Cross pengikut Wesleyan (John Wesley): Jack Hughes, Frederick Matthews, Walter Price, dan William Scattergood. Mereka merupakan pemain kriket di tim Kapel Villa Cross.
Keempat pemuda mewujudkan gagasan mendirikan perkumpulan sepakbola agar tim mereka tetap solid secara fisik dan mental selama libur musim dingin, saat kriket tak bisa mereka mainkan. Dari pertemuan di Heathfield Road, Birchfield, Birmingham itu keempat pemuda sepakat mengambil nama Aston Villa FC untuk menamakan klub baru tersebut. Nama itu hingga kini tak ditiru atau disamai klub manapun.
Jurnalis dan kolumnis olahraga Richard Whitehead dalam Children of the Revolution mengungkapkan, nama klub diambil dari sebuah area di lingkup Villa Road, Lozells Road, dan Heathfield Road yang acap disebut penduduk setempat dengan “Aston Villa”. Penyebutan itu tak lepas dari keberadaan sebuah wisma bergaya Georgian di antara tiga jalan itu yang juga bernama Aston Villa. Di kemudian hari, 1937, wisma itu berubah menjadi sebuah bar bernama Villa Cross Pub.
“Namanya yang indah menjadikan klubnya istimewa. Ada banyak tim dengan embel-embel nama United, City, Town, beberapa lainnya Wanderers dan Rovers, dan bahkan ada juga Albion. Namun hanya ada satu Villa. Rasanya (nama Villa) itu jadi nama terhebat dalam sepakbola,” tulis Whitehead.
Baca juga: Sebelas Pesepakbola Dunia di Layar Perak (Bagian I)
Hingga kini nama Aston Villa tetap bertahan dan memunculkan daya tarik tersendiri. Banyak figur ternama yang bukan fans langsung jatuh hati begitu mendengar nama klub. Salah satunya, aktor kawakan Hollywood Tom Hanks.
“Pertamakali saya ke London untuk promosi film, sekitar 24 tahun lalu, saya melihat daftar skor di BBC One. Ada banyak tim yang belum pernah saya dengar namanya, seperti Stoke City dan Wolverhampton Wanderers. Lalu tiba-tiba muncul nama Aston Villa. Saya pikir, betapa nama yang indah. Lalu seorang wartawan bertanya apakah saya senang sepakbola? Saya jawab: ‘Ya, saya cinta Aston Villa.’ Sekalinya Anda mendeklarasikan kekaguman, selamanya takkan berubah,” kata Hanks pada 2012.
Setelah menetapkan nama, keempat pendiri Aston Villa FC itu pun menghimpun rekan-rekan mereka di tim kriket untuk menjadi anggota tim sepakbolanya. Walter Price, salah satu pendiri, lalu secara aklamasi ditetapkan sebagai kapten pertamanya.
“Tetapi Villa awalnya juga kesulitan untuk mencari lawan dan tujuan arah perkembangan mereka, mengingat semuanya aslinya pemain kriket. Tetapi keberuntungan hadir seiring datangnya seorang George Ramsay. Pemuda berusia 21 tahun asal Skotlandia yang membuat tim terkesan dengan skill sepakbola dan pengetahuannya terkait permainan. Ia pun didapuk jadi kapten baru klub,” ungkap Paul Brown dalam The Victorian Football Miscellany.
“Ramsay paham bahwa jika klub ingin sukses, mereka harus memiliki lapangan sendiri dan memungut uang dari penonton. Dia juga yang menjadi sosok penting di balik upaya Villa memiliki markas permanen pertamanya, Perry Barr (kini Wellington Road),” lanjutnya.
Perry Barr jadi kandang kedua Aston Villa (1876-1897) setelah Aston Park yang disewa tim sejak 1874 hingga 1876. Villa Park yang jadi stadion klub hingga kini baru menggantikan Perry Barr pada 1897. Villa Park baru dibangun pada 1894. Saat itu masih terdapat lintasan balap sepeda di sisi luar lapangannya.
Baca juga: Tradisi Boxing Day dalam Sepakbola Inggris
Kostum Villa saat itu masih berwarna merah tua kombinasi warna biru solid tanpa logo, sebagaimana disingkap Mike Bradbury dalam Lost Teams of the Midlands. “Terlepas adanya klaim mengatakan tim rugby lokal Aston Brook St. Mary’s jadi lawan pertama klub, faktanya yang tercatat jadi lawan pertama (Aston) Villa adalah Aston Unity, walau sayangnya catatan itu kurang detail soal waktu dan hasil pertandingannya” imbuh Bradbury.
Adapun logo berupa perisai kombinasi warna merah tua dan biru dengan seekor singa berwarna kuning emas di dalamnya yang dipakai saat ini baru mulai dikenakan sejak 2000. Logo Villa saat berdiri hingga 1886 masih berupa kotak hitam dengan seekor singa berwarna merah di dalamnya.
Kompetisi pertama yang diikuti Villa adalah Birmingham Senior Cup, kompetisi amatir di bawah naungan Birmingham County Football Association untuk wilayah West Midlands. Villa mengikutinya sejak 1876. Tiga tahun berselang, Villa sudah mentas di FA Cup yang hingga kini masih bertahan sebagai kompetisi nasional tertua di dunia.
Era Kejayaan
Meski baru ikut FA Cup pada musim 1879-1880, Villa sudah mampu merengkuh trofinya pada musim 1886-1887. Villa yang dipimpin William McGregor (presiden klub), saat itu mengalahkan West Bromwich Albion dua gol tanpa balas di final yang dihelat Stadion Kennington Oval, London, 2 April 1887. McGregor yang asal Skotlandia merupakan satu dari sejumlah tokoh yang membidani The Football League setahun berselang.
“Aston Villa menjadi tim terhebat ketiga pada abad ke-19 dalam sepakbola Inggris karena William McGregor, sosok yang mewujudkan gagasan akan kejuaraan berkonsep liga. Berkat McGregor dan George Ramsay, Aston Villa bertransformasi jadi klub adidaya jelang pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20,” tulis John Eunson dalam Sporting Scots: How Scotland Brought Sport to the World.
Baca juga: Anthem Liverpool, Lagu Teater Musikal yang Mengglobal
McGregor pula yang membuat Villa jadi satu dari 12 tim pertama yang melakoni ajang inagurasi The Football League (Liga Inggris) musim 1888. Partai pertama Villa di liga perdana itu berlangsung pada 8 September 1888 dengan menghadapi Wolverhampton Wanderers, yang berakhir 1-1. Di akhir musim, Villa keluar sebagai runner-up.
Baca juga: Jack Charlton, Legenda yang Acap Bikin Kiper Berang
Setelah itu, Villa merupakan tim langganan juara sejak akhir abad ke-19. Tujuh titel Liga Inggris sudah mereka koleksi. Gelar perdananya datang di musim 1893-1894. Namun butuh “puasa” hampir seabad buat Villa mengecap gelar terakhirnya, yakni pada musim 1980-1981.
Di luar liga, Villa punya koleksi tujuh titel FA Cup, lima Piala Liga, dan satu FA Charity Shield (kini FA Community Shield) yang direbut tahun 1981. Di kancah Eropa, Villa boleh berbangga lantaran merupakan satu dari hanya lima klub Inggris (Manchester United, Liverpool, Nottingham Forest, dan Chelsea, selain Villa) yang pernah menyabet gelar European Cup (kini Liga Champions), yakni musim 1981-1982.
Era 1970-1980-an menjadi momen kebangkitan Villa setelah terpuruk sejak 1930-an hingga 1960-an. Raihan Liga Champions 1981-1982 jadi momen termanis sepanjang sejarah Villa. Gelar itu digapai setelah Villa mengalahkan raksasa Jerman Bayern Munich, 1-0, di partai final yang dimainkan di Stadion De Kuip, Rotterdam, 26 Mei 1982. Gol tunggal kemenangan Villa dicetak striker Peter Withe –yang merupakan pelatih timnas Indonesia periode 2004-2007– di menit ke-68.
Baca juga: Kiper Keblinger Blunder
“Saya masih ingat betul dan rasanya masih baru terjadi kemarin. Tony Morley mengecoh satu, kemudian dua bek lawan. Saya dikawal (bek Bayern) Klaus Augenthaler namun dia merasakan ada bahaya dan maju untuk mencegat (Morley) dan menyebabkan saya tanpa pengawalan saat berlari menuju kotak penalti,” kenang Peter Withe pada 2001, dikutip Rob Bishop dalam Road to Rotterdam: Aston Villa FC Champions of Europe 1982.
“Tony kemudian melambungkan bola ke mulut gawang dan dalam hati saya mengatakan: ‘Konsentrasi!’ Bola sempat memantul dari tanah saat menghampiri saya dan saya mengenainya dengan kaki di bagian antara tulang kering dan engkel sebelum bolanya terbang membentur mistar dan masuk (gol). Saya yakin kalau saya menendangnya seperti biasa malah akan bisa diselamatkan kiper (Bayern, Manfred Müller),” tandasnya.