LIVERPOOL, kota pelabuhan di pesisir barat Inggris yang dikenal dunia lewat musik dan sepakbolanya, tengah goyah di awal 1990. Warga Liverpool, seperti dijelaskan narator David Morissey, sedang bersusah hati karena klub kebanggaan mereka, Liverpool FC, sedang jatuh dari masa kejayaannya seiring meroketnya sang rival abadi, Manchester United, yang kemudian mendominasi level teratas Liga Inggris.
Di sisi lain, di Jerman yang belum lama unifikasi usai dirobohkannya Tembok Berlin pada 9 November 1989, sepakbolanya bergeliat makin dahsyat. Makin banyak pesepakbola Jerman yang melejit. Hanya sayangnya, itu tak berlaku buat Jürgen Klopp. Ia kalah saing dengan “Jürgen” yang lain, yakni Jürgen “Klinsi” Klinsmann yang jadi idola seantero Jerman atau Jürgen Kohler yang mematahkan kaki Marco van Basten.
Masa-masa sulit sebuah klub di Inggris dan seorang pesepakbola asal Hutan Hitam Jerman di awal 1990 itu jadi dua kisah yang dijahit sutradara Chris Grubb dalam membuka Klopp: The Inside Story yang dikemas secara dokumenter. Dua kisah tersebut mengantarkan “perjodohan” Liverpool FC yang sudah lama nirgelar dan seorang Jerman yang enerjik. Keduanya kemudian ditakdirkan sukses dan menebus kegagalan demi kegagalan masa lalu.
Baca juga: Kisah Iniesta, Pahlawan dari La Masia
Narator Morrissey mengisahkan, meski Klopp lahir di kota Stuttgart pada 16 Juni 1967, ia tumbuh di kawasan Hutan Hitam, tepatnya di Desa Glatten. Lima klub profesional lalu dimasukinya sepanjang 1987-2001, mulai dari FC Pforzheim, Eintracht Frankfurt II, Viktoria Sindlingen, Rot-Weiss Frankfurt, hingga FSV Mainz 05. Namun karier sepakbolanya tak sesuai harapan. Ia makin menyadari bakat sepakbolanya takkan bisa menyaingi Klinsmann si “Jürgen” yang lain.
“Background-nya sangat humble. Dia tumbuh dekat lingkungan tempat saya lahir. Dia selalu jadi orang yang mudah bergaul dan suka berpesta,” ujar Klinsmann yang jadi salah satu narasumber di film.
Sadar kariernya takkan semenjulang Klinsmann atau Lothar Matthäus yang jadi kebanggaan Jerman, Klopp mulai memikirkan masa depannya. Terutama untuk mempertahankan dapur keluarganya agar tetap ngebul. Walau masih berstatus sebagai pemain, Klopp berniat untuk memulai studi sport science. Namun ia masih belum tahu akan jadi pelatih seperti apa nantinya. Nyatanya, hal itu sangat berguna kala Mainz 05 butuh juru selamat pada 2001.
“Klopp menjadi pelatih Mainz secara tidak sengaja. Mainz sedang di jurang degradasi divisi kedua dan kesulitan mencari opsi pelatih pengganti (Eckhard Krautzun). Direktur olahraga merasa timnya sulit dilatih orang lain dan melihat mungkin akan lebih baik dilatih orang dalam. Lalu karier Jürgen juga sedang sulit, dia sedang cedera di akhir kariernya dan direktur klub memintanya untuk mencoba menyelamatkan klub,” ungkap Raphael Honigstein, penulis biografi Klopp: Bring the Noise.
Baca juga: Sisi Terang dan Gelap Diego Maradona
Tak dinyana perjudian itu berhasil. Klopp bukan hanya menyelamatkan Mainz 05 dari degradasi pada musim 2000-2001, namun mampu membangun skuad yang mumpuni dan bahkan mengantarkan klub berjuluk “Die Nullfünfer” untuk pertamakali promosi ke Bundesliga tiga musim berselang kendati dengan sokongan dana kecil.
Sedikit demi sedikit nama Klopp mulai dikenal di Jerman. Akhirnya, Bayern Munich kepincut untuk merekrutnya. Kendati begitu, Klopp butuh tantangan berbeda sehingga memutuskan hijrah ke Borussia Dortmund. Klub medioker itu ia bawa jadi pesaing terkuat Bayern di awal 2000-an dan menjadikan Bayern tak lagi penguasa tunggal Bundesliga.
Pada saat hampir bersamaan, Liverpool melulu kalah saing dari Manchester United-nya Sir Alex Ferguson meski sudah berkali-kali ganti pelatih. Butuh tiga dekade buat Liverpool untuk bisa merasakan kembali mahkota juara Liga Inggris sejak terakhir mereka raih pada musim 1989-1990. Kebangkitan The Reds hadir seiring kedatangan Klopp dari Dortmund pada 2015.
Pertanyaannya, metode baru apa saja yang dibawa Klopp ke Anfield dan bagaimana dia membangun skuadnya untuk menuntaskan dahaga gelar Liga Inggris pada musim 2019-2020? Saksikan selengkapnya hanya di platform daring Mola TV.
Baca juga: Sejarah Panjang Nerazzurri dalam Inter 110
Dua Plot Menjadi Satu
Sebagaimana permainan sepakbola, tone dokumenter ini dibuat dinamis, antara muram dan terang. Itu dihadirkan dalam sisipan scene-scene masa kini dan cuplikan Liverpool era 1990 yang di pengujung masa keemasan, situasi Jerman usai reunifikasi dan karier silam Klopp.
Pun dengan music scoring-nya. Beat-beat disko di masa pergantian dekade 1980 dan 1990, serta iringan musik orkestra sebagai variasi suasana yang juga diselipkan gemuruh fans fanatik Liverpool sengaja dipilih untuk mengiringi scene-scene yang ada.
Namun, beberapa hal teknis dan plot ganda yang dihadirkan sutradara cukup mengganggu. Di Mola TV, hal teknis yang minus adalah tidak adanya subtitle bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sekalipun. Sementara plot gandanya, terutama soal pengisahan historis Liverpool, justru mengambil porsi lebih banyak ketimbang sosok Kloppnya. Itu jelas menjadi ironi lantaran tajuk dokumenternya: Klopp: The Inside Story.
Baca juga: Anthem Liverpool, Lagu Teater Musikal yang Mengglobal
Itu terlihat jelas dari narasumber yang dihadirkan. Para pemain legendaris Liverpool seperti Sir Kenny Dalglish, Steve McManaman, Steven Gerrard, dan John Barnes mengambil porsi terlalu banyak dalam mengisahkan Liverpool, termasuk tentang tragedi Hillsborough (15 April 1989) yang tak ada hubungannya dengan Klopp.
Tentu beberapa dari mereka juga bicara tentang Klopp, namun ketika alur cerita sudah bergulir ke saat Klopp baru datang ke Anfield. Sementara narasumber yang bicara lebih detail tentang Klopp hanya rekan senegaranya, Klinsmann, Raphael Honigstein si penulis biografi Klopp, dan wartawati sepakbola Inggris Melissa Reddy. Mereka bicara tentang bagaimana Klopp punya pendekatan berbeda dari pelatih-pelatih Liverpool lain karena didikan Jerman dengan kebiasaan-kebiasaan berbeda pula. Di antaranya, pendekatan personal Klopp lebih humanis tidak hanya kepada para pemain dan jurnalis tapi juga kepada staf klub di luar tim pelatih.
Honigstein maupun Reddy juga lebih detail menyajikan metode-metode baru yang dibawa Klopp ke kamp latihan Melwood. Salah satunya adalah Gegenpressing, yang termasuk baru dalam sepakbola Inggris.
Baca juga: Senandung Pelipur Lara dan Pemantik Asa Liverpool
Klopp dan Evolusi Gegenpressing
Ketika Klopp datang ke Liverpool pada 2015, rival Liverpool mulai bertambah. Bukan hanya Manchester United, Chelsea dan Manchester City yang reinkarnasi usai keduanya dibeli konglomerat juga menjadi rival tangguh. Tetapi Klopp memulai pekerjaannya menghadapinya dengan energi dan metode baru yang belum pernah diterapkan pelatih lain di Inggris.
Sepakbola Inggris dikenal dengan daya tahannya untuk bermain cepat. Tetapi sedikit demi sedikit Klopp berhasil secara perlahan mengubah Liverpool untuk menghadapinya. Sebagaimana diakui beberapa pengamat dan kolega pelatihnya, Klopp berhasil mengubah Liverpool jadi tim dengan permainan paling cepat.
Untuk bisa membuat Liverpool menjadi klub paling ditakuti di Inggris dalam tiga tahun terakhir, Klopp memulainya dengan perlahan lewat observasi cermat dalam memilih pemain. Kesabaran dan keyakinan membuatnya bisa mengoptimalkan taktik yang ia pelajari sejak lama, yakni Gegenpressing. Hasilnya dibuktikan pada 2019 dengan raihan trofi Liga Champions dan gelar Liga Inggris 2019-2020.
Baca juga: Lima Gebrakan Revolusioner Wenger
Gegenpressing merupakan istilah Jerman untuk filosofi permainan counter-pressing. Sejatinya gegenpressing adalah taktik bertahan dengan memanfaatkan para pemain lini serang secara agresif. Dibanding taktik bertahan mainstream yang mengatur barisan pemain tengah dan belakang, gegenpressing mengharuskan para pemain di lini depan langsung memberi tekanan intens setelah kehilangan bola. Tujuannya agar tim lawan yang baru merebut bola tak bisa membangun orientasi permainan.
“Momen terbaik untuk memenangkan bola adalah segera (menekan) setelah tim Anda kehilangan bola. Di momen itu tim lawan masih mencari orientasi, mau dikemanakan bolanya. Saat merebut bola, pemain lawan harus melakukan tekel atau intercept yang menghabiskan energi. Kedua hal itu membuat pemain lawan lengah. Itulah yang membuat gegenpressing menjadi skema counter-counter-attacking,” kata Klopp, dikutip The Economic Times, 11 Juni 2021.
Baca juga: Wenger dan Lima Pelatih Terawet Sejagat
Gegepressing merupakan inovasi taktik yang diciptakan Ralf Rangnick. Rangnick mengaku mengembangkannya terinspirasi setelah melakoni laga persahabatan kontra Dynamo Kyiv pada Februari 1983. Saat itu, Rangnick baru berkarier sebagai pelatih dengan menukangi tim semenjana FC Viktoria Backnang. Pada momen itu ia terkesan dengan permainan menekan sistematis Dynamo yang diasuh Valery Lobanovskyi.
“Saya harus selalu menghitung para pemain Kiev. Seperti ada yang salah, apakah mereka bermain dengan 13 atau 14 pemain? (Pressing) mereka tak memberi Anda ruang bernafas. Di situlah Kiev menjadi tim pertama yang kami hadapi yang bermain dengan taktik menekan sistematis,” tutur Rangnick dalam kolomnya di The Coaches’ Voices.
Rangnick lalu meriset sendiri dari sejumlah pelatih legendaris yang acap menerapkan taktik pressing, seperti Ernst Happel, Arrigo Sacchi, atau Zdeněk Zeman. Hasilnya, gegenpressing.
Di era 1980-an, taktik tersebut masih dipandang sebelah mata lantaran sepakbola Jerman masih terbuai dengan filosofi bertahan dengan pemain libero di sistem 3-5-2 yang lama dikembangkan Franz Beckenbauer. Kesempatan Rangnick untuk mengenalkan gegenpressing baru terbuka ketika sepakbola Jerman mulai ketularan formasi modern 4-4-2 di akhir 1990-an. Pasalnya, formasi 4-4-2 membuka banyak kemungkinan modifikasi, entah menjadi 4-3-3, 4-3-1-2, 4-1-2-3, atau 4-3-2-1.
Baca juga: Lima Pelatih Barcelona dari Belanda
Keterbukaan itu memungkinkan Rangnick menerapkan gegenpressing lewat bermacam-macam formasi yang mulai diterima banyak klub pada pertengahan 2000-an. Rangnick membuktikannya saat membesut SSV Ulm 1846 (1997-1999). Klub antah-berantah itu ia bawa menjuarai Regionalliga Süd 1998 dan Ulm diantarkannya promosi untuk pertamakali ke Bundesliga pada 2000.
Meski begitu, taktik gegenpressing saat itu masih tetap dianggap remeh sejumlah pelatih dan klub. Publik sepakbola Jerman baru benar-benar sadar gegenpressing bisa jadi sangat efektif justru usai ditiru dan dikembangkan secara lebih agresif oleh Klopp sejak menukangi Dortmund (2008-2015) dan berbuah dua titel juara Bundesliga, satu DFB-Pokal, dua trofi DFL-Supercup, dan sekali runner-up Liga Champions.
Meskipun mengambil gegenpressing dari Rangnick, Klopp lebih berhasil karena punya beberapa faktor non-teknis yang jadi pembeda. Klopp, diakui Rangnick, punya kharisma dan keberanian dalam meracik skuadnya. Bagi Klopp, gegenpressing bisa lebih berhasil jika para pemainnya punya kemauan untuk lebih agresif dan proaktif, dan Klopp berani membuang pemain yang dianggapnya akan menghambat taktik itu.
“Versi Klopp lebih ‘heavy metal’ menciptakan kekacauan yang ia ciptakan buat tim lawan. Dia juga punya keberanian dan keyakinan kuat, di mana itu menjadi kunci. Salah satu hal pertama yang ia lakukan saat datang ke Dortmund pada 2008 adalah mencoret Alexander Frei dan Mladen Petrić dari line-up. Mereka dua pemain bintang tapi Klopp tahu mereka takkan bisa merealisasikan pressing yang agresif sesuai kemauannya,” ujar Rangnick, dikutip Honigstein dalam Das Reboot: How German Soccer Reinvented Itself and Conquered the World.
Baca juga: Setan Merah Berharap Tuah Solskjaer
Hijrah ke Liverpool pada 2015, Klopp pun menerapkan hal serupa. Sementara di Jerman, beberapa pelatih mulai latah memakai gegenpressing, termasuk salah satunya Thomas Tuchel, suksesor Klopp di Dortmund (2015-2017). Tuchel sempat ingin mengulanginya di Paris Saint-Germain (2018-2020) walau gagal karena terlalu banyak pemain bintang yang tak bisa diatur dan sejak Januari 2021, ia mengekor Klopp ke Inggris dengan menukangi Chelsea.
Sedangkan Bayern, rival Dortmund, sedikit demi sedikit juga mulai menirunya, terutama sejak ditangani pelatih muda Hans-Dieter Flick (2019-2021). Tak ayal Jerman pun demam gegenpressing.
“Gegenpressing kini menjadi institusi (sepakbola) Jerman dan Klopp menjadi model untuk banyak pelatih. Sekarang setiap tim Bundesliga menggunakan gegenpressing dan bahkan mulai dilirik seantero Eropa,” tulis Tobias Escher dalam Vom Libero zur Doppelsechs.
Deskripsi Film:
Judul: Klopp: The Inside Story | Sutradara: Chris Grubb | Produser: Chris Grubb, Anton Sensky, Chris Bridger-Lining | Produksi: Whisper | Genre: Dokumenter | Durasi: 46 Menit | Rilis: Agustus 2020, Mola TV