Lima Pelatih Barcelona dari Belanda
Barça adalah sekolah Belanda sejak era Michels, Cruyff, Van Gaal, dan Rijkaard yang mengusung sepakbola indah nan dikagumi, kata presiden klub.
POSTER besar berwarna kuning bertuliskan “Ben Tornat a Casa! Koeman” (terj. “selamat datang di rumah”) itu begitu mencolok. Sosok yang wajahnya digambar di poster itu, Ronald Koeman, segera membubuhkan tandatangannya. Kembalinya pahlawan FC Barcelona era 1990-an itu diharapkan jadi juru selamat Barça dari jurang keterpurukan.
Setelah merampungkan segenap formalitas kontrak dua tahunnya sebagai entrenador (pelatih) anyar, langkah kaki Koeman mengantarkannya ke lorong menuju lapangan di Stadion Camp Nou. Sejenak, ia memarkirkan bokongnya di barisan bangku cadangan. Kebahagiaan membuncah dari matanya kendati tugas berat menanti mantan defensor (bek) Barça (1989-1995) yang jadi pahlawan Barça musim kala meraih trofi Champions 1991/1992 itu.
Entah gaya permainan seperti apa yang bakal diusung Koeman yang menjadi bagian dari sejarah total football ketika masih bermain.
“Kabar bahwa Koeman akan membawa kembali total football ke Barcelona jadi bagian yang menarik. Namun dari trek kepelatihannya selama ini, baik di Ajax Amsterdam atau Everton, kita tidak pernah mendengar tentang total football dari klub asuhan Koeman,” sebut Pemimpin Redaksi TopSkor Irfan Sudrajat kepada Historia.
“Saya justru melihat dia generasi yang tidak total dalam total football. Karakteristik kepelatihan Koeman itu gabungan antara Cruyff dan Van Gaal. Kedua pelatih inilah yang memberikan pengaruh kuat kepada Koeman,” sambungnya.
Baca juga: Ronald Koeman Pahlawan Katalan dari Zaandam
Koeman, lanjut Irfan, punya gabungan antara imajinasi Cruyff dan pragmatisme Van Gaal. Itu tak lepas dari latarbelakangnya sebagai salah satu bek andalan Cruyff saat mengarsiteki “The Dream Team” Barcelona (1988-1996) dan sebagai asisten pelatih Van Gaal pada tahun 2000.
“Sementara dengan Rijkaard tidak sama karakternya. Namun untuk kebutuhan Barça saat ini, dia pelatih yang pas mengatasi situasi Barcelona saat ini. Dia memahami total football tapi dia juga sangat concern pentingnya tim punya pertahanan kuat. Koeman sosok yang sangat tenang tapi memiliki isi yang lebih berbobot dibandingkan dengan (pelatih sebelumnya, Quique) Setién tentunya,” tambahnya.
Yang pasti, Koeman jadi pelatih berpaspor Belanda kelima penerus “Dutch Connection” yang menukangi Azulgrana (julukan Barça). Sebelum Koeman ada Rinus Michels, Johan Cruyff, Louis van Gaal, dan Frank Rijkaard. Berikut keempat pelatih sebelum Koeman:
Rinus Michels
Untuk era sepakbola modern dewasa ini, total football –adalah taktik di mana setiap pemain harus serba-bisa mengambilalih peran pemain lain– sulit diterapkan lagi. Namun di era 1960-an-1970-an, gaya bermain inovatif ini jadi momok buat banyak tim mapan setelah diperkenalkan Michels kala membesut Ajax sejak 1965. Gaya ini kemudian dibawa Michels saat pindah mengasuh Barça pada 1971 menggantikan Vic Buckingham asal Inggris.
Barça saat itu tengah melempem dan sudah satu dekade puasa gelar Primera División (kini La Liga) meski sudah 12 kali ganti pelatih setelah terakhir juara liga pada 1960. Sebelum Michels datang, Barça hanya bisa tiga kali juara Copa del Rey.
“Jika pelatih banyak tak bertahan lama di klub ini, berarti ada yang tidak beres. Oleh karenanya saya ingin jadi pengecualian dan bisa mengulangi kesuksesan saya di Ajax,” ujar Michels dikutip El Mundo Deportivo, 12 Juli 1971.
Baca juga: Wenger dan Lima Pelatih Terawet Sejagat
Semasa dibesut Michels, Ajax mengecap sukses dengan empat gelar Eredivisie, tiga titel KNVB Cup, serta satu European Cup (kini Liga Champions). Namun eksperimen Michels dengan total football di Barca gagal di musim pertama. Total football Michels mulai berhasil di akhir musim 1971-1972 dengan hasil Barça posisi tiga di klasemen. Musim berikutnya, Barça menjadi runner-up.
Manisnya gelar liga akhirnya bisa dinikmati di musim 1973-1974. Itupun setelah Michels “membajak” anak emasnya, Cruyff, dari Ajax dengan mahar 6 juta gulden (USD2 juta) yang jadi rekor transfer pemain termahal masa itu. Cruyff adalah kunci dari total football-nya Michels sejak di Ajax
“Michels bisa mewujudkan inovasi-inovasinya di lapangan karena Cruyff. Dia punya ide yang sama tentang sepakbola, mereka saling percaya satu sama lain. Dia tahu Cruyff mampu menyampaikan pesan ke rekan-rekannya tentang bagaimana mengatasi situasi-situasi tertentu,” tulis Sanjeev Shetti dalam Total Football: A Graphic History of the World’s Most Iconic Soccer Tactics.
Johan Cruyff
Total football Michels dilanjutkan Cruyff ketika melatih Barça musim 1988/1989, usai gantung sepatu pada 1984. Seperti halnya Michels, Cruyff datang setelah mengasah karier kepelatihannya di Ajax dengan torehan dua trofi KNVB Cup dan satu UEFA Winners Cup.
Seperti Michels, Cruyff juga menanggung beban tak enteng di awal kepelatihannya. “Saat Cruyff mengambilalih kepelatihan, Barcelona di akhir 1980-an adalah klub yang tenggelam dalam utang dan krisis. Atmosfernya jelek, animo suporter menurun, bahkan hubungan presiden klub Josep Lluís Núñez dan Presiden otonomi daerah Katalan Jordi Pujol memburuk. Memang tidak seketika itu juga Cruyff bisa memulihkan reputasinya semasa jadi pemain. Dia mengambil risiko dan hasilnya mengikuti kemudian,” ungkap Sid Lowe dalam Fear and Loathing in La Liga: Barcelona, Real Madrid, and The World’s Greatest Sports Rivalry.
Baca juga: Derita Barcelona
Dibantu mantan rekan setimnya, Carlex Rexach, sebagai asisten, Cruyff membangun tim dengan memodifikasi filosofi total football Michels. Salah satu kebijakan kunci yang jadi keberhasilan Cruyff adalah tim akademi La Masia wajib mengikuti gaya bermain menyerang dan indah, serta menghibur di tim senior. Alasannya agar jika dibutuhkan untuk naik kelas, para pemain muda itu sudah tak kaget dan bisa langsung ‘ngeklik’ dengan arahan Cruyff.
“Saya mengenal klub ini dan saya tak ingin sejarah berulang dengan sendirinya. Jika kita ingin perubahan, kita harus mengubah sejarah,” tutur Cruyff sebelum membangun “The Dream Team”, dikutip laman resmi klub.
Hasilnya pun tak mengkhianati kerja keras. Dengan memadukan para jebolan La Masia seperti Josep Guardiola dan para pemain asing seperti Ronald Koeman, Michael Laudrup, Romário Faria, Gheorghe Hagi, hingga Hristo Stoichkov, Cruyff berhasil membentuk “Tim Impian” yang dalam periode 1988-1996 memboyong empat gelar La Liga, satu Copa del Rey, tiga Supercopa de España, serta masing-masing satu Winners Cup, Liga Champions, dan UEFA Super Cup.
Louis van Gaal
Kejayaan Barcelona saat ditangani Cruyff jadi harapan manajemen klub ketika kembali memercayakan kursi kepelatihan ke Van Gaal yang menggantikan Bobby Robson pada 1997. Kegagalan di Champions Cup dan La Liga jadi alasan pemecatan Robson kendati di musim terakhirnya (1996/1997) masih memberi Barcelona Copa del Rey dan UEFA Winners Cup.
Namun, Van Gaal dengan gaya pragmatisnya sejak menangani Ajax (1991-1997) bukanlah Cruyff dengan sepakbola indahnya hasil modifikasi total football. Meski tak semenghibur pendahulunya, Van Gaal berhasil memancing minat Presiden Barça Núñez yang mendambakan timnya bergelimang gelar seperti era Cruyff. Di Ajax, Van Gaal punya rapor manis: tiga gelar Eredivisie, satu KNVB Cup, dan satu trofi Liga Champions, gelar raja Eropa yang tak bisa dicapai Robson.
“Tapi harga yang harus dibayar adalah, dia harus bergelut untuk membuat para pemainnya memahami visi sepakbolanya yang unik. Keyakinannya atas taktik yang kaku membuatnya berkonflik dengan banyak pemain dan ketidakmampuannya menyampaikan ide-idenya ke media-media lokal dan fans membuatnya berada di ujung tanduk,” tulis Maarten Meijer dalam Louis van Gaal: The Biography.
Baca juga: Dinho Oh Dinho...
Hingga masa kepelatihannya berakhir, Van Gaal tergolong sukses di dua musim pertama dengan dua gelar La Liga, serta masing-masing satu Copa del Rey dan UEFA Super Cup. “Terlebih Van Gaal memberikan rakyat Katalan hasil yang paling diinginkan, kemenangan di El Clásico atas Real Madrid di ibukota. Taktik hit-and-run yang diterapkan menghancurkan start tak terkalahkan Madrid lewat kemenangan 3-2,” sambungnya.
Di musim ketiganya, Van Gaal justru tambah musuh. Media dan fans Barça sendiri memusuhinya. “Berikutnya saat presiden klub melihat saputangan putih pertanda dari fans serta teriakan ‘entrenador fuerra’ (pecat pelatih, red.), jelas presiden akan memecatnya sebelum fans memaksa sang presiden turun jabatan,” kata Maarten.
Ketegangan Van Gaal dengan media dan fans dipicu oleh hubungan tak harmonisnya dengan sang bintang, Rivaldo Ferreira. Ketidakharmonisan itu dimulai ketika Rivaldo ngambek karena sering dipaksa Van Gaal bermain di sayap kiri, bukan di posisi aslinya gelandang tengah. Klimaksnya, Rivaldo angkat kaki. Hal itu membuat media dan fans menekan Van Gaal sehingga dia juga angkat koper pada 20 Mei 2000. Mereka tak peduli Van Gaal berperan mengorbitkan banyak jebolan La Masia yang kelak jadi pilar penting kejayaan Barça dan timnas Spanyol: Carles Puyol, Xavi Hernández, Víctor Valdés, dan Andrés Iniesta.
Van Gaal sempat comeback pada musim 2002-2003. Tapi performa inkonsisten Barça kembali membuat kursinya panas. Di jeda musim dingin, 28 Januari 2003, manajemen klub melepasnya setelah Barça terperosok ke urutan ke-12 di klasemen La Liga.
Frank Rijkaard
Kendati hanya lima musim melatih Barça (2003-2008), capaian Rijkaard masih berkesan bagi presiden klub, Josep Bartomeu. Kepada La Repubblica, 11 Januari 2016, Bartomeu menyatakan, “Kami tak ingin menang menghalalkan segala cara. Ini (Barça) adalah sekolah Belanda dari Michels, Cruyff, Van Gaal, dan Rijkaard. Bola menjadi inti setiap keputusan; jika Anda memperlakukannya dengan baik, Anda akan mendapat hasilnya. Kami klub global yang dihormati dan dikagumi dengan misi untuk menghibur.”
Yang dimaksud Bartomeu adalah sepakbola tiki-taka yang fondasinya dibangun Rijkaard dan diteruskan Guardiola (2008-2012) dan berhasil jadi masa kejayaan Barca. Di masa Rijkaardlah tulang punggung Barça-nya Guardiola hadir: Xavi, Iniesta, Lionel Messi, dan Ronaldinho.
Padahal, penunjukan Rijkaard untuk menggantikan Radomir Antić pada 2003 sendiri terbilang gambling. “Pemilihan Rijkaard atas saran Cruyff ini mendapat tentangan dari fans. Selain karena membenamkan Sparta Rotterdam ke jurang degradasi, Rijkaard dinilai minim pengalaman,” tulis Astri Novia dan Rockin Marvin dalam El Llibre del Barça: Meretas Jejak Klub Terbaik dari Tanah Katalan.
Baca juga: Lionel Messi, Alien Sepakbola yang Membumi
Tekanan berat sempat membuat Rijkaard goyah di paruh pertama musim 2003-2004. Suatu waktu, posisi Barça pernah terjun ke posisi 13 di klasemen. Tapi seiring taktiknya mulai klop dengan masing-masing karakter pemain jebolan La Masia serta para bintang baru (Samuel Eto’o, Deco de Souza, Ronaldinho, dan Ludovic Giuly), perlahan tekanan fans berbalik jadi dukungan positif.
“Publik Camp Nou mulai jatuh cinta dengan pola Rijkaard, 4-3-3, pressing dan permainan passing cepat ala Cruyff,” ungkap Graham Hunter dalam Barça: The Making of the Greatest Team in the World.
Gelar La Liga dan Supercopa de Espana pun diraih Barca sebagai hasilnya. Klimaksnya, juara Liga Champions 2005-2006. Yang lebih spesial, Rijkaard mampu membawa Barça mempecundangi Real Madrid dua kali berturut-turut di kandang musuh, Stadion Santiago Bernabéu. Saat itu belum ada satupun entrenador dengan capaian serupa Rijkaard.
Namun sayangnya di musim 2007-2008 Barça puasa gelar sama sekali. Meski Rijkaard bersikeras ingin bertahan, pada 8 Mei dewan direksi klub satu suara untuk memutus kerjasama dengan Rijkaard.
Baca juga: Lima Gebrakan Revolusioner Wenger
Tambahkan komentar
Belum ada komentar