Sisi Terang dan Gelap Diego Maradona
Kisah kebintangan Maradona yang jadi pisau bermata dua. Dipuja ibarat tuhan lantas dibanting ke jurang keterpurukan.
SUASANA kota Napoli begitu ramai pada 5 Juli 1984. Dari sebuah kamera amatir di sebuah mobil, konvoi tiga mobil tampak sedang menuju Stadio San Paolo, markas klub SSC Napoli. Salah satu mobil di konvoi itu membawa sosok yang dinanti: Diego Maradona.
Tempo cepat musik disko tekno 1980-an yang ‘nge-beat’ mengiringi beberapa sisipan foto dan video tentang Maradona sebelum tiba di Napoli. Sisipan foto maupun footage-nya beragam, mulai saat dia masih jadi pemain Boca Juniors hingga setelah jadi pemain yang mulai terseret kehidupan malam di Barcelona.
“Dia pemain bertalenta dan punya semua hal yang dibutuhkan. Tetapi dia belum siap secara psikologis,” ujar Pelé dalam sebuah cuplikan wawancara mengomentari gagalnya Maradona bersinar di Barcelona.
Baca juga: Tendangan dari Bauru
Music scoring yang sama masih mengiringi saat alur cerita kembali ke konvoi mobil tadi setibanya di San Paolo. Maradona langsung disambut ratusan wartawan dan juru foto pada konferensi pers jelang diperkenalkan ke 85 ribu fans Napoli yang sudah menyesaki stadion.
Raut wajah Maradona begitu cerah saat menyapa puluhan ribu fans di dalam lapangan yang terus menggemakan chant “Diego, Diego, Diego!” Ia berterimakasih setelah Napoli bersedia memungutnya dari Barcelona, dan siap untuk memberi mukjizat kepada warga kota termiskin di Italia itu.
Maradona jelas belum mengetahui hidupnya bakal melejit tinggi sekaligus akan menukik tajam dengan menyakitkan selama hampir delapan tahun di Napoli. Ini yang jadi fokus sutradara Asif Kapadia kala membuka film dokumenter bertajuk Diego Maradona: Rebel, Hero, Hustler, God.
Sejumlah narasumber primer dan sekunder turut menuturkan narasi yang mengiringi rangkaian cuplikan video lawas. Tentang pergulatan Maradona baik di dalam maupun di luar lapangan. Selain Maradona sendiri, ada sejarawan John Foot, jurnalis olahraga Gonzalo Bonadeo dan Daniel Arcucci, pelatih pribadi Maradona Fernando Signorini, eks-bek Napoli Ciro Ferrara, eks-Presiden SSC Napoli Corrado Ferlaino, perwakilan fans Napoli Gennaro Montuori; kakak Maradona Maria Rosa Maradona, Claudia Villafañe sang istri, hingga pengacaranya Vincenzo Siniscalchi.
Narasi yang dituturkan mereka seolah mengajak penonton untuk melihat lebih dalam sisi lain kehidupan Maradona di masa jaya hingga kejatuhannya di Napoli. Apa yang dicapai Maradona bak pisau bermata dua. Di satu sisi ia dipuja setara Tuhan oleh publik Napoli, tetapi di sisi lain ia bagaikan hidup terpenjara akibat tekanan dari mafia dan petinggi klub.
Sisi gelap tak membiarkan Maradona bernaung dalam kemasyhurannya. Lingkaran setan memaksanya bergaul dengan kelompok mafia dari Keluarga Giuliano hingga jadi pemadat. Kegelapan Maradona makin ditambah dengan belenggu dari Ferlaino yang enggan melepasnya kendati Maradona mulai tak kerasan.
Jeratan kegelapan itu mulai timbul setelah Maradona memberikan mukjizat berupa scudetto (gelar juara) Liga Italia pertama pada publik Napoli di musim 1986-1987 dan musim 1989-1990, serta satu juara UEFA Cup pada 1988-1989.
“Setelah pertandingan (final UEFA Cup) Maradona minta saya untuk menjualnya. Dia ingin meninggalkan Napoli. Tetapi saya tidak mau menjual Maradona dan ingin dia bertahan dengan semua cara. Jadi sayalah yang memenjarakan Maradona,” aku Ferlaino.
Baca juga: Dinho Oh Dinho...
Publik tak pernah menyangka Maradona makin hari makin mengalami pergulatan batin. Hanya Signorino yang menyadarinya. Sang pelatih pribadi itu bisa melihat Maradona makin jelas memperlihatkan kepribadian gandanya: sebagai Diego, seorang anak dari Villa Fiorito, sebuah kampung kumuh di Buenos Aires, yang polos dan mulai tersiksa batinnya; dan sebagai Maradona, yang dipuja publik dan tak boleh memperlihatkan sisi lemahnya.
“Saya melihat ada Diego dan ada Maradona. Diego seorang anak manis yang selalu gelisah. Maradona adalah karakter yang mesti ia ciptakan untuk menghadapi tuntutan bisnis sepakbola dan media. Maradona tak boleh menunjukkan kelemahannya. Saya pernah bilang padanya bahwa saya akan mengikuti Diego sampai ujung dunia tapi tidak dengan Maradona. Dia bilang: ‘Tentu, tapi tanpa Maradona, saya masih akan berada di Villa Fiorito,’” kata Signorino mengisahkan dialognya dengan sang bintang.
Villa Fiorito oleh sang sineas juga dihadirkan lewat potongan-potongan video lama dan foto lingkungan kumuh itu yang jadi tempat tinggal Maradona saat kecil. Di sanalah Maradona sejak usia 15 tahun sudah jadi tulang punggung keluarga. Keinginan kuatnya untuk membawa keluarganya dari jurang kemiskinan membuatnya mau berjuang menjadi “Maradona” ketimbang “Diego” walau harus membayar mahal.
“Adik saya sedari umur 15 tak lagi punya kehidupan sendiri. Dia menjelma jadi orang yang berbeda. Dia selalu mengurus segalanya. Adalah sebuah beban baginya untuk jadi terkenal. Dia selalu menjadi pahlawan. Tetapi dia tak bisa melakukannya sendiri,” ujar Maria.
Baca juga: Cristiano Ronaldo, Lebah Kecil dari Madeira
Namun, kesohoran pula yang menjatuhkan Maradona. Bermula dari pujian tinggi publik pasca-dia membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 1986, ketenaran Maradona mencapai titik balik di Piala Dunia 1990. Ia mulai dibenci publik Italia maupun publik Napoli gegara Italia kalah dari Argentina di semifinal Piala Dunia 1990.
“Tuhan yang dipuja dan disembah publik Napoli kala mengangkat derajat kota kecil yang dikucilkan publik kota-kota di utara Italia itu, kini berbalik dilaknat. Itu jadi titik balik kehidupan Maradona yang lantas puncaknya diperparah kasus narkoba.
Untuk menyelami lebih dalam insight dari kisah manis dan getir Maradona itu, baiknya tonton sendiri di aplikasi daring Mola TV.
Harga Mahal Kemasyhuran
Walau dikemas dalam genre dokumenter, kisah Maradona garapan Kapadia diracik dengan gaya melankolis dan klasik: from hero to zero. Kendati begitu, dokumenter garapan Kapadia tak membosankan, pasalnya dari awal hingga akhir sarat kisah terpendam yang jarang diketahui publik, terutama oleh para pemuja Maradona.
Kisah yang disajikan beragam. Dari tentang bagaimana Maradona harus berlatih ekstra untuk beradaptasi dengan gaya permainan Italia yang berbeda dari Argentina atau Spanyol, hingga tentang bagaimana Maradona memanggul ekspektasi besar sebagai juru selamat yang diharapkan bisa mengangkat martabat warga Napoli yang acap dirundung dan jadi sasaran rasisme warga kota-kota di utara.
Yang juga penting adalah tentang kisah pergulatan batinnya. Di balik kenikmatannya sebagai pesohor, Maradona mulai tak nyaman dengan beragam bentuk pemujaan yang diterimanya dari publik Napoli. Tak hanya fotonya terpajang sejajar dengan foto Bunda Maria atau Yesus Kristus di hampir semua rumah warga Napoli, darahnya yang diambil dari tes medis pun diletakkan di Katedral San Gennaro.
Baca juga: Lionel Messi, Alien Sepakbola yang Membumi
Pergulatan batin Maradona makin berat dengan tekanan media yang memberitakan perselingkuhannya dengan Cristiana Sinagra hingga melahirkan seorang putra yang tak diakui Maradona. Lalu, bos Camorra (mafia) Carmine Giuliano memperlakukanya bak propertinya sendiri. Tekanan-tekanan itu menyeret Maradona makin dalam ke lingkaran setan dunia malam dan narkoba.
Semua itu dijahit dengan apik oleh Kapadia yang menggunakan total 500 arsip video yang belum pernah dipublikasikan. Arsip video itu berisi wawancara para narasumber maupun gambar hasil dua tim kameramen yang dipekerjakan agen Maradona, Jorge Cyterszpiler.
Untuk menambah daya tarik, Kapadia melengkapi jahitan gambarnya dengan music scoring bergenre disko untuk menggambarkan suasana era 1980-an, dan alunan musik klasik menegangkan dan mengharukan yang mengiringi cuplikan-cuplikan aksi Maradona di lapangan. Tak ayal, sejumlah kritikus memuji karya Kapadia sebagai berhasil menyajikan pencerahan dan kedalaman cerita hidup Maradona sebagai subyek.
“Semua ada di sini: pertandingan-pertandingan hebat, gol-gol dan skandal-skandal besar. Semua menjadi satu dalam kehidupan (Maradona) dan ini yang menjadikannya tidak sama dengan biopik para legenda olahraga lain. Dokumenter ini menyuguhkan sebuah perasaan yang lebih tajam dari atmosfer yang ada di sekitarnya,” tulis kritikus John Doyle di kolomnya yang dimuat The Globe and Mail, 16 Desember 2020.
Anak yang Tak Diakui Maradona
Kapadia juga menyisipkan kisah tersembunyi tentang Maradona dan kekasih gelapnya, Christina Sinagra. Di pengujung film, Kapadia menyelipkan rekaman pertemuan pertama Maradona dengan putra yang tak pernah diakuinya, Diego Armando Maradona Junior Sinagra, pada 2016. Kapadia melengkapinya dengan keterangan: “Pada 2016, setelah 30 tahun penyangkalan, Diego Maradona akhirnya mengakui kebenaran tentang hubungannya dengan Cristiana Sinagra.”
Namun, bagian penutup ini jadi titik mula ketidakakuratan fakta biopik. Maradona bertemu pertama kali dengan putranya yang lahir dari rahim Cristiana faktanya adalah tahun 2007.
Baca juga: Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Dalam narasi yang disampaikan Cristiana, dia pertamakali bertemu Maradona pada Desember 1985. Menurut Jimmy Burns dalam Maradona: The Hand of God, pertemuan Maradona dan Cristiana terjadi dalam sebuah pesta yang digelar Maria Rosa, kakak Maradona. Cristiana yang kala itu baru lulus kuliah di jurusan akuntansi dengan paras cantik berambut pirang, begitu memesona mata Maradona. Kebetulan di akhir tahun itu tunangannya, Claudia Villafañe, sedang mudik ke Argentina.
“Dia (Cristiana) adalah teman di kalangan pergaulan Maria, suaminya Gabriel Esposito dan dua adik Maradona, Hugo dan Lalo. Adalah ide Maria yang memperkenalkan Cristiana kepada Diego,” tulis Burns.
Dari pesta itu, Maradona dan Cristiana pun sering bertemu. Terutama ketika Maradona tengah kesepian tanpa Claudia. Cristiana sendiri kagum dengan kepribadian Maradona kendati tahu sang pemain sudah ada yang punya.
“Kami bertemu hanya pada saat-saat tertentu. Saya melihat sesuatu hal yang lain pada dirinya dari apa yang eksis di imej publik. Diego yang saya kenal bukanlah Diego yang ada di suratkabar. Dia sosok yang peduli dan perhatian pada keluarga, dia bukan sosok yang arogan,” ungkap Cristiana dikutip Burns.
Baca juga: Diego Maradona dalam Kenangan
Namun, Maradona cenderung ingin menyudahi hubungan terlarang mereka setelah medio April 1986. Pasalnya, Cristiana memberitahu keluarga Maradona bahwa dia mengandung anak Maradona. Walau keluarga Maradona mendesaknya menggugurkan kandungan, Cristiana bertahan menolaknya.
“Pada suatu saat, ayah Cristiana bahkan diam-diam mendatangi Maradona dan memohon kepadanya untuk menunjukkan rasa tanggung jawabnya kepada putrinya. ‘Ya, anak yang dikandungnya itu adalah anak saya tapi saya tidak ingin melihat Cristiana sampai melahirkannya.’ Hanya kata-kata itu yang didapat ayah Cristiana dari Maradona,” imbuhnya.
Maradona seolah tak peduli. Terlebih ia ingin fokus pada persiapan Timnas Argentina di Piala Dunia 1986. Kasus “anak haram” Maradona itu baru digegerkan media-media Italia kala Cristiana melahirkan putranya pada 20 September 1986.
Kepada media, Cristiana menyatakan ia menamai putranya Diego Armando Maradona Junior. Sebab, dia memang anak Maradona.
Baca juga: Race, Kisah Dramatis Atlet Kulit Hitam di Olimpiade Nazi
Claudia yang menyaksikan wawancara Cristiana itu via televisi jelas syok. Apalagi saat itu Claudia juga tengah mengandung dua bulan. Kepada Claudia, Maradona berulangkali menyanggah bayi yang dilahirkan Cristiana itu darah dagingnya.
“Di sisi lain keluarga Sinagra harus menghadapi kepopuleran Maradona di publik Napoli. Saat Cristiana dan putranya, Diego Armando Junior, meninggalkan rumahsakit, mereka harus keluar diam-diam pada jam dua dini hari demi menghindari kemarahan fans Napoli. Fans Napoli khawatir performa idola mereka terganggu sebagai hasil dari tuntutan hukum dari keluarga Sinagra,” ungkap Paddy Agnew dalam Forza Italia: The Fall and Rise of Italian Football.
Baca juga: Rush Memicu Adrenalin hingga Garis Finis
Sembilan tahun Cristiana dan keluarganya memperjuangkan tuntutan itu di pengadilan. Mereka menuntut Diego Armando Junior bisa diakui pengadilan Italia agar kemudian sang bayi berhak menyandang nama belakang “Maradona”. Selama itu pula, termasuk ketika tengah diterpa skandal narkoba, Maradona enggan mengakuinya.
Pada akhirnya di tahun 1995 pengadilan Italia menyatakan bahwa Diego Junior adalah benar anak dari Diego Maradona. Oleh karenanya secara hukum berhak menggunakan nama ‘Maradona’.
“Tetapi sampai 10 tahun setelahnya, pada musim gugur 2005, Maradona masih menyanggah. Dalam acara televisi yang dibawakannya, ‘La Noche del 10’, dia mengatakan: ‘Diego Junior mesti menerima untuk tidak diakui. Saya punya dua putri yang saya cintai. Hakim bisa memaksa saya membayar sejumlah uang tapi tidak cinta saya. Cinta saya hanya untuk Dalma dan Giannina. Suka atau tidak, saya takkan pernah menerima bahwa Diego Junior adalah putra saya,’” sambung Agnew
Di tahun 2005 itu, Diego Junior sudah merintis kariernya sebagai pesepakbola di akademi SSC Napoli dan Cervia 1920. Ia bahkan sempat mengenakan kostum Timnas Italia U-17 sejak 2001. Namun pada 2008 dia beralih karier ke sepakbola pantai.
Kendati Maradona bertemu pertamakali dengan Diego Junior di sebuah turnamen golf tahun 2003, Maradona baru mau mengakui Diego Junior adalah darah dagingnya pada 2007. Footage tahun 2016 yang disisipkan Kapadia di akhir film adalah momen pertemuan dan pengakuan resmi Maradona di depan publik. Pertemuan yang terjadi di Buenos Aires itu diatur oleh kekasih Diego Junior, Rocio Oliva.
Data Film
Judul: Diego Maradona: Rebel, Hero, Hustler, God | Sutradara: Asif Kapadia | Produser: James Gray-Rees, Paul Martin | Produksi: , Lorton Entertainment, On the Corner, Film4 | Distributor: Altitude Film Distribution | Genre: Dokumenter | Durasi: 130 Menit | Rilis: 14 Juni 2019 (Inggris), Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar