Sejarah Panjang Nerazzurri dalam Inter 110
Menengok masa jaya, kejatuhan, dan kebangkitan Inter Milan lewat dokumenter “Inter 110”.
WALAU langit sudah temaram, suasana di Stadio Giuseppe Meazza di Milan, Italia pada 22 Januari 2018 justru makin semarak. Puluhan ribu Interisti (fans Inter Milan) memajang wajah optimis. Nyanyian dan sorakan penyemangat sudah menggelora walau sebagian dari mereka masih berada di antrean gerbang masuk stadion untuk menyaksikan Inter menjamu AS Roma.
“Inter adalah segalanya!” seru seorang fans kepada seorang wartawan TV. “Inter adalah tim terbaik!” ujar fans lain. “Forza Inter!” jadi seruan penutup komentar sejumlah fans itu yang dikeluarkan sembari mereka membentangkan spanduk dan mengibarkan bendera hitam-biru yang jadi warna kebanggaan I Nerazzurri (julukan Inter).
Adegan berganti ke laga sengit Inter kontra AS Roma. Scene-nya silih berganti dengan adegan bos Inter, Steven Zhang, yang berjalan santai menuju lorong stadion. Zhang jadi satu dari puluhan ribuan pemuja Inter yang berjingkrak kegirangan ketika empat menit jelang waktu pertandingan berakhir, Matías Vecino mencetak gol penyeimbang kedudukan lewat sundulannya.
Cuplikan-cuplikan adegan yang muncul bergantian itu turut menaikkan adrenalin penonton dalam pembuka dokumenter bertajuk Inter 110 garapan sutradara Mirwan Suwarso yang dibantu editor Marcos Horacio Azevedo. Dokumenter ini dibuat dalam rangka perayaan milad ke-110 klub pada 9 Maret 2018.
Baca juga: AS Roma Menggebrak Eropa
Inter 110 mengupas sejarah klub tersebut sejak berdirinya akibat “perceraian” dengan tim sekota, AC Milan. Fakta-fakta historisnya dihadikan lewat rekaman-rekaman lawas hitam-putih maupun penuturan 13 narasumber yang mewakili era masing-masing, di antaranya eks pemain Mario Corso (1957-1973), Giuseppe Baresi (1976-1992), Giuseppe Bergomi (1979-1999), Javier Zanetti (1995-2014), Marco Materazzi (2001-2011); eks pelatih Giovanni Trapattoni (1986-1991); eks Presiden Massimo Moratti (1995-2013); jurnalis senior Fabio Monti; serta Gianfelice Fachetti yang mewakili mendiang ayahnya, Giacinto Fachetti.
Mereka mengisahkan sejarah Inter mulai dari dibangunnya tim di awal abad ke-20 hingga insan-insannya yang berpengaruh, seperti bintang legendaris Giuseppe Meazza.
“Jika dinding (stadion) bisa bicara, mereka akan bercerita banyak hal tentang Meazza dan tim Inter. Banyak yang menganggap Meazza bermain dengan membungkus bola di kakinya. Itu karena tidak ada yang bisa mencuri bola darinya. Dia mewakili Inter di masa itu dengan cara terbaik. Skill dan permainan yang modern mampu memukau para fans,” ungkap Monti tentang Meazza.
Masa keemasan “Grande Inter” (1960-1967) yang dibesut pelatih visioner Helenio Herrera dengan tulang punggung tim Giacinto Fachetti, Armando Picchi, Sandro Mazzola, dan Luis Suárez jelas tak dilewatkan. Di masa itu Inter digdaya merebut Scudetto (gelar juara) Serie A musim 1964-1965 dan 1965-1966, serta European Cup (kini Liga Champions) 1963-1964 dan 1964-1965.
“Grande Inter adalah tim istimewa, bukan hanya untuk fans tapi bagi pecinta sepakbola Italia maupun dunia secara keseluruhan. Pada saat itu Milan menjadi ibukota sepakbola dunia. Masa-masa yang menggembirakan untuk tim biru-hitam serta jadi sejarah tersendiri bagi sepakbola dari kota Madonnina,” kenang Gianfelice Fachetti.
Baca juga: Sisi Terang dan Gelap Diego Maradona
Sempat mengecewakan sepanjang 1970-an, Inter bangkit sesaat pada akhir 1980-an. Berpilarkan tiga bintang Jerman, Andreas Brehme, Lothar Matthäus, dan Jurgen Klinsmann, pelatih Trapattoni menghadirkan lagi gelar Serie A untuk Inter di musim 1988-1989.
Namun, Inter kembali tenggelam di era 1990-an. Ketidakjelasan visi membuat Inter berkubang di bawah rival-rivalnya macam AS Roma, AC Milan, dan Juventus sepanjang dekade itu.
Ketika Massimo Moratti mengambilalih kepemimpinan klub dan mendatangkan bintang Brasil Ronaldo Luís Nazário de Lima pada 1997, visi Inter mulai kembali jelas. Di milenium baru, Inter kembali harus bersaing sengit di antara “Magnificent Seven”. Baru pada 2010 di bawah besutan José Mourinho Inter bisa mengulang masa keemasannya dengan menyabet treble winners: Serie A, Coppa Italia, dan Liga Champions.
Namun, lagi-lagi masa indah itu tak awet. Di musim-musim setelahnya, Inter lagi-lagi jatuh di bawah superioritas AC Milan dan Juventus. Inter bahkan pernah mengecap tujuh tahun puasa Liga Champions. Baru di musim 2018 titik awal kebangkitan Inter kembali muncul.
“Inter punya sejarah luar biasa. Inter yang sebenarnya sudah ditentukan 110 tahun lalu. Kembali masuk Liga Champions setelah absen enam-tujuh tahun yang merupakan kompetisi terbaik, itu seperti sebuah sinyal. Di saat yang bersamaan juga jadi titik awal (kebangkitan) untuk kami. Seratus sepuluh tahun ke depan diharapkan akan sama fantastisnya atau bahkan lebih dari 110 tahun sebelumnya,” tandas Zhang.
Untuk lebih menyelami dan menghayati historis Inter, baiknya Anda tonton sendiri Inter 110 di Mola TV. Feel-nya akan lebih terasa mengingat pada Minggu (2/5/2021) Inter sukses menyegel Scudetto ke-19 dengan menyisakan empat laga pamungkas di musim 2020-2021.
Sepihak
Rangkaian footage era modern dan lawas yang diiringi music scoring orkestra cukup mampu membikin suasana hati penonton naik-turun menyaksikan sejarah Inter. Hanya saja, transisi peralihan gambar wawancara narasumber yang silih berganti secara cepat cukup mengganggu. Di beberapa bagian, kata-kata narasumber acap terpotong. Sepatah-dua patah kata atau sepotong kalimat baru dilontarkan narasumber, sudah langsung berganti penuturan narasumber lain. Alhasil, penonton tak diberi kesempatan mencerna informasi narasumber sebelumnya.
Bahasa juga menjadi soal. Mayoritas narasumber melontarkan pernyataan dalam bahasa Italia. Sialnya, tidak ada pilihan subtitle bahasa Inggris. Yang ada hanya terjemahan bahasa Indonesia di beberapa bagian yang terjemahannya kurang rapi sehingga logika kalimatnya membingungkan.
Baca juga: Di Balik Derby della Madonnina
Lalu, subyektivitas dalam dokumenter ini cenderung kuat. Hampir semua narasumber adalah orang Inter, mulai mantan pemain, eks-pelatih, hingga bekas presiden klub. Satu-satunya narasumber dari luar hanya jurnalis senior Corriere della Sera Fabio Monti.
Yang pasti, Inter 110 bukan rangkuman A-Z tentang Inter. Dokumenter ini juga sama sekali tak memberi ruang terhadap beberapa detail yang tak kalah penting bagi sejarah Inter, semisal tentang sembilan tokoh pendirinya (Giorgio Muggiani; Enrico, Arturo, dan Carlo Hintermann; Pietro Dell’Oro; Hugo dan Hans Rietmann; Carlo Ardussi; serta Giovanni Paramithiotti).
Tim produksi juga tak menyinggung tentang logo klub, kefanatikan Interisti, atau markas tim. Soal yang terakhir, selain Stadio Giuseppe Meazza yang jadi kandang bersama Inter dan AC Milan, Inter juga sempat berkandang di Arena Civica pada 1930-1958.
Siapa Giuseppe Meazza?
Hal terakhir yang dijadikan bahasan adalah sosok Meazza. Kendati namanya diabadikan menggantikan San Siro sebagai nama stadion pada 3 Maret 1980, kiprahnya hanya sedikit disebut lantaran cerita Inter 110 didominasi era “Grande Inter”. Hanya dua kali namanya disebut Monti dari 13 narasumber.
Padahal, seperti diungkapkan Monti di cuplikan wawancaranya, jika dinding stadion bisa bicara maka ia sebagai saksi bisu akan punya banyak cerita tentang Meazza. Bahwa Inter berjaya di era “Grande Inter”, itu memang benar. Tetapi, Inter sampai bisa begitu fondasinya dibangun oleh Meazza sesaat setelah lahir.
Meazza yang lahir di Porta Vittoria, Milan, pada 23 Agustus 1910 mengabdi pada 1927-1940 dan 1946-1947. Meski dia pernah membela AC Milan dan Juventus, jasanya pada Inter tetap dihargai sehingga namanya dijadikan nama stadion. Hingga saat ini, belum ada satu pemain Inter pun yang mampu menyamai apalagi melewati rekor golnya untuk Il Biscione (284 gol).
Baca juga: Merobohkan Memori San Siro
Charles F. Church dalam The Blue Century: 1910-2010 mengungkapkan, Meazza dijuluki I Balilla atau si bocah kecil karena posturnya yang pendek. Anak yatim yang ditinggal mati ayahnya di Perang Dunia I itu ditolak tim akademi AC Milan gegara kekurangan fisiknya itu. Interlah yang bersedia menerimanya.
“Julukan Il Balilla meluas setelah rekan tim seniornya, Leopoldo Conti, mengejeknya karena masih terlalu muda untuk bermain di tim: ‘Sekarang bahkan kita membiarkan anak-anak Balilla bermain,’” kata Conti, dikutip Church.
Meazza dipercaya pelatih Árpád Weisz untuk melakoni debutnya di tim senior Inter pada 12 September 1927 di laga kontra Unione Sportiva Milanese di turnamen Coppa Volta. Dalam kemenangan 6-2 Inter atas US Milanese itu, Meazza menyumbangkan dua gol.
Dalam sekejap Meazza memunculkan kekaguman. Tidak hanya rekan-rekan setim senior yang sempat meledeknya, pelatih tim rival AC Milan, Vittorio Pozzo, pun mengakui kedahsyatan permainan Meazza.
“Pozzo yang kemudian melatihnya di timnas Italia mengatakan: ‘Memiliki dia (Meazza) di tim Anda berarti Anda sudah merasa unggul 1-0. Setelah debutnya untuk Inter, (suratkabar) La Gazzetta menuliskan: ‘Seorang bintang telah lahir’,” tulis John Foot dalam Winning at All Costs: A Scandalous History of Italian Soccer.
Meazza berjasa buat Inter lantaran mempersembahkan empat gelar liga dan satu Coppa Italia. Sementara, publik Italia memujanya karena berhasil membawa Italia juara Piala Dunia 1934 dan 1938.
Prestasi itu membuat Meazza menjadi pemain Italia pertama yang mendapatkan sponsor pribadi. Meazza juga jadi satu-satunya pemain timnas yang diperbolehkan merokok, minum sampanye, hingga mendapat pemakluman atas gaya hidupnya yang flamboyan dan gemar keluar-masuk rumah bordil. Pasalnya, semua perilakunya di luar lapangan tak memengaruhi prestasinya.
“Meazza menjadi pemain paling terkenal di generasinya, seorang legenda, seorang superstar sepakbola Italia. Pozzo memujinya sebagai pemain visioner, mampu membaca permainan dan memahami situasi agar lini serang tim bisa bekerja secara lancar. Jurnalis Gianni Brera menyebutnya sebagai satu-satunya pemain Italia sensasional yang bisa menyandingi para bintang Brasil dan Argentina,” sambung Foot.
Baca juga: Balada Klub Antah Berantah Como 1907
Saat Italia masuk kancah Perang Dunia II, Meazza hijrah ke AC Milan (1940-1942) dan kemudian Juventus (1942-1943). Ia comeback ke Inter pada 1946 setelah bertualang ke Varese (1944) dan Atalanta (1945-1946) sebagai pemain merangkap pelatih.
Ketika Meazza tutup usia pada 21 Agustus 1979 akibat penyakit pankreas, segenap warga Italia berduka. Setahun berselang, AC Milan dan Inter Milan sepakat untuk mengubah nama Stadio San Siro menjadi Stadio Giuseppe Meazza untuk mengenang sosoknya.
“Tak diragukan lagi, dia adalah salah satu pesepakbola Italia terbaik sepanjang masa. Dia adalah simbol bagi kebesaran negara kami dan kita sudah semestinya mengenang sosoknya,” tandas Silviano Pioli, rival Meazza di era 1930-an.
Baca juga: Addio Paolo Rossi!
Data Film:
Judul: Inter 110 | Sutradara: Mirwan Suwarso | Produser: Luca De Angelis | Produksi: Mola TV, SuperSoccer TV, Inter Media Production | Distributor: SuperSoccer TV, RAI TV | Genre: Dokumenter | Durasi: 43 Menit | Rilis: 9 Maret 2018 (RAI TV), Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar