EDSON Arantes do Nascimento alias Pele datang ke Indonesia pada pertengahan 1972. Saat itu, Pele berusia 32 tahun dan bermain untuk klub Brazil Santos FC. Reputasi mentereng sebagai ujung tombak Brazil kampiun Piala Dunia 1958, 1962, dan 1970 melekat pada diri Pele. Tapi, untuk ukuran pesepakbola profesional, Pele tentu sudah tak muda lagi. Sisa kontraknya untuk bermain di Santos tinggal dua tahun. Kabar santer menyatakan Pele bakal menjadi pelatih setelah kontraknya selesai. Namun, Pele sendiri membantah rumor tersebut.
“Hanya sebagai penasihat untuk pemain-pemain muda dalam kontrak saya dengan Pepsi Cola,” katanya di hadapan awak media Indonesia sesaat setelah mendarat di Bandara Kemayoran pada 19 Juli 1972, sebagaimana diberitakan Harian Kami, 20 Juni 1972.
Kendati telah melewati masa-masa produktif sebagai pemain bola, publik sepakbola Indonesia sangat antusias menyambut kedatangan Pele. Mereka menantikan si raja bola asal Brazil itu “menari” di lapangan utama Senayan saat bertanding menghadapi tim nasional (timnas) Indonesia. Namun, bukan perkara mudah untuk mendatangkan Pele ke Indonesia. Butuh uang dalam jumlah besar sebagai ongkos kepada tim Santos.
Baca juga: Pele Datang ke Indonesia
Menurut Kompas, 24 Mei 1972, PSSI harus merogoh dana besar agar Jakarta menjadi salah satu tujuan tur pramusim Santos. Kala itu, PSSI membayar 45.000 dolar Amerika Serikat (AS). Sebanyak 40.000 dolar sebagai fee untuk tim Santos ditambah 5.000 dolar tiket perjalanan. Dengan kurs Rp415 per 1 dollar AS, maka biaya kedatangan Santos sekitar Rp18,6 juta. Jika nilainya dikonversi ke zaman sekarang, maka 45.000 dolar AS kurs 1972 setara dengan 335.853 dolar AS kurs 2024 atau senilai 5.5 miliar rupiah.
Biaya Santos ke Jakarta lebih besar dibandingkan kunjungannya ke Tokyo, Jepang, dan Bangkok, Thailand. Ongkos yang dibayarkan PSSI untuk Santos sudah termasuk tiket pesawat menuju dan dari Jakarta. Di Tokyo, Santos mendapat bayaran 22.500 dolar AS, tetapi jumlah itu belum termasuk 26 tiket pesawat dari Rio De Janeiro ke Tokyo.
Sementara itu, dalam kunjungan ke Thailand, Santos mematok bayaran 35.000 dolar AS. Di luar biaya penampilan, Santos meminta pula tambahan bayaran sebesar tiga persen dari keuntungan total penjualan tiket laga Santos menghadapi timnas Thailand. Meskipun membayar Santos paling mahal dalam tur Asia, kontrak PSSI dengan Santos hanya setengah dari kontrak terbesar yang diterima Santos di tahun itu. Santos menerima uang sebesar 80.000 dolar AS untuk laga ekshibisi menghadapi Inter Milan di Milan, Italia, Oktober 1972.
Baca juga: Bung Karno di Rio de Janeiro
Sehari sebelum berlaga menghadapi timnas Indonesia, wartawan olahraga ibukota berkesempatan mewawancarai Pele dari dekat. Lagi-lagi bukan perkara mudah untuk mendapati Pele. Mereka harus menunggu Pele untuk turun ke lobi Hotel Kartika Plaza, tempat tim Santos menginap selama tur ke Indonesia. Setelah dua jam, Pele pun muncul dikawal AKBP Edeng Sulaiman bersama dua anggota Tekab kepolisian. Hari itu, Selasa, 20 Juni 1972, sinar matahari tampak mulai terik di langit Jakarta.
“Morning, morning,” kata Pele dengan nada ramah dan senyum lebar kepada wartawan.
Menurut reportase Harian Kami, 21 Juni 1972, Pele mengenakan pakaian berwarna kuning dengan potongan rambut ala “army look” tampak segar menyambut para kuli tinta. Pele duduk bersama Manajer Santos Jorge A. Gutmann dan Wakil Manajer Clayton Bittencourt. Taki terlihat tegang, Pele menyiapkan dirinya secara santai menanggapi pertanyaan wartawan Alex Papidimitroux, seorang Brazil yang telah menjadi Warga Negara Indonesia bertindak sebagai penerjemah bagi Pele.
“Berapa gol yang ingin Anda cetak dalam pertandingan melawan PSSI nanti?” tanya wartawan.
“Wah... dalam setiap pertandingan saya memang punya ambisi untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya. Tetapi itu juga tergantung bagaimana kekuatan lawan. Terserah deh bagaimana nanti. Pokoknya, tolong beritahukan kiper Anda supaya hati-hati menjaga gawangnya,” jawab Pele.
“Mana yang lebih Anda sukai, membuat gol dengan kaki kanan atau kaki kiri?”
“Yang mana saja. Kanan atau kiri sama saja bagi saya. Kepala juga jadi, pokoknya tidak dengan tangan,” balas Pele seraya tertawa.
Baca juga: Tendangan dari Bauru
Selain membeberkan persiapannya menghadapi pemain timnas Indonesia, Pele juga memuji kualitas Stadion Utama Senayan yang dianggapnya sebagai salah satu stadion terbaik di Asia. Di luar topik pertandingan kontra Indonesia, Pele mengaku sepanjang kariernya telah mencetak sekira 1237 gol dalam pertandingan resmi. Sebelas gol terakhir dicetaknya dalam tur Santos di Tokyo, Hongkong, Seoul, dan Bangkok.
Ketika ditanya soal pertandingan paling berkesan, Pele menyatakan debutnya di Piala Dunia 1958 di Swedia amat berkesan karena usianya baru 16 tahun saat itu. Pele juga berkisah perihal cidera paling berat yang pernah dialaminya, yaitu saat pertandingan Brazil melawan Portugal di Piala Dunia 1962 di Chili. Cidera itu menyebabkannya harus istirahat selama empat bulan. Toh, Brazil akhirnya menjadi juara Piala Dunia di Chili.
“Pele orangnya simpatik, tidak sombong, walaupun predikat pemain bola terbaik di dunia melekat pada dirinya,” kesan wartawan Kompas, Ignatius Sunito, yang ikut dalam sesi wawancara bersama Pele dalam Kompas, 21 Juni 1972.
Baca juga: Ketika Pele Dimaki Suporter Indonesia
Kendati ingin mencetak banyak gol, Pele hanya mampu membobol gawang timnas Indonesia yang dijaga kiper PSMS Medan Ronny Paslah sekali. Skor berakhir 3-2 untuk kemenangan Santos dalam pertandingan yang digelar pada 21 Juni 1972 itu. Disaksikan lebih dari 100.000 pasang mata, laga antara Santos FC kontra PSSI itu berjalan membosankan. Penonton kecewa lantaran Pele yang ditunggu-tunggu bakal menampilkan aksi dan skill individu memukau justru bermain biasa saja dibandingkan rekannya.
Setelah pertandingan itu, Pele dan rombongan tim Santos meninggalkan Jakarta pada 22 Juni 1972 untuk melanjutkan tur ke Asia. Bertahun-tahun kemudian, bahkan hingga sekarang, Pele tetap dijunjung sebagai pemain sepakbola terbaik dunia sepanjang masa. Namun, selama kunjungannya di Indonesia, Pele lebih dikenang sebagai pribadi yang hangat dan ramah.