Lembaran Getir Tragedi Heysel
Pandemi corona tak menghentikan gelaran peringatan Tragedi Heysel. Momen terkelam dalam sepakbola Eropa.
Sudah 35 tahun berlalu, tetapi duka akibat tewasnya 39 orang dalam Tragedi Heysel masih terasa. Di Liverpool, peringatan untuk menghormati 39 jiwa yang “ditelan” oleh tragedi terkelam dalam sepakbola Eropa jelang final European Cup (kini Liga Champions) antara Liverpool vs Juventus, 29 Mei 1985, itu tetap dihelat secara sederhana di tengah suasana pandemi virus corona.
Peringatan dihelat dengan meletakkan karangan bunga pada plakat peringatan di tribun Sir Kenny Dalglish, Stadion Anfield. Manajemen klub juga mengibarkan setengah tiang bendera-bendera Liverpool, Juventus, Italia, dan Inggris.
“Hari ini kita memberikan penghormatan kepada para korban di Heysel. Sebagai sebuah klub, kami mengingat dan menghormati mereka, serta semua keluarga yang terdampak tragedi ini. Mereka takkan pernah kita lupakan,” ungkap Direktur Komunikasi Liverpool FC Susan Black di laman resmi klub, liverpoolfc.com, Jumat (29/5/2020).
Baca juga: Manchester United Memperingati "Munich Air Disaster"
Di kota Turin, Italia, klub dan fans Juventus menghelat peringatan sederhana serupa. Beberapa karangan bunga diletakkan di dua tugu peringatan: Grugliasco dan Madonne delle Grazie di Cherasco. Sementara, di pucuk menara Mole Antonelliana dinyalakan lampu bertuliskan “+39 RISPETTO”.
Di kota tempat kejadian, Brussels, Belgia, peringatan dilakukan dengan peletakan karangan bunga di plakat peringatan di Stade du Heysel (kini Stade Roi Baudouin). Seremoninya dihadiri Ketua Dewan Olahraga Kota Brussels Benoit Hellings, Duta Besar Italia untuk Belgia Elena Basile, dan Duta Besar Inggris untuk Belgia Martin Shearman.
Bencana di Laga Final Eropa
Momen pahit itu masih terekam jelas di kepala jurnalis media Inggris Derby Telegraph Paul Fry. Kala itu dia menonton laga final European Cup di Sektor X atau tribun belakang gawang Stadion Heysel.
Fry, yang juga bekerja sebagai penerjemah di sebuah bank di kota lain di Belgia, berada di Brussels sebetulnya bukan untuk menonton final, tetapi ‘ngapel’ ke tempat pacarnya. Ia ikut menonton laga final hanya untuk mengisi waktu luang bersama pacarnya dan ikut-ikutan fans lain dari negeri asalnya.
“Sebuah kenangan yang mustahil terhapus dari ingatan: barisan mayat yang diselimuti bendera. Sekira 50 ribu tiket waktu itu terjual habis tetapi banyak penonton lain yang bisa masuk tanpa tiket, menerobos dinding stadion yang rapuh. Ketika hari berganti, 39 fans sepakbola itu tergolek tak bernyawa. Semua tewas dalam jarak beberapa yard dari tempat saya berdiri di tribun belakang gawang,” kenang Fry sebagaimana dilansir derbytelegraph.co.uk, Jumat (29/5/2020).
Baca juga: Kisah Kiper Manchester United yang Selamat dari "Munich Air Disaster"
Jumlah penonton laga saat itu melebihi kapasitas 50 ribu kursi. Salah satu penyebabnya, kondisi bangunan stadion memprihatinkan karena belum pernah direnovasi sejak dibangun pada 1930. Beberapa bagian dinding luarnya yang terbuat dari cinder block (semacam batako) dengan mudah dijebol para fans tanpa tiket agar bisa masuk.
Namun, kerusuhan berupa keributan antarsuporter sudah terjadi pada petang sebelum laga dimulai. Dalam “The Cursed Cup: Italian Responses to the 1985 Heysel Disaster” yang dimuat dalam buku Soccer and Disaster, Fabio Chisari mengungkapkan, sudah terjadi penusukan terhadap seorang fans Liverpool oleh sekelompok tifosi Juve. Lalu, ada kejadian 20 suporter Liverpool merampok sebuah toko perhiasan. Di beberapa sektor kota pun sudah terjadi saling lempar botol, batu, serta perkelahian.
“Untuk di stadion, masuknya suporter sebenarnya sudah diatur. Jalur suporter dibedakan karena kubu mereka dipisahkan. Fans Liverpool di belakang gawang, tepatnya di Sektor X dan Y. Sementara Sektor N dan O di belakang gawang lainnya khusus fans Juventus. Adapun Sektor M dekat fans Juve dan Sektor Z dekat fans Liverpool, diperuntukkan penonton netral,” tulis Chisari.
Baca juga: Hilang Nyawa Suporter Bola Salah Siapa?
Kedua kubu suporter sudah diperbolehkan masuk dua jam sebelum laga dimulai pukul 8.15 malam. Sementara, dua sektor utama di bagian sisi samping lapangan masih dikosongkan hingga setengah jam sebelum kick-off. Tetapi rupanya ada ratusan fans Juventus ikut menyusup ke Sektor Z. Hasil investigasi kemudian menyatakan, ada “orang dalam” panitia pertandingan yang menjual tiket-tiket di sektor netral kepada fans Juve.
Maka di Sektor Z yang bersebelahan dengan dua sektor khusus fans Liverpool, terdapat fans Juve bersama dengan ratusan penonton netral. Saling ejek pun jadi “pembuka” konfrontasi. Tepat pukul 7 malam, botol dan mercon dari kubu fans Liverpool sudah mulai dilemparkan ke Sektor Z.
“Penonton Italia membalas dengan lemparan batu dan pada pukul 7.15 malam tensi kian memanas karena terdorong alkohol, di mana saat itu pihak keamanan stadion tak melarang minuman keras dibawa masuk ke stadion. Karena di Sektor Z hanya terdapat delapan polisi yang berjaga, mereka tak bisa mengendalikan situasi,” tambahnya.
“Fans Liverpool kemudian mulai menyerang dan mendobrak pagar pembatas. Ratusan fans Italia terpukul mundur dan terdesak hingga tembok tribun setinggi tujuh kaki. Pada pukul 7.30 malam, tembok di Sektor Z tak kuat menahan beban desakan suporter hingga roboh. Puluhan orang berjatuhan karena terjerumus ke celah antar Sektor Z dengan tribun tengah,” sambung Chisari.
Baca juga: Perang Sepakbola dan Kemerdekaan Kroasia
Para suporter Juventus yang kocar-kacir lalu merobohkan pagar depan untuk jalan keluar ke trek atletik dan lapangan. Di dalam lapangan mereka terpaksa berkelahi dengan barisan polisi yang menahan agar tak masuk lapangan.
Total 39 orang meninggal dan 600 luka-luka karena terjatuh ke celah antartribun, terinjak-injak, tertimpa tembok yang roboh, serangan fans Liverpool, atau dipukuli dengan brutal oleh polisi. Dari 39 korban tewas, 32 di antaranya suporter Juve, dua penonton asal Prancis, empat Belgia, dan satu penonton asal Irlandia Utara.
Mirisnya, pertandingan tetap digelar sesuai jadwal. Setelah para penonton yang meluber ke lapangan diusir keluar, ofisial UEFA, Perdana Menteri Belgia Wilfied Martens, Walikota Brussels Hervé Brouhon, dan kepala Kepolisian Brussels memutuskan final jalan terus. Alasannya untuk mencegah kekerasan meledak lebih parah.
“Lalu kedua kapten tim diminta menenangkan masing-masing suporternya. Kapten Liverpool Phil Neal dengan pengeras suara mengumumkan: ‘Dengar! Kami muak dengan apa yang terjadi. Bersikaplah dengan baik agar kami bisa bermain di lapangan’,” ungkap Steve Wilson dalam Heysel and Other Stories.
“Kapten Juventus (Gaetano Scirea) semenit kemudian juga masuk ke lapangan dan bicara dengan pengeras suara untuk meminta hal yang sama kepada fans Juventus. Jam 8 lewat 15 menit, pertandingan digulirkan dan tampak wajah-wajah pemain ceria sebagaimana biasa, seolah tak terjadi apa-apa,” lanjutnya.
Laga itu dimenangkan Juventus (1-0) berkat gol Michel Platini di menit ke-58 yang tercipta dari titik putih.
Sehari setelah pertandingan, investigasi dimulai. Hasilnya, tim pemantau Komisi Disiplin UEFA memutuskan fans Liverpool bersalah. Sebanyak 34 yang dianggap sebagai biang keladi dan provokator ditahan. Liverpool disanksi larangan bertanding di kompetisi Eropa selama enam tahun.
“Saya mati rasa ketika menyadari betapa dekatnya saya pada kematian atau terluka akibat kejadian itu. Kengerian itu saya rasakan hingga berhari-hari kemudian. Tetapi kemudian datang semacam perasaan bersyukur: ‘belum waktunya saya meninggal, jadi lanjutkanlah hidupmu’,” tandas Fry.
Baca juga: Rasis dalam Sepakbola Tak Kunjung Habis
Tragedi Heysel menjadi titik balik. Kejadian itu mengusik Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher. Sang “Wanita Besi” mendorong FA, induk sepakbola Inggris, bertindak tegas. FA memerintahkan klub-klub Inggris untuk mundur dari semua kompetisi Eropa.
“Kita harus membersihkan permainan (sepakbola) ini dari hooliganisme di negeri kita sendiri dan setelah itu mungkin kita baru bisa membolehkan sepakbola kita bermain di luar negeri lagi,” kata Thatcher dikutip Jim White dalam A Matter of Life and Death.
Selain kepada Liverpool, UEFA juga memberi sanksi kepada klub-klub Inggris yang punya fans brutal, seperti Manchester United, Norwich City, dan Tottenham Hotspur. UEFA baru mencabut sanksi itu pada 1990.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar