Pelajaran Berharga dari Tragedi Sepakbola
Tragedi Kanjuruhan jadi momen kelam bagi sepakbola dunia, kata Presiden FIFA. Akankah jadi momen pembelajaran untuk berbenah total jua?
TIDAK hanya jadi perhatian nasional, tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim) pada Sabtu (1/10/2022) juga jadi perhatian dunia. Sebanyak 174 jiwa melayang sia-sia dan lebih dari 300 lainnya luka-luka.
Peristiwa getir itu bermula selepas peluit panjang tanda berakhirnya laga Liga 1 antara Arema FC melawan Persebaya yang berkesudahan 3-2 untuk kemenangan tim tamu. Tak terima, sejumlah oknum Aremania (sebutan fans Arema FC) menumpahkan kekecewaan dengan menyerbu ke lapangan yang kemudian dipukul mundur aparat kepolisian.
Bentrokan antara suporter dan aparat pun tak terelakkan. Aparat tak hanya menggunakan pentungan dan tameng, tapi kemudian menembakkan gas air mata. Bukan hanya untuk membubarkan suporter yang turun ke lapangan tapi juga ke beberapa tribun.
Baca juga: Hilang Nyawa Suporter Bola Salah Siapa?
Akibatnya, suporter yang memadati stadion yang dibangun pada 1997 dan diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004 itu dilanda kepanikan. Di setiap pintu keluar sektor tribun terjadi penumpukan suporter yang serentak menyelamatkan diri dari gas air mata yang memedihkan mata dan menyesakkan nafas. Korban jiwa kemudian berjatuhan.
Presiden Joko Widodo, yang prihatin, langsung memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit mengusut kejadian itu dan meminta PSSI untuk sementara menyetop Liga 1 hingga evaluasi dan prosedur pengamanan pertandingan dirampungkan.
Serupa dengan Presiden Jokowi, Presiden FIFA Gianni Infantino juga turun tangan. Sebuah tim investigasi dikirimkannya ke Malang.
“Ini hari yang kelam bagi semua yang terlibat dalam sepakbola dan sebuah tragedi di luar pemahaman kita. Dari hati yang terdalam, saya turut berbelasungkawa kepada para keluarga korban yang kehilangan atas insiden tragis ini,” kata Infantino di laman resmi FIFA, Minggu (2/10/2022).
Apapun alasannya, penggunaan gas air mata dalam event sepakbola tidak dibenarkan dan melanggar aturan FIFA. Regulasinya tercantum dalam pasal 19 (b) FIFA Stadium Safety and Security Regulations yang berbunyi: “Pengendalian kerumunan oleh pihak keamanan tidak boleh menggunakan senjata api maupun gas air mata.”
Jangankan di dalam stadion, di luar pun penggunaan gas air mata tetap dilarang. Di Eropa, aparat yang menembakkan gas air mata takkan lolos dari jerat hukum. Itu bisa dilihat misalnya pada kerumunan fans Liverpool di luar Stade de France, Paris, di akhir Mei 2022.
Baca juga: Gas Air Mata Awalnya untuk Perang
Saat itu, ribuan fans Liverpool berkerumun di luar stadion menunggu laga final Liga Champions antara Liverpool kontra Real Madrid. Untuk mengurai kerumunan yang berpotensi ricuh, Kepolisian Paris menembakkan gas air mata dan semprotan merica.
“Saya sepenuhnya menyadari bahwa orang-orang yang punya niat baik, bahkan membawa keluarga, ditembakkan gas air mata. Dan saya meminta maaf atas kejadian itu walau harus saya tekankan lagi, tidak ada cara lain,” ungkap Kepala Kepolisian Paris Didier Lallement di hadapan Senat Prancis, dikutip USA Today, 9 Juni 2022.
Lantas, ketika korban sudah berjatuhan, siapa yang mesti bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan?
Pelajaran Tragis dari Inggris
Puluhan ribu mil dari Malang, suasana kontras terjadi di London dan Manchester, Inggris pada 1 Oktober 2022. Kendati “panas”, dalam derbi big match Arsenal kontra Tottenham Hotspurs dan Manchester City kontra Manchester United itu keamanan dan kenyamanan tetap terpelihara.
Kendati stadion-stadion Premier League tanpa pagar pembatas, puluhan ribu suporter Tottenham dan Manchester United sebagai pihak yang keok tetap pulang dengan tertib dan aman. Padahal, banyak dari mereka juga membawa keluarga.
“Kami mendukung permainan (sepakbola) yang aman. Setiap level sepakbola di Inggris berkomitmen untuk memastikan anak-anak bisa bersenang-senang, dan memiliki pengalaman positif dan inklusif. Oleh karenanya kami mendukung ‘Play Safe’, sebuah kampanye sepakbola nasional yang aman,” ungkap operator Liga Inggris, Premier League di akun Instagram-nya, @premierleague, Minggu (1/10/2022).
Baca juga: Perang Sepakbola dan Kemerdekaan Kroasia
Akan tetapi, atmosfer sepakbola yang aman dan nyaman di Inggris bukan “jatuh dari langit”, apalagi sejak dulu Inggris dikenal dengan hooliganisme-nya yang anarkis dan barbar. Ada proses panjang dengan pengalaman pahit dan tragis yang jadi bahan ajarnya. Kunci utamanya, para stake holders di Inggris punya keberanian dan kemauan. Berbeda dari Indonesia yang menteri terkaitnya berharap Tragedi Kanjuruhan tak berbuah sanksi FIFA, di Inggris perdana menterinya pernah berani menarik semua level sepakbola negerinya dari glamornya pentas dunia.
Pasca-Perang Dunia II, sepakbola Inggris memang bangkit lagi tapi sejak saat itu juga tak pernah sepi dari kejadian memilukan. Tragedi di Stadion Burnden Park, Bolton, pada 9 Maret 1946 contohnya. Saat itu, tuan rumah Bolton Wanderers menjamu Stoke City di babak keenam FA Cup yang berakhir imbang tanpa gol.
“Stadionnya hanya berkapasitas 69.500 tapi pada laga itu yang menyesaki Burnden Park sampai 80 ribu gegara antusiasme sepakbola pasca-perang. Aksesnya juga menjadi masalah karena salah satu tribunnya masih digunakan Kementerian Penyediaan Perlengkapan (perang) untuk gudang dan depot,” tulis Paul Brown dalam Savage Enthusiasm: A History of Football Fans.
Saking sesaknya, dua pembatas stadion roboh. Para penonton yang saling berdesakan dan berhimpitan pun meluap ke dalam lapangan. Saling injak dan tindih satu sama lain tak terelakkan. Akibatnya, 33 orang tewas dan 400 lainnya terluka.
Korban jiwa lebih banyak terjadi di Stadion Valley Parade, Bradford, pada 11 Mei 1985, kala Bradford City berhadapan dengan Lincoln City di partai terakhir Divisi Championship (kasta kedua Liga Inggris, red). Puntung rokok penonton memicu kebakaran di Tribun Blok G dan mengakibatkan kepanikan ribuan penonton yang berdesakan di pintu keluar. Sebanyak 56 orang menjadi korban jiwanya dan 265 lainnya luka-luka.
Baca juga: Bencana di Stadion Ibrox
Di tahun yang sama, terjadi peristiwa tragis yang jadi titik balik dalam sepakbola Inggris: Tragedi Heysel di Belgia. Momennya terjadi dalam partai final Champions Cup (kini Liga Champions) yang mempertemukan Liverpool dan Juventus, 29 Mei 1985 di Stade du Heysel (kini Stade Roi Baudouin).
Tragedi itu dipicu oleh tawuran antara suporter Liverpool dan Juventus di luar stadion yang bahkan sudah terjadi sejak petang sebelum laga dimulai. Bentrokan berlanjut ketika masing-masing kubu suporter berada di dalam stadion dan saling berbalas lemparan batu.
Pagar-pagar pembatas didobrak dan dirobohkan, di mana perkelahian kedua kubu akhirnya bentrok juga dengan aparat kepolisian. Peristiwa brutal itu menyisakan duka lantaran menewaskan 39 orang dan dan melukai 600 lainnya. Tak hanya 14 suporter Liverpool yang diseret ke pengadilan dengan dakwaan pembunuhan, sejumlah perwira polisi yang bertindak brutal juga menghadapi dakwaan yang sama.
Tragedi ini kemudian menjadi perhatian PM Margareth Thacther. “Wanita Besi” itu memerintahkan FA (induk sepakbola Inggris) untuk menarik klub-klub Inggris dari semua kompetisi Eropa seiring dilakukan evaluasi secara holistik usai pemberian sanksi kepada klub-klub Inggris oleh UEFA dan FIFA.
“Kita harus membersihkan permainan (sepakbola) ini dari hooliganisme di negeri kita sendiri dan setelah itu mungkin baru bisa membolehkan sepakbola kita bermain di luar negeri lagi,” ujar Thatcher dikutip Jim White dalam A Matter of Life and Death.
Baca juga: Lembaran Getir Tragedi Heysel
Beberapa evaluasi dibicarakan sang PM dengan FA dan Football League sebagai operator liga. Hasilnya, pemberlakuan kartu pengenal bagi ofisial, dan pemasangan pagar serta CCTV.
Namun lima bulan pasca-absen dari pentas Eropa dan gelaran liga sudah berjalan aman selama beberapa tahun, muncul Tragedi Hillsborough. Peristiwanya terjadi saat perhelatan laga semifinal FA Cup antara Liverpool dan Nottingham Forest di Stadion Hillsborough, 15 April 1989.
Tragedinya bermula dari penumpukan suporter di lorong dan pintu masuk yang sempit di Sektor 3 dan 4. Penonton memaksa masuk saat laga sudah berjalan. Hal itu mengakibatkan penumpukan di dalam tribun. Banyak suporter yang harus memanjat pagar pembatas lapangan hanya untuk menyelamatkan diri agar tak terinjak-injak atau tertindih ribuan suporter lain. Di hari nahas itu, total 97 orang tewas dan 766 lainnya terluka.
Ratu Elizabeth II, Paus Yohannes Paulus II, hingga Presiden Amerika Serikat George H.W. Bush menyatakan duka cita. PM Margaret Thatcher langsung bertolak ke Hillsborough didampingi Menteri Dalam Negeri Douglas Hurd.
“PM Thatcher merasakan kepedihannya saat melihat para korban meninggal dan terluka dan mendukung dibentuknya ‘Investigasi Taylor’ (Investigasi Hakim Agung Lord Taylor, red.) yang dalam laporannya mengkritik cara kepolisian dalam mengendalikan massa,” ungkap Charles Moore dalam Margaret Thatcher: Herself Alone.
Baca juga: Stigma Kekerasan Suporter Fanatik
Investigasi Taylor itu secara tidak langsung jadi pendorong transformasi sepakbola Inggris. Pada 17 Juli, FA bersama klub-klub Inggris menyepakati sebuah perjanjian dan merilis sebuak cetak biru, “FA Blueprint for the Future of Football”, seiring lahirnya Premier League sebagai pengganti Football League. Isinya tak hanya pembagian komersialisasi yang layak tapi juga upaya membentuk mental suporter menjadi lebih baik.
“Untuk melengkapi transformasi besar sepakbola Inggris, para suporternya juga mesti diperlakukan sebagai konsumen ketimbang sekadar fans biasa. Ini berkaitan dengan penyediaan fasilitas dan kualitas venue. Kebanyakan stadion di Inggris saat itu peninggalan era Edwardian yang tidak nyaman dan tanpa kualitas hiburan yang memadai,” tulis D. M. Webber dalam “Post-Crisis Football: The Great Transformation of the English Game” yang termaktub dalam buku Football and Supporter Activism in Europe: Whose Game Is It?.
Semenjak itu, sesuai rekomendasi “Laporan Taylor”, setiap stadion di Inggris harus melepas pagar pembatas agar tak membuat suporter seperti tahanan perang dan menghindari Tragedi Hillsborough. Semua stadion diwajibkan menghilangkan tribun berdiri dan diganti all-seater stadia alias kursi individu. Dalam hal keamanan di dalam stadion, wewenangnya tak lagi diserahkan kepada kepolisian tapi kepada pihak keamanan masing-masing klub yang tentu tanpa senjata dan prosedur represif.
“Pasca-Tragedi Hillsborough, pemerintah membentuk Football Licensing Authority di bawah Football Spectators Act. Fungsinya adalah mendesain alur keamanan lewat sejumlah dokumen pengamanan di stadion yang disebut ‘Pedoman Hijau’. Salah satu manifestasi dari kejadian Hillsborough dalam Laporan Taylor adalah penyerahan tanggungjawab keamanan di dalam stadion dari kepolisian ke steward (pihak keamanan) klub masing-masing,” ungkap Richard Cox, Dave Russell, dan Wray Vamplew dalam Encyclopedia of British Football.
Baca juga: Akar Seteru Suporter Oranye dan Biru
Tambahkan komentar
Belum ada komentar