Bonek dan Stigma Kekerasan Suporter Fanatik
Bonek kerap dicap perusuh dan dekat dengan kekerasan. Begini penjelasan dedengkotnya.
SETIAP kali dua dari empat klub saling berhadapan dalam liga sepakbola nasional, kegemparan selalu muncul. Setelah duel Persib vs Persija beberapa waktu lalu menghebohkan lantaran diwarnai pengeroyokan terhadap seorang suporter Persija hingga tewas, belum lama ini muncul kekhawatiran serupa saat Arema FC menjamu Persebaya.
Laga “Derbi Jawa Timur” itu beberapa tahun belakangan berkalang kekerasan, terutama di antara kedua suporter. Beragam imbauan agar Bonek, suporter militan Persebaya, tak menemani tim “Bajul Ijo” ke Malang pun muncul sebelum laga, termasuk dari Walikota Surabaya Tri Rishamarini.
Partai di Liga I pada Sabtu, 6 Oktober 2018 itu dimenangkan Arema 1-0. Tapi bukan kekalahan Persebaya yang jadi sorotan besar Bonek, melainkan chant-chant rasis yang berkumandang di stadion dan perobekan bendera Persebaya oleh Aremania, suporter Arema FC. Hal-hal negatif itu kian meruncingkan rivalitas Bonek dengan Aremania, yang akarnya ada pada fanatisme para pendukung klub-klub Surabaya dan Malang.
Mula Bentrokan Bonek vs Aremania
Rivalitas Surabaya-Malang sudah ada sejak lama. Di kompetisi Perserikatan, rivalitas kedua kota diwakili Persebaya vs Persema, sementara di Galatama diwakili Niac Mitra vs PS Arema (sebutan lama Arema FC). Meski bentrok antarsuporter Persebaya dan Arema kerap terjadi, tak ada yang ingat pasti kapan dan bagaimana itu bermula.
“Ada banyak versi ya. Tapi kan suporter Persebaya sudah lama ada, dari awal-awal kompetisi Perserikatan. Sementara, Arema baru berdiri 1987. Jauh sebelum itu sebenarnya rival kita itu Persema Malang,” cetus dedengkot Bonek Andie ‘Peci’ Kristianto kepada Historia.
Dari banyak versi itu, ditengarai pemicu awal bentrok adalah insiden di Stadion Tambaksari, Surabaya pada 23 Januari 1990. Mereka “konflik” bukan dalam rangka menonton tim pujaan bertanding, tapi menonton konser musik Kantata Takwa. Massa Bonek selaku “tuan rumah” tersinggung saat bagian depan panggung dikuasai para penonton asal Malang. Ketersinggungan itu membuat sebuah gesekan kecil berubah jadi bentrokan yang melebar sampai ke sekitar Stasiun Gubeng.
Andie 'Peci' Kristianto, dedengkot Bonek (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
Versi lain, kecemburuan arek-arek Malang terhadap pemberitaan-pemberitaan media Jawa Timur. Di era awal 1990-an, Persebaya dengan Boneknya acap jadi “media darling” hingga timbul ketidaksukaan pada Bonek.
“Ya mungkin dari pihaknya Arema merasa mereka harus cari musuh yang kuat agar dikenal banyak orang. Waktu itu kan klub baru, bukan klub perserikatan dan ketika (Arema) berdiri agar bisa eksis, memusuhi Persebaya dan pendukungnya,” tambah Andie Peci.
Versi ketiga menyatakan, serangan oknum pendukung Persema terhadap bus Persebaya dalam sebuah laga Liga Indonesia II, 26 Desember 1995. Serangan batu yang dilontarkan dengan ketapel itu memecahkan kaca bus dan pecahannya mengenai mata salah seorang pemain Persebaya.
“Ada itu pemain Persebaya, Nurkiman, dikatapel (oknum suporter Malang). Itu juga pemicu konflik Surabaya dan Malang. Matanya kena itu. Habis itu matanya cacat dan harus berakhir kariernya,” sambungnya lagi.
Dari semua versi mula konflik itu, menurut peneliti sejarah Persebaya Dhion Prasetya, hal terpenting yang harus dipahami adalah rival klasik Persebaya adalah dengan tim-tim Perserikatan, bukan tim Galatama seperti Arema. “Tapi elemen suporter sekarang sudah mulai paham. Kalau sama tim Galatama, enggak ada sejarahnya persaingan dengan mereka. Sebenarnya Bonek sudah mulai terbuka juga, kok. Dengan Lamongan, dengan Solo. Tapi asal jangan sampai ada provokasi satu-dua pihak yang men-judge Bonek begini atau begitu yang buruk,” jelas Dhion.
Masih Sulit Untuk Berdamai
Fakta-fakta itu, berjalin dengan fanatisme kedaerahan yang sempit, membuat perdamaian di antara keduanya belum terjadi. Untuk bisa berdamai dengan suporter Malang, Andie Peci mengakui masih sulit walau di masa mendatang itu tak mustahil. “Sebenarnya permusuhan itu tidak statis ya. Dulu Bonek dan Bobotoh juga tidak akur. Juga dengan Panser Biru (suporter PSIS), Pasopati (suporter Persis), LA Mania (suporter Persela), Brajamusti (suporter PSIM Yogyakarta). Tapi perlahan semua bisa berubah, kami sudah bisa akur,” tutur Andie Peci.
Bersama beberapa dedengkot Bonek, sejak beberapa tahun lalu Andie Peci berhasil mengupayakan perdamaian. “Saya sempat ikut proses perdamaian dengan Pasopati. Padahal dulu konfliknya keras luar biasa. Terakhir Persebaya main di Solo, sudah tidak ada gesekan. Setelah itu dengan suporter Lamongan, saya juga terlibat langsung (mendamaikan). Teman-teman pendahulu kami juga sudah bisa proses damai dengan PSIS,” tambahnya.
Selain Arema, yang saat ini masih sulit diajak berdamai dengan Bonek adalah The Jakmania, suporter Persija. “Sebetulnya sudah pernah dimulai (pendekatan antar-petinggi suporter), tapi gagal. Ya itu, gara-gara kejadian di Bantul (bentrokan Bonek-Jakmania, 3 Juni 2018). Kita sudah niat untuk mencairkan (konflik) walau ya belum berhasil,” lanjutnya.
Stigma Kekerasan dan Perjuangan
Selain dikenal dengan konflik terhadap suporter lain, Bonek dikenal masyarakat luas akan kekerasannya. Andie Peci pun mengakui masih ada oknum-oknum nakal yang akhirnya mencoreng kebesaran nama Bonek sekaligus merugikan klub.
“Saya selalu sampaikan ke siapapun, kalau ada Bonek yang bersalah, keliru, dan sudah melanggar dalam level pidana, penjarakan saja. Tapi bahwa stigma (kekerasan) itu masih melekat, iya. Kita dan teman-teman semua tidak dalam posisi mengiyakan tapi kita tidak munafik bahwa Bonek itu identik dengan kekerasan. Sampai sekarang masih ada, tapi frekuensinya menurun. Butuh waktu tapi saya dan teman-teman selalu mendudukkan persoalan inti, di mana kami sendiri harus introspeksi juga, harus berbenah,” cetus Andie.
Di dalam Bonek sendiri, sambungnya, sudah mulai lahir komunitas Bonek yang sikap dan pikirannya relatif lebih maju. “Ada Bonek Pelajar, Bonek Kampus dan sebagainya. Kelompok-kelompok yang mencitrakan Persebaya dengan baik. Di dalam kota juga sekarang mulai kondusif, tidak seperti dulu. Kalau di stadion selalu beli tiket sampai tercatat sebagai penonton terbesar di Liga I ini. Kami paham problemnya tapi butuh waktu dan lambat laun kami yakin stigma itu akan berubah.”
Namun, sikap cair itu hanya terjadi kepada suporter tim lain. Dalam hal membela klub kesayangan, terutama saat terjadi dualisme Persebaya setelah tak diakui PSSI pada 2009, sikap Bonek tak pernah melunak.
“Kita melawan suatu sistem yang kotor saat itu. Versi saya dan teman-teman, ya itu ada permainan, ada skenario khusus untuk Persebaya didegradasi. Akhirnya ya kita didegradasi. Kepemimpinan (manajemen) Persebaya juga mengalami dualisme. Ya kita mendukung Persebaya di bawah PT Persebaya Indonesia. Tapi sementara, yang diakui PSSI Persebaya di bawah PT MMIB (Mitra Muda Inti Berlian). Kita sebenarnya didegradasi tidak masalah, tapi yang diakui mestinya manajemen sebelumnya karena sejak 2009 Persebaya sudah profesional di bawah perseroan yang asli itu,” seru Andie.
Bonek memboikot dan berulangkali mendemo Persebaya di bawah PT MMIB. “Saya sampai pernah luka dibacok karena bela Persebaya. Itu tahun 2012. Dari pihak sana ada kelompok yang tidak senang saya dan kawan-kawan berdemo. Kelompok sana yang pakai kekerasan,” kenangnya.
Perjuangan mereka tak sia-sia. Pada 2017, PSSI kembali mengakui. “Militansi Bonek ini keliatan sekali bukan glory hunter. Mereka tetap membela klub yang sejarahnya sudah panjang, bukan kloning-an,” timpal Dhion.
Hingga kini, Andie Peci dan rekan-rekannya terus berusaha mencontohkan yang baik agar Bonek terus menggerus stigma buruk yang melekat pada dirinya. Bukan hanya Bonek, jika kondisi sepakbola nasional sudah mapan nir-kepentingan politis, suporter lain juga takkan mau lagi anarkis yang akhirnya merugikan klub.
“Suporter akan menemukan jalannya sendiri (untuk berlaku baik). Kita juga harus belajar dari Eropa. Di sana mereka selalu menyediakan kuota untuk suporter tim lawan. Artinya masing-masing bisa berivalitas dalam konteks batas-batas sepakbola. Terlebih, kecil kepentingan politis, mafia sepakbola pun nyaris tidak ada. Itu cukup memengaruhi jalan pikiran suporter,” imbuhnya.
Seandainya sepakbola nasional sudah bisa mapan seperti itu, lanjut Andie, moralitas suporter akan berubah. Saling bunuh antarsuporter atau aksi-aksi rasisme takkan ada lagi. “Itu yang belum ada di sini. Butuh waktu memang untuk mengubah, terutama kemapanan sepakbola nasional kita,” tutup Andie.
Baca juga:
Persebaya dalam Pusaran Masa
Salam Satu Nyali, Wani!
Sepakbola Surabaya Punya Cerita
Surabaya dan Sepakbolanya
Tambahkan komentar
Belum ada komentar