MATCH-FIXING atau pengaturan skor ibarat kanker akut dalam sepakbola yang tak pernah ada habisnya. Di Indonesia, pengaturan skor lagi-lagi mencederai sepakbola yang belum lama bergulir setelah sekian waktu absen gegara pandemi. Pengaturan skor itu menyasar Liga 2.
Komite Disiplin PSSI pada Rabu (3/11/2021) merilis keputusan yang dikeluarkan berupa denda dan sanksi larangan aktif dalam sepakbola kepada lima pemain Perserang dan satu pemain Persic Cilegon. Mereka dinyatakan menerima suap sejumlah uang. Denda yang dijatuhkan antara Rp10-30 juta dan sanksi antara 12-60 bulan.
Tetapi bau busuk utak-atik permainan skor oleh bandar judi di belakang layar tak hanya terjadi di kasta kedua liga dan tidak sekadar melibatkan pemain. Seorang perangkat pertandingan yang disamarkan identitasnya di program Mata Najwa bertajuk: “PSSI Bisa Apa? Jilid 6: Lagi-Lagi Begini”, Rabu (3/11/2021) malam, mengakui Liga 1 musim 2021 pun tercemar match-fixing yang melibatkan perangkat pertandingan.
Baca juga: Wasit yang Tak Mempan Digoda Suap
Saat dicecar pertanyaan oleh pemandu acara, Najwa Shihab, oknum yang disamarkan sebagai “Mr. Y” itu mengaku lazimnya ada beberapa kelompok perangkat pertandingan terpisah yang terlibat. Walau Mr. Y belum berani membongkar pertandingan mana saja, ia meyakini sebagian laga dari 10 pekan Liga 1 musim 2021 ada pengaturan skor.
“Untuk yang kompetisi tahun ini kita dua kali main (pengaturan skor, red.). (Kelompok lain) yang jelas sama praktiknya. Bisa jadi (semua hakim pertandingan main). Kalau untuk dapatnya, puluhan sampai ratusan juta. Semakin tinggi partainya semakin mahal,” aku Mr. Y.
Ketika Najwa mengonfirmasi hal itu ke Ketua Komite Wasit PSSI Ahmad Riyad, dia malah dicecar bahwa program itu melindungi atau menyembunyikan pelaku. Najwa beralasan bahwa dalam Undang-Undang Pers dan kode etik jurnalistik, narasumber punya hak untuk dihormati jika tak ingin menyebut identitasnya dan pers baru akan membuka identitasnya atas perintah pengadilan.
Baca juga: Cara IGK Manila Menangkal Babi-Babi Suap
Kasus pengaturan skor ini dengan demikian menambah panjang daftar kasus serupa yang telah ada sejak beberapa dekade silam.
“Dulu Galatama kita menyebutnya semi-profesional, di mana orang-orang kaya membentuk klub: Krama Yudha, Sari Bumi Raya, Pardedetex, Arseto, Pelita Jaya. Tapi tiba-tiba tidak berlanjut. Oh, ternyata ada persoalan krusial saat itu soal suap. Jadi di Galatama sudah dicekoki mafia-mafia suap. Dianggap pertandingannya sudah tidak murni lagi,” kata pengamat sepakbola Kesit Budi Handoyo kepada Historia.
Namun, pengaturan skor sejatinya tak hanya terjadi di Indonesia. Di Eropa yang sudah maju pun ada. Pada 2006 dan 2011, misalnya, skandal calciopoli mencoreng persepakbolaan Italia. Inggris yang mengklaim sebagai tanah kelahiran sepakbola modern pun tak luput dari kasus pengaturan skor. Skandalnya tidak hanya melibatkan tim-tim semenjana tapi juga pernah mendera klub-klub kondang macam Liverpool atau klub sekota Manchester United dan Manchester City. Berikut enam di antaranya:
Kolusi Test Match
Sejak dimulai pada 1888, Liga Inggris punya test match system atau semacam laga play-off dengan format round-robin antara dua tim terbawah First Division dan dua tim teratas Second Division. Tujuan test match system ini untuk menentukan tim mana saja yang bakal promosi atau degradasi.
Namun, ketika baru satu dekade liga bergulir, beberapa skandal kolusi atau “main mata” antara dua tim untuk mengatur skor dan hasil pertandingan kendati tak melibatkan uang. Salah satunya terjadi pada test match 1898 yang melibatkan Stoke City dan Burnley FC. Bersama Blackburn Rovers dan Newcastle United di partai lain, keduanya saling “bunuh” di test match. Tetapi hingga laga terakhir test match, Burnley dan Stoke yang saling berhadapan memilih main mata dengan mengatur skor imbang tanpa gol.
“Burnley dan Stoke tahu hasil imbang akan membuat Burnley promosi dan Stoke tetap bertahan (di First Division). Yang terjadi tidak ada shot on goal. Para pemain hanya ingin lekas-lekas mengakhiri laga. Blackburn atau Newcastle tak bisa melakukan apa-apa terhadap aib itu,” tulis Scott Murray dalam The Title: The Story of the First Division.
Laga itu pun jadi gunjingan publik. Media massa mengungkit praktik culas itu secara besar-besaran selama sebulan. Akibatnya, The Football League sebagai operator liga mengambil tindakan dengan menetapkan Blackburn dan Newcastle diberi kompensasi promosi. Selain itu, test match ditiadakan mulai musim 1898-1899. Sebagai gantinya, ditetapkan dua tim terbawah First Division akan langsung degradasi dan dua tim teratas Second Division otomatis promosi.
Kasus Pertama “Main Santai”
Dari tanah Inggris pula kasus suap pertama yang tercatat dalam sejarah terjadi. Kasus itu terjadi di akhir musim First Division 1899-1900 dan melibatkan kiper Burnley Jack Hillman. Mengutip Graham Sharpe dalam Free the Manchester United One, di akhir musim itu Burnley tengah kepayahan di jurang degradasi. Klub berujuluk “The Clarets” itu wajib menang di matchday terakhir saat tandang melawan Nottingham Forest pada 28 April 1900.
Menurut Sharpe, Hillman yang tak ingin timnya turun kasta, mencoba menawarkan uang senilai dua poundsterling per kepala untuk pemain-pemain Forest agar mau bermain “santai”. Upayanya gagal hingga Forest unggul 2-0 di babak pertama.
Namun, Hillman tak menyerah. Saat turun minum, dia menaikkan tawarannya menjadi lima pounds per kepala. Lagi-lagi, usahanya mentah. Forest mengunci kemenangan 4-0.
Baca juga: Kisah Perkesa 78 yang Hancur Gegara Suap
Hillman harus menerima konsekuensinya tak lama kemudian. Pasalnya, para pemain Forest mengadu ke manajemen klub.
Pengakuan para pemain Forest itu kemudian dikumpulkan dan dilaporkan sekretaris Forest ke komisi liga FA. FA langsung menginterogasi Hillman yang mendalihkan upayanya hanya sebagai candaan.
“Pada Mei 1900 Jack Hillman dijatuhi sanksi setahun oleh Football League dan Komisi Liga FA karena terbukti berupaya menyuap para pemain Nottingham Forest untuk mengalah, di mana di laga itu kemudian Burnley terpaksa degradasi,” tandas Sharpe.
Kontroversi Manchester City
Sebuah insiden merembet hingga membuat satu klub berantakan. Itulah yang dialami Manchester City pada 1905. Bukannya fokus meraih gelar, klub berjuluk “The Citizens” itu malah babak belur. Manajemen didenda, para pemainnya terpaksa dilelang, hingga manajernya disanksi seumur hidup.
Itu terjadi di matchday terakhir musim 1904-1905. Di musim itu asa City meraih gelar liga pupus lantaran kalah 2-3 dari Villa di partai terakhir di Villa Park, 29 April 1905.
Tak hanya asanya pupus, City harus menanggung akibat lebih. “Bencananya” dimulai dari perkelahian antara pemain City, Sandy Turnbull, dengan kapten Aston Villa, Alex Leake, usai laga.
Baca juga: Aston Villa Punya Cerita
Saat FA menginvestigasi insiden itu, badan tersebut sekaligus dilapori Leake soal upaya suap. Leake mengadukan Billy Meredith, pemain City, sempat menawarkannya uang 10 pounds agar Villa mau mengalah. Meski Meredith menyanggahnya, FA tetap menjatuhkan denda dan sanksi setahun larangan bermain.
Kesal karena manajemen klub enggan membayarkan dendanya, Meredith membongkar sejumlah borok klub.
“Anda (manajemen) menyetujui sanksi berat dari komisi terhadap saya dan menyatakan saya paling berdosa dan ingin menghapus saya dari sepakbola selamanya. Kenapa hanya saya? Ketika saya sedianya hanya mewakili semua yang juga bersalah,” ujar Meredith dikutip John Harding dalam Football Wizard: The Billy Meredith Story.
Meredith mengadukan bahwa manajer City Tom Maley melanggar aturan FA dengan menggaji pemain lebih dari 4 pounds, sebagaimana regulasi yang berlaku saat itu. Meredith juga buka suara bahwa Maley turut terlibat kala Meredith berupaya menyuap Leake.
Hasilnya, Maley disanksi FA seumur hidup, dua direktur klub disanksi tujuh bulan, dan 17 pemain City juga disanksi seumur hidup. Selain itu, klub didenda 900 pounds dan sisa skuadnya yang tidak disanksi harus dilelang.
Skandal Judi Bola Liverpool-Manchester United
Menjelang penghentian musim 1914-1915 gegara Perang Dunia I, Manchester United sedang berjuang menghindari degradasi. “The Red Devils” harus menang saat menjamu Liverpool, yang berada di papan tengah klasemen, pada 2 April 1915. Laga itu berkesudahan 2-0 buat tuan rumah.
Tetapi skor akhir itu membuat wasit heran. Wasit juga curiga terhadap perilaku para pemain Liverpool yang seperti bermain malas-malasan. Kecurigaan itu makin bertambah karena pada pengujung laga, eksekutor penalti Liverpool, Fred Pagnam, seakan sengaja untuk tidak mencetak gol.
“Setelah pertandingan kemudian muncul sejumlah selebaran tentang perjudian bola dengan bets at odds-nya 7-1 untuk United. Di selebaran itu tertera nama petaruhnya dari sejumlah pemain (United dan Liverpool),” ungkap Clive Harris dan Julian Whippy dalam The Greater Game.
Baca juga: Kisah Klopp dan Liverpool yang Klop
FA dan The Football League yang menggelar investigasi mendapati temuan bahwa aktor intelektual skandalnya adalah Jackie Sheldon, eks-pemain Liverpool yang di musim itu berseragam United. Sejumlah rekan Sheldon akhirnya juga terbukti terlibat perjudian bola itu, yakni Tom Miller, Bob Pursell, dan Thomas Fairfoul. Sedangkan di pihak United ada Arthur Whalley, Enoch West, dan Sandy Turnbull.
Lantaran klub terbukti tidak bersalah, FA tak menjatuhkan sanksi ataupun pengurangan poin. Hukuman hanya dijatuhkan kepada tujuh pemain yang terlibat, berupa sanksi seumur hidup. Pada 1919, FA memberi amnesti kepada keenam pemain kecuali Turnbull karena dia gugur dalam Perang Dunia I.
Sindikat Judi Jimmy Gauld
Sepakbola Inggris yang “adem ayem” mendadak gempar pada 12 April 1964. Suratkabar Sunday People merilis pernyataan eksklusif Jimmy Gauld, mantan pemain yang mengaku jadi runner sindikat perjudian bola di beberapa kasta Liga Inggris. Gauld menggadaikan pengakuannya itu seharga 7 ribu pounds (kini setara 143 ribu pounds/Rp2,8 miliar) demi menyambung hidup.
Dalam pengakuannya lewat rekaman suara di suratkabar itu, Gauld sudah menjalankan sindikasi perjudian bola sejak akhir 1962. Ia membangun jaringan sindikasinya dengan para pemain dari kasta Championship (divisi kedua) hingga divisi keempat, semisal David Layne, Peter Swan, dan Tony Kay (Sheffield Wednesday); Esmond Million dan Keith Williams (Bristol Rovers); Ken Thomson (Hartlepool United); Bryan Phillips dan Jack Fountain (York City FC); Dick Beattie (St. Mirren FC); Sammy Chapman (Mansfield Town); dan Ron Howells (Walsall FC).
Baca juga: Mercu Buana Ditutup Karena Skandal Suap
Tidak hanya FA yang bergerak, pihak kepolisian turun tangan menginvestigasi. Hasilnya didapati temuan bahwa Gauld menjalankan sindikasi dengan para pemain itu dengan memasang taruhan melawan tim masing-masing. Mereka lantas melakukan bermacam tindakan merugikan agar timnya kalah saat bertanding.
Rekaman suara Gauld yang dijadikan pemberitaan Sunday People itu pula yang membuat para pelaku diajukan ke pengadilan di Nottingham Assizes pada awal 1965. Momen itu juga jadi pertamakali rekaman audio dijadikan barang bukti di persidangan dalam sejarah hukum di Inggris.
Para pelaku lalu divonis hukuman penjara antara 4-12 bulan, sedangkan Gauld sebagai dalangnya divonis empat tahun penjara. Di ranah sepakbola, FA mengganjar hukuman seumur hidup kepada mereka. Pada 1971, FA mengizinkan para pelaku mengajukan banding. Kasus itu jadi inspirasi film drama The Fix (1997) garapan BBC.
Dwi-Skandal 2013
Hingga abad ke-21, beberapa skandal suap berskala kecil masih bercokol di Inggris. Namun, tidak ada yang lebih mengguncang dari dua skandal yang terjadi dalam tahun 2013. Skandal pertama, terjadi di kompetisi elit Liga Champions. Dari hasil 380 pertandingan seantero dunia yang diinvestigasi Europol sepanjang Juli 2011-Januari 2013, didapati terjadi satu pengaturan skor yang melibatkan peserta Liga Champions yang memainkan pertandingannya di Inggris.
Sayangnya, Europol tak menguak pihak mana saja yang terlibat dalam skandal dalam kurun tiga tahun itu. Beberapa dugaan pun mulai mengemuka. Salah satunya dari Ekstra Bladet. Media asal Denmark itu memberitakan dugaan kuat laga Liga Champions yang dimainkan di Inggris itu adalah duel Liverpool kontra Debreceni VSC di Stadion Anfield.
Baca juga: Anthem Liverpool, Lagu Teater Musikal yang Mengglobal
Namun dugaan itu belum bisa dipastikan karena Europol hanya berbagi informasi itu kepada UEFA. Hanya disebutkan bahwa pengaturan skornya berskala global dan disokong mafia besar di Singapura.
“Ini menjadi hari yang menyedihkan bagi sepakbola Eropa dan banyak bukti yang telah didapati, di mana organisasi kriminal ini telah memberi pengaruh koruptifnya. Semua pemangku kebijakan sepakbola diharapkan bisa lebih cermat akan temuan-temuan ini,” kata Direktur Europol Rob Wainwright di laman resmi Europol, 6 Februari 2013.
Skandal kedua adalah yang terjadi di divisi Championship, League One, dan Conference South Division. Dalangnya merupakan eks-pemain Sam Sodje. Seperti juga Gauld, Sodje jadi runner judi bola dengan melibatkan beberapa pemain, antara lain Akpo Sodje (Tranmere Rovers), DJ Campbell (Blackburn Rovers), Cristian Montaño (Oldham Athletic), Hakeem Adelakun, dan Michael Boateng (Whitehawk FC). Agen pemain Delroy Facey dan dua cukong Singapura Krishna Ganeshan dan Chann Sankaran juga terlibat.
Praktik itu mulanya muncul dari pemberitaan investigatif media Sun on Sunday dan Daily Telegraph pada Desember 2013. Investigasi lanjutan lantas digelar FA dan National Crime Agency (NCA). Dari persidangan, para pelakunya dijatuhi hukuman antara 16 bulan hingga lima tahun.
Baca juga: Liga Champions Turnamen Para Juara