Mohammad Hoesni Thamrin adalah salah satu pahlawan nasional. Hayatnya habis untuk memperjuangkan keadilan hukum, perbaikan nasib rakyat miskin, dan identitas kebangsaan. Sekarang namanya abadi dan menguar dalam banyak hal: jalan di sejumlah kota, rumah sakit, yayasan, museum, dan universitas. Tetapi gagasan dan semangatnya justru lenyap. Tak dikenali lagi.
“Nama Thamrin dirayakan dalam berbagai wajah: infrastruktur dan organisasi. Tapi mengapa kita hanya dapat abunya, tidak dapat apinya? Thamrin, Sukarno, dan juga tokoh besar lainnya mengalami pemfosilan pemikiran,” kata JJ Rizal, sejarawan Jakarta, dalam bedah buku Mohammad Hoesni Thamrin Merekam Prestasi Menguak Representasi di Rektorat Universitas Indonesia, 11 September 2019.
Buku karya Yasmine Zaki Shahab, guru besar antropologi Universitas Indonesia itu, berupaya menjelaskan representasi M.H. Thamrin hari ini dalam pandangan dan kenangan banyak orang. Dari pegawai pemerintah daerah, anggota organisasi Betawi, tokoh-tokoh Betawi, keturunan Sultan Deli di Medan, keluarga Thamrin, sampai generasi muda Jakarta.
Baca juga: Cita-cita Sukarno Tertinggal di Jalan M.H. Thamrin
Representasi selalu merujuk pada ketidakhadiran orang pada tempat dan waktu tertentu, tetapi gagasan dan perannya terlihat dalam berbagai bentuk di tempat dan waktu tertentu. Representasi dapat berupa jalan, museum, bangunan, penghargaan (award), yayasan, rumah sakit, dan universitas.
“Oleh karena itu, buku ini agak berbeda dengan tulisan lainnya tentang Thamrin,” kata Yasmine. Kebanyakan buku tentang Thamrin telah mengulas habis sisik-melik kedigdayaan gagasan dan peran Thamrin dalam sejarah Indonesia.
Beda Pendekatan
Buku-buku tentang Thamrin antara lain Mohammad Hoesni Thamrin karya Bob Hering, Pahlawan Nasional Muhammad Husni Thamrin buatan Anhar Gonggong, dan Sepak Terjang Perjuangan Politik Mohammad Hoesni Thamrin proyekan Dinas Museum dan Sejarah. Sampai-sampai seorang sejarawan berpendapat tidak ada lagi yang dapat ditulis mengenai Thamrin.
Berbeda dari buku-buku termaksud, buku Yasmine memakai kacamata antropologi untuk melihat Thamrin. Kacamata antropologi bisa melihat masalah masyarakat pada hari ini dan melebar dalam ruang, tetapi ia tak mampu melihat dalam waktu yang memanjang. Antropologi mengkaji hari ini, bukan masa lalu.
Buku Yasmine menjadi penghubung antara karya para sejarawan tentang Thamrin dan pandangan masyarakat masa kini tentangnya. Penelitian Yasmine sejak 2004 hingga 2018 menunjukkan Thamrin dikenal sebagai sebuah nama yang tidak merujuk kepada kualitas dirinya.
Pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa di Jakarta mengenal Thamrin sebagai jalan raya, museum, yayasan, dan rumah sakit. Mayoritas mereka mengetahui Thamrin sebagai pahlawan nasional, tetapi luput melihat kualitas Thamrin sebagai pembela masyarakat miskin dan salah seorang penggagas identitas kebangsaan.
Baca juga: Siapa Sebenarnya Si Pitung?
Organisasi Betawi menempatkan Thamrin di bawah Si Pitung dan Si Jampang. Dalam bayangan mereka, dua orang ini simbol kekuatan otot dan perlawanan terhadap kolonial. Sedangkan Thamrin selalu berpakaian barat, bermata biru, dekat dengan pemerintah kolonial, tapi jauh dari agama. Tidak mengesankan kebetawian sama sekali.
“Kalau kita bicara tentang cerminan budaya orang Betawi hari ini, masyarakat tidak mengingat nama Thamrin. Mereka mengingat FBR (Forum Betawi Rempug) dan organisasi-organisasi sebangsanya. Semua itu melambangkan kekuatan otot,” kata Rizal.
Pemerintah daerah mengingat Thamrin sebagai pahlawan nasional. Mereka menyadari jasa dan amal Thamrin bagi pergerakan kebangsaan. Tetapi abai dalam merawat peninggalan-peninggalan Thamrin.
Baca juga: Rebutan Gagasan dan Hak di Jalan M.H. Thamrin
Rumah Thamrin berubah jadi pertokoan tanpa secuil pun jejak bagaimana gagasan Thamrin terbentuk dari rumah itu. Museum Thamrin, dulunya tempat Thamrin berhimpun dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang memperjuangkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, berada dalam kekumuhan dan kegawatan.
Pedagang onderdil otomotif menutup gang masuk menuju museum. Situasi itu menghilangkan selera calon pengunjung untuk menyambanginya. Dan ketika sudah bersusah payah memasuki museum, tampilan informasi museum ternyata jauh dari menarik. Tidak menggugah orang sampai pada pemahaman apa yang telah dilakukan Thamrin.
Di Medan, nama Thamrin muncul sebagai salah satu jalan. Tapi hanya segelintir orang mengakui laku lampahnya memperjuangkan nasib kuli dan menebar benih-benih kebangsaan pada pembesar kesultanan.
Baca juga: Derita Kuli di Tanah Deli
Serangkaian wawancara Yasmine dengan keturunan sultan Deli menegaskan peran Thamrin dalam mengubah pandangan sultan terhadap pemerintah kolonial. Dari tadinya dekat dengan pemerintah kolonial menjadi kritis terhadap pemerintah kolonial.
“Sayang bahwa banyak dokumentasi yang membuktikan ini telah dimusnahkan pada masa pendudukan Jepang karena alasan keamanan para pemilik dokumen ini,” tulis Yasmine.
Ada universitas menggunakan nama Thamrin, tetapi di dalamnya tidak menyajikan mata kuliah tentang pikiran dan amal Thamrin.
Mengingat dan Melupakan
Susanto Zuhdi, guru besar sejarah Universitas Indonesia, mengatakan gagasan dan peran Thamrin lenyap karena kegagalan seseorang memilih apa yang perlu diingat dan dilupakan. “Ini soal bagaimana mengingatkan dan melupakan. Problematika sejarah,” ungkap Santo.
Ingatan manusia terbatas. Dia tak mungkin menampung segala hal tentang sejarah. Dia akan mengingat sesuatu dari sejarah jika hal itu dibutuhkannya pada masa kini. Hal-hal lainnya yang tak penting bagi dirinya hari ini, dia akan lupakan.
Untuk mengingat sesuatu dari sejarah, berarti seseorang harus menggali. Pada kasus Thamrin, upaya mengingat Thamrin hari ini justru tidak menggali gagasan dan perannya. .
Baca juga: Perjuangan M.H. Thamrin Lewat Sepakbola
Thamrin kehilangan kedigdayaannya dalam pikiran orang hari ini. Padahal, menurut Rizal, Thamrin adalah orang dengan beragam amal. Dia memperbaiki kampung, peduli pada penindasan pengusaha perkebunan terhadap kuli di Sumatra, dan menyumbang dana untuk klub sepak bola di Batavia demi menumbuhkan rasa kebangsaan.
Dalam pandangan Tony Rudiansyah, Ketua Program Studi Antropologi UI, terdapat pula nilai lebih pada kualitas mental Thamrin. Meski menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dan masuk dalam struktur pemerintahan kolonial, Thamrin tidak sungkan mengajukan kritik tajam ke pemerintah kolonial.
“Dia adalah salah satu orang yang bisa keluar dari perangkap kebudayaan kolonial. Sehingga dia bisa sangat kritis terhadap pemerintahan kolonial, meskipun ia menjadi bagian dari Volksraad yang merupakan produk kebudayaan kolonial,” terang Tony.
Kembali ke Sejarah
Orang selalu butuh teladan pada tiap zaman. Hari ini orang kehilangan teladan dari yang masih hidup. Maka mereka mencarinya pada orang mati. Salah satu pilihannya tersua pada sosok Thamrin. Masalahnya, representasi Thamrin hari ini tidak hadir sesuai dengan gagasan dan perannya.
Yasmine meyakini kasus ini tak hanya terjadi pada Thamrin, melainkan juga menimpa banyak pahlawan nasional di sejumlah tempat. “Prestasinya begitu besar namun representasinya kurang mendapatkan perhatian,” kata Yasmine.
Baca juga: M.H. Thamrin Dijegal di Sukabumi
Tapi antropologi membatasi Yasmine dalam melihat masa lalu. Maka dia menawarkan rekonstruksi budaya untuk menghadirkan ulang representasi Thamrin pada hari ini. Contohnya mentradisikan Thamrin Award, mengembangkan museum Thamrin, menciptakan Hari Thamrin, dan menggalakkan sekolah sebagai agen sosialisasi. “Agar Thamrin direpresentasikan sesuai dengan prestasi yang telah diukir dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ini,” kata Yasmine.
Karena itu, Yasmine juga butuh sejarah untuk menghadirkan ulang representasi Thamrin sebenar-benarnya pada khalayak. Dan dia terbuka akan hal itu.
“Bu Yasmine menjadi seorang antropolog yang membuka diri kepada soal-soal sejarah. Jadi saya melihat Bu Yasmine menunjukkan studi antropologi tanpa mengikutsertakan sejarah menjadi kurang bermakna. Mungkin begitu juga, studi sejarah tanpa mengikutsertakan ilmu antropologi, bisa jadi pula kurang bermakna,” ujar Tony.