Ada sebuah babak unik dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Politik dan sepakbola pernah begitu identik. Di dua lapangan inilah tokoh-tokoh pergerakan nasional berupaya menumbuhkan gagasan kebangsaaan dan memperbaiki nasib golongan anak bangsa. Salah satu tokoh tersebut adalah Mohammad Hoesni Thamrin, lahir pada 16 Februari 1894.
“Thamrin adalah seorang unpredictable. Begitu luas, begitu lapang penjelajahan aktivitas politik Thamrin,” kata sejarawan JJ Rizal dalam diskusi Dari Stadion VIJ menuju Stadion M.H. Thamrin di Balaikota, Jakarta, 15 Februari 2019.
Thamrin bergerak dalam lapangan politik melalui Gemeenteraad (Dewan Kota), Volksraad (Dewan Rakyat), Kaoem Betawi, dan Partai Indonesia Raya (Parindra). Dia berupaya mengangkat nasib warga kampung di Batavia melalui sidang-sidang Gemeenteraad (Dewan Kota) sejak 1919. Wujudnya berupa desakan terhadap pemerintah kolonial untuk melaksanakan program perbaikan kampung (Kampongs Verbetering).
Baca juga: Dari perbaikan kampung sampai kampung pelangi
Ketika naik menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) selama 1927-1940, Thamrin menjembarkan perjuangannya. Dia berkhidmat untuk perbaikan nasib seluruh anak bangsa di antero Hindia Belanda. Antara lain upaya menghapus Poenali Sanctie (ordonansi merugikan bagi para kuli di Sumatra Timur).
Kemudian Thamrin masuk ke lapangan sepakbola pada 1928. Tidak hanya sebagai penonton, melainkan juga sebagai pemain. Dia seorang candu bola. “Sebenarnya ini tidak istimewa. Para founding fathers, para pendiri bangsa, itu gila bola,” kata Rizal. Misalnya Mohammad Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.
Baca juga: Bung Hatta yang sulit ditembus dalam sepakbola
Yang membuat Thamrin berbeda adalah pandangannya tentang sepakbola dan keterlibatannya secara langsung di lapangan sepakbola. Dia memandang sepakbola sebagai alat perjuangan dan penumbuh rasa kebangsaan untuk golongan anak bangsa. Dia berikhtiar mewujudkan gagasannya lewat lapangan sepakbola.
Politik ras di sepakbola
Golongan anak bangsa (inlander) menempati kasta ketiga dalam susunan masyarakat kolonial. Di bawah golongan Eropa dan Timur Asing.
Pembagian kasta memunculkan diskriminasi hak dan kewajiban pada tiap golongan dalam beragam aspek kehidupan: pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan olahraga. Diskriminasi dalam bidang olahraga tampak dalam larangan bagi anak bangsa untuk bergabung ke perkumpulan klub-klub sepakbola (bond atau perserikatan) golongan Eropa.
“Saat itu mereka dilarang bergabung ke dalam bond seperti WJVB (West Java Voetball Bond), yang kemudian berganti nama menjadi VBO (Voetballbond Batavia en Omstreken). Mereka memiliki klub, tapi tidak punya bond,” kata Abdillah Afif, salah satu penulis dan periset buku Gue Persija.
Klub-klub sepakbola berisi anak bangsa di Batavia antara lain Tjahja Kwitang, Gang Solitude, Roekoen Setia, dan Setia Oetama. Mereka bersaing dalam kompetisi khusus untuk anak bangsa (Inlandsche Voetball Competitie) garapan Oliveo dan BVC sejak 1905.
Baca juga: Rasisme dalam sepakbola tak kunjung habis
Diskriminasi lain terhadap anak bangsa dalam sepakbola tampak pula pada larangan penggunaan stadion milik klub golongan Eropa. Suatu hari pada 1927, kebakaran melanda sebuah kampung di Pasar Baru —sekarang masuk wilayah Jakarta Pusat.
Klub-klub anak bangsa berniat membantu korban kebakaran. Caranya dengan menggelar pertandingan amal. Mereka mencari stadion untuk pertandingan tersebut. Sebab mereka hanya punya lapangan kecil seadanya. Tak cukup layak untuk pertandingan amal.
Klub-klub anak bangsa menghubungi Hercules, salah satu klub golongan Eropa. Tujuannya untuk meminjam stadion milik Hercules sebagai tempat pertandingan amal. “Tapi Hercules menolak mentah-mentah permintaan mereka,” kata Afif.
Aneka bentuk diskriminasi tersebut menyadarkan pengurus klub-klub anak bangsa bahwa sudah saatnya mereka bersatu membuat bond sendiri. Tidak bergantung pada belas kasih golongan lain. Maka lahirlah VBB (Voetball Bond Boemipoetera) pada November 1928. Sebulan setelah Sumpah Pemuda.
Tapi orang-orang dalam VBB tak seirama. Sikap mereka terhadap Bond golongan Eropa terbelah. Apakah harus melawan atau berkawan. Akhirnya pada 30 Juni 1929, kelompok penentang diskriminasi di sepakbola mendirikan Voetballbond Indonesia Jacatra (VIJ). Mereka tidak memilih kata Indische. Sebab organisasi pergerakan nasional mulai menanggalkan kata itu.
Baca juga: Persija dari masa ke masa
“Pergantian nama ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara dunia pergerakan nasional dengan sepakbola,” kata Rizal.
Kelak pengurus VIJ turut berperan melahirkan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 1930. Kemudian VIJ berganti nama jadi Persija pada 1942.
Keterlibatan Thamrin
Thamrin memperhatikan perkembangan sepakbola di Batavia: dari pendirian VBB hingga VIJ. Rizal menduga ada peran Thamrin dalam menjembatani semangat Kongres Pemuda Oktober 1928 dengan pendirian VBB November 1928.
Saat itu Thamrin telah aktif di Volksraad. Menurut Bob Hering dalam Mohammad Hoesni Thamrin: Tokoh Betawi-Nasionalis Revolusioer Kemerdekaan, dia kerap mendorong pembentukan kesatuan sinkretis yang padu demi menghapus diskriminasi pemerintah kolonial terhadap anak bangsa di beragam bidang.
“Thamrin selalu bicara dalam alur perpaduan nasionalisme Indonesia baik golongan kooperasi maupun non-kooperasi,” tulis Bob.
Pilihan strategi politik ini menjadikan Thamrin ibarat jembatan antara dua kelompok. Sebab masa itu terdapat dua kelompok besar dalam pergerakan nasional. Kelompok kooperasi (bekerja sama) dengan pemerintah kolonial dan kelompok non-kooperasi. Mereka bersitegang meskipun cita-cita perjuangannya sama: Indonesia merdeka.
Baca juga: Thamrin menggunakan bahasa Indonesia di Dewan Rakyat
Thamrin meyakini bahwa perwujudan cita-cita tersebut bergantung pada kekuatan golongan anak bangsa. Bukan pada belas kasih etika dan moral pemerintah kolonial. Dia memang berada di Volksraad dan memilih jalan bekerja sama dengan pemerintah kolonial.
“Dengan bekerja sama saya dapat berbicara, bukan?” kata Thamrin dalam Matahari Jakarta karya Soekanto S.A. Tapi kerja sama itu tak berarti meletakkan kesetiaannya pada kekuasaan kolonial. Dia justru menyerang kebijakan pemerintah kolonial dari dalam gedung milik pemerintah, di depan muka para pembesar kolonial.
Thamrin tak hanya berperan sebagai jembatan dalam politik, melainkan juga dalam lapangan sepakbola. Dia mendukung penuh pergantian nama VBB menjadi VIJ. Bagi Thamrin, VIJ adalah wujud elan revolusioner, elan kebangsaan.
Hubungan Thamrin dan VIJ terus terbangun. Dia masuk struktur VIJ sebagai pelindung (beschermer). Dia lalu menghubungkan VIJ dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya seperti Otto Iskandardinata.
Otto adalah kawan Thamrin di Volksraad. Otto juga pecandu bola seperti Thamrin. Dia orang Sunda kelahiran Bandung. Dia ketua Paguyuban Pasundan, salah satu organisasi pergerakan nasional. Dia sering meminjamkan gedung Paguyuban Pasundan untuk rapat pengurus VIJ.
Kelak Otto berjuluk Si Jalak Harupat. Nama julukannya dijadikan nama stadion di Jawa Barat yang biasa dipakai Persib Bandung bertanding. Sekarang pendukung Persija dan Persib justru bermusuhan.
Baca juga: Akar seteru suporter Oranye dan Biru
Menyumbang lapangan layak
Otto dan Thamrin pernah melakukan pertandingan eksebisi dua kali pada 1932 dan 1933. Mereka mengajak tokoh-tokoh pergerakan nasional mengolah bola di lapangan. Hal ini terekam dalam foto-foto pers sezaman seperti Pemandangan dan Pandji Poestaka.
“Ada foto Thamrin, Otto, dan tokoh pergerakan nasional sedang rehat di pinggir lapangan, dekat gedeg (pagar dari bambu) lapangan Laan Trivelli, Jakarta Pusat,” kata Afif yang meriset hubungan Thamrin, pergerakan nasional, dan VIJ sejak 2013. Foto itu tersua dalam ‘Festival 125 Tahun M.H. Thamrin’ di Pulo Piun, sekarang dikenal sebagai Stadion VIJ.
Keberadaan lapangan untuk kegiatan VIJ tak lepas dari andil Thamrin. Menurut Afif, VIJ selalu kesulitan menggelar pertandingan. Banyak lapangan di kampung-kampung Batavia tidak layak untuk memutar kompetisi antar klub VIJ.
Kemudian pengurus VIJ melaporkan situasi ini kepada Thamrin. Dia menyumbangkan uang senilai 2000 gulden untuk mengupayakan lapangan layak di Laan Trivelli, sekarang terletak di Jalan Tanah Abang II, Jakarta Pusat. Bangunannya sudah berganti permukiman penduduk.
“Waktu itu nilai 1 gulden bisa untuk beli 7 kilogram gula. Kalau dirupiahkan, mungkin nilai sekarang sekitar 170 juta rupiah,” terang Afif.
Di lapangan inilah Thamrin mengajak Sukarno membuka kompetisi PSSI pada 16 Mei 1932. Tak lama setelah Sukarno keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung.
Baca juga: Setelah sang orator keluar dari penjara
Selepas itu, Thamrin mengusahakan VIJ memperoleh lapangan lebih layak dengan tribun penonton dan ruang makan. Harapan itu terwujud pada 1936. Inilah lapangan Pulo Piun. Sampai sekarang masih berdiri.
Thamrin wafat pada 11 Januari 1941. Begitu pula dengan perannya sebagai jembatan pergerakan nasional dan sepakbola. Banyak orang membiarkannya ikut terkubur. Festival 125 Tahun M.H. Thamrin menjadi sebentuk upaya menggali kembali gagasan Thamrin tentang hubungan sepakbola dengan politik dan perannya di lapangan sepakbola.