PADA 1902, J. van den Brand, seorang pengacara di Medan, menulis buku ringkas berjudul De Millioenen uit Deli. Dia menyajikan gambaran rinci tentang derita para kuli yang disiksa majikan pengusaha Belanda di perkebunan Deli, Sumatra Timur. Kisah yang ditulis van den Brand tersebar luas dan memantik kemarahan orang-orang di Negeri Belanda. Mereka menganggap politik etis yang digembar-gemborkan pemerintahannya di Hindia Belanda isapan jempol belaka.
Deli pernah menjadi pusat perkebunan, utamanya tembakau. Adalah Jacobus Nienhuijs –seorang pegawai firma JF van Leewen di Surabaya– yang memulainya setelah dia mendapat konsesi tanah cuma-cuma dari Sultan Deli. Nienhuijs mencoba menanam tembakau dan tenyata ketika dipanen pada 1865 menghasilkan tembakau bermutu baik.
Mohammad Said dalam Koeli Kontrak Tempo Doeloe: Dengan Derita dan Kemarahannya menyebut, tembakau hasil kebun Nienhuijs laku 149 sen per setengah kilogram, tergolong tinggi masa itu. Maka para investor dari perusahaan-perusahaan besar berduyun-duyun menanamkan modalnya kepada Nienhuijs.
Perusahaan besar butuh banyak tenaga kerja. Perusahaan menggaet masyarakat setempat, namun banyak yang menolak karena meningkatnya perusahaan Belanda akan menghalangi perkebunan rakyat. Lagipula sebagian besar rakyat tak sependapat dengan keputusan Sultan Deli memberikan konsesi lahan yang merupakan tanah ulayat dan bertahun-tahun sebelumnya telah mereka garap.
Perusahaan mula-mula mengambil orang-orang Tionghoa dari Penang dan Singapura, menyusul kemudian didatangkan orang-orang Jawa saking meningkatnya kebutuhan kuli.
Untuk mengatur para kuli yang jumlahnya ratusan ribu, pemerintah menerbitkan Koeli Ordonantie. Munculnya berkala, dari yang pertama Staatsblad No. 133 tahun 1880 sampai staatsblad No. 421 tahun 1915.
Dalam butir-butir ordonansi tersebut tertuang aturan para kuli tidak boleh membangkang perintah perusahaan. Siapapun kuli yang melarikan diri dari perkebunan akan dikejar polisi perkebunan dan jika tertangkap akan dikembalikan ke perkebunan. Mereka juga akan dihukum, misalnya kerja paksa tanpa dibayar atau perpanjangan kontrak. Butir-butir hukuman ini dikenal dengan poenale sanctie (sanksi pidana). Semua kuli dianggap menyetujui ordonansi itu meski kebanyakan dari mereka buta huruf.
Pekerjaan para kuli sungguh berat. Jam kerja bisa sampai 10 jam sehari dengan gaji sangat kecil. Tak heran banyak kuli mencoba melarikan diri, melakukan pencurian, dan menyerang mandor yang enggan menaikkan gaji. Mereka yang berbuat onar dihukum berat.
Hukuman bagi para kuli digambarkan Van den Brand. "Mereka diseret kuda dengan tangan terikat, dicambuk dengan daun jelantang kemudian disiram air, digantung, ditusuk bagian bawah kukunya dengan serpihan bambu, dan untuk kuli perempuan –maaf– digosok kemaluannya dengan merica halus," tulisnya dalam De Millioenen uit Deli.
“Dengan mencap mereka (kuli –Red) sebagai binatang dan dengan mengingkari sifat-sifat manusia yang paling elementer, setiap perlakuan terhadap mereka dapat dianggap legal, serta sama sekali tidak perlu mempertanggungjawabkannya kepada pemerintah,” tulis Jan Breman dalam Koeli, Planters en Koloniale Politiek.
Meski demikian, pengusaha punya berbagai cara untuk menahan kuli-kuli “setia” kepada perusahaan. Ketika hari gajian tiba, pada malam harinya digelar pesta. Di tengah-tengah keramaian ini kuli biasa berjudi dan ke tempat pelacuran. Cara ini ampuh menguras kantong kuli yang baru saja terisi. Setelah kehabisan uang, terpaksa mereka menandatangani kontrak kerja baru yang disodorkan perusahaan. Kebiasaan ini berlangsung terus-menerus.
Karena menulis De Millioenen uit Deli yang menyibak tabir kekejaman orang Eropa di Deli, Van den Brand dimusuhi orang-orang Belanda, utamanya para pengusaha. Saking bencinya, mereka bikin iklan di koran bahwa tak punya hubungan dengan Van den Brand.
Perang Dunia I membuat jalur pengangkutan tembakau ke Eropa rawan dilintasi. Perang membuat daya beli negara-negara konsumen tembakau merosot tajam. Keadaan ini membuat perusahaan perkebunan di Deli memangkas biaya produksi. Pilihannya: mengurangi jumlah kuli. Padahal di dalam ordonansi disebutkan para kuli tak boleh diputus sebelum jatuh tenggat kontrak. Jalan satu-satunya, menghapus ordonansi tersebut.
Koeli Ordonantie dihapus pemerintah Hindia Belanda pada 1915. Banyak kuli yang kembali ke kampung halamannya, tak sedikit yang memutuskan tetap tinggal di Sumatra Timur.