Masuk Daftar
My Getplus

Rebutan Gagasan dan Hak di Jalan M.H. Thamrin

Penguasa silih berganti menuangkan gagasannya di Jalan M.H. Thamrin.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 03 Sep 2018
Jalan M.H. Thamrin Jakarta dekade 1970-an. Masih ada ruang untuk pesepeda dan penarik becak. (gahetna.nl).

Mobil berpelat "Indonesia 1" melintas dari arah selatan Jalan M.H. Thamrin menuju Istana Merdeka di utara. Penumpangnya Presiden Sukarno dan Soemarno, gubernur Jakarta 1960-1964.

Mobil baru saja melewati Hotel Indonesia. Tak ada lagi bangunan tinggi selepasnya, kecuali Bank Indonesia di ujung jalan. Kanan dan kiri jalan hanya bangunan bertingkat dua dan tanah merah.

Sukarno bertanya ke Soemarno saat mobil melaju tepat di samping hamparan tanah kosong. “Mau dibangun apa tanah itu?”

Advertising
Advertising

Soemarno menjawab, “Sebenarnya, Pak, saya ingin mempunyai department store, tapi tanah di situ terlalu lembek, dan terlalu mahal biayanya untuk mendirikan gedung bertingkat tinggi.”

Baca juga: Cita-cita Sukarno Tertinggal di Jalan M.H. Thamrin

Wajah Sukarno berseri mendengar jawaban Soemarno. “Ia selalu bergairah kalau berbicara tentang pembangunan, yang ada sangkut-pautnya dengan nation building,” tulis Soemarno dalam Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya.

Sukarno seiya dengan usul Soemarno. “Ya, jadikan department store saja. Saya sudah berkhayal Jakarta bakal punya toko serba ada seperti di Jepang,” timpal Sukarno. Suaranya terdengar segar.

Kelak di tanah merah itu berdiri gedung setinggi 14 lantai. Sukarno memberi gedung itu nama Sarinah pada hari pemancangan tiang pertamanya, 23 April 1963. “Karena wanita rakyat jelata Sarinah sangat dimuliakan beliau. Sebagai seorang pengasuh, Sarinah telah bantu mendidik presiden untuk mencintai rakyat jelata,” tulis Djaja, 27 April 1963.

Baca juga: Sarinah Toko Murah, Bukan Toko Mewah

Sukarno berharap Sarinah akan menjadi tempat belanja untuk semua golongan. Dia menekankan fungsi Sarinah sebagai stabilisator harga barang kebutuhan pokok rakyat. Karena itu, Sarinah harus berbentuk badan sosial. Bukan perusahaan.

Sarinah akan menjadi toko serba ada modern pertama di Indonesia. Lengkap dengan fasilitas modern serba pertama seperti lift dan tangga berjalan otomatis. Juga dengan cara baru berbelanja: self-service alias mengambil sendiri barang yang disuka oleh pengunjung. “Jika tiada aral melintang, pembukaan resminya akan dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1965,” catat Djaja.

Setahun setelah pemancangan tiang pertama Gedung Sarinah, Sukarno melakukan hal serupa untuk pembangunan gedung Bank Dagang Negara (BDN) berlantai 14 (sekarang menjadi gedung Bank Mandiri, red.). Letaknya masih di Jalan M.H. Thamrin. Tak jauh dari Gedung Sarinah.

Gedung BDN berfungsi sebagai kantor pusat BDN. Kehadirannya bakal menyemarakkan Jalan M.H. Thamrin “Maka akan bertambah pulalah kegiatan kerja di sekitar Jalan Thamrin,” tulis Djaja, 4 April 1964.

Baca juga: Awal Mula Ritel Skala Besar di Indonesia

Sukarno berpidato pada hari pemancangan tiang pertama. Dia mengutarakan makna pembangunan gedung bertingkat. “Pembangunan gedung-gedung, hotel-hotel, dan jalan-jalan raya sangat penting sebagai suatu bagian dari revolusi Indonesia,” kata Sukarno, seperti dikutip Djaja.

Sukarno kembali menegaskan makna gedung pencakar langit bagi bangsa Indonesia. Dia hadir dalam pencangkulan tanah perdana untuk pembangunan gedung bertinggi 27 lantai pada 9 Juli 1964. Inilah Wisma Nusantara, gedung tertinggi di Asia Tenggara.

“Bangsa Indonesia sekarang sudah masuk di dalam alam selalu saya namakan drie dimensionaliteit. Berukuran tiga sekarang ini, saudara-saudara. Ukuran lebar, ukuran panjang, yaitu yang horizontal, ukuran tinggi… Itulah bangsa Indonesia sekarang,” kata Sukarno.

Baca juga: Awal Kejayaan Pasar Swalayan

Pembangunan gedung-gedung jangkung di Jalan M. H. Thamrin kian mengukuhkan posisi jalan itu sebagai ruang mewujudkan gagasan Indonesia Baru dan hak sebagai bangsa merdeka. “Beliau tidak ingin Indonesia berada di tingkat pembangunan yang lebih rendah daripada negara lain, baik di Barat maupun Timur,” tulis Abidin Kusno dalam Zaman Baru Generasi Modernis: Sebuah Catatan Arsitektur.

Upaya Sukarno menampilkan wajah baru Indonesia di Jalan M.H. Thamrin beroleh sokongan penuh dari Soemarno. “Kota kita harus mempunyai gedung-gedung besar, harus mempunyai flat-flat yang besar… Warga ibukota harus tahu dan turut tanggung jawab bahwa kotanya harus selalu merupakan simbol dari negara dan bangsanya yang besar,” demikian kata Soemarno dalam Djaja, 13 Juni 1964.

Tak Cuma Gedung

Henk Ngantung, gubernur Jakarta 1964-1965, meneruskan dukungan Soemarno untuk Sukarno. Dia seorang seniman dan mengerti kebutuhan lain untuk menampilkan wajah baru Indonesia di Jalan M.H. Thamrin. Tidak cukup hanya dengan gedung-gedung megah nan tinggi, melainkan juga harus dengan tanaman, bunga, dan air.

Henk melihat Jalan M.H. Thamrin terlalu gersang dan kering. Tak ada pohon peneduh dan hiasan jalan pemanis mata. Bagi Henk, pembangunan materil seperti gedung bertingkat mesti bareng juga dengan pembangunan mental-spiritual.

“Khususnya peranan dan makna segi-segi keindahan, monumen-monumen, taman-taman, air-mancur, dan sebagainya, di dalam kehidupan perkotaan,” kata Henk dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966.

Baca juga: Pramoedya Ananta Toer Tentang Kota Jakarta

Sebuah dialog antara supir taksi dan turis asing membuktikan ketajaman amatan Henk. Supir taksi membawa turis asing melaju di Jalan M.H. Thamrin. Dia bangga dengan hasil pembangunan di jalan itu.

“Kita memasuki Jalan Thamrin, boulevard yang tak kalah dengan boulevard manapun di luar negeri. Anda lihat, bahwa di tepinya sudah mulai berdiri gedung megah, sesuai dengan boulevard-nya,” kata supir.

Turis asing mengangguk kagum. Tapi dia merasa ada sedikit kejanggalan. “Menurut pendapat saya terlalu panas dan silau, terutama bagi orang pendatang seperti kami. Alangkah baiknya kalau di tengah jalur rumput atau di kedua tepinya ditanami pohon,” saran turis dalam dialog di Djaja, 20 Juni 1964.

Baca juga: Rekreasi dan Beraksi di Taman Suropati

Henk berupaya memperindah dan membuat teduh Jalan M.H. Thamrin. Dia merancang penempatan pot-pot besar berisi tanaman pada bagian pemisah jalan. “Di seluruh Indonesia belum ada yang membikin dan menjualnya,” kata Henk. Dia menjadikan kuali besar untuk masak sop sebagai pot tanaman. Uang pembeliannya berasal dari partisipasi masyarakat.

Tak puas dengan ‘kuali’ tanaman, Henk membangun bundaran dengan air mancur cantik di depan gedung Bank Indonesia. Jalan M.H. Thamrin menjadi lebih segar. Dan warga menghargai usaha Henk. Sebagai penghormatan, warga menamakan air mancur itu Ngantung Fountain.  

Tapi Henk merendah. “Mungkin cerita tentang ‘kuali’ di Jalan Thamrin ini tidak begitu mengesankan dan sekonkret seperti misalnya suatu cerita tentang pembangunan pencakar langit pertama di kota Jakarta,” kata Henk.

Demi Masyarakat

Pembangunan di Jalan M.H. Thamrin berhenti pada September 1965 tersebab huru-hara G30S. Gedung-gedung mangkrak dan sampah berserak. Anak bangsa mencurahkan perhatiannya untuk bertikai dan berbunuhan selama berbulan-bulan.

Jalan M.H. Thamrin berganti rupa: dari ruang pameran wajah baru Indonesia menjadi ruang protes terhadap Sukarno. Orang-orang berdemonstrasi menuntut pembubaran PKI dan pertanggungjawaban Sukarno. Mereka juga menyerang politik pembangunan gedung-gedung megah Sukarno.

Tahun berganti dan era Sukarno pun berakhir. Soeharto menjadi presiden dan mengubah arah kebijakan pembangunan di Jalan M.H. Thamrin. Dia meneruskan peruntukan Jalan M.H. Thamrin sebagai ruang pembangunan gedung-gedung pencakar langit. Tapi jiwa gedung-gedung itu tak sama lagi. Bukan lagi sebagai simbol revolusi Indonesia, melainkan alat investasi ekonomi.

Baca juga: Ali Sadikin Menutup Jakarta

Sarinah Orde Baru bukanlah Sarinah-nya Sukarno. “Jika di zaman Orde Lama fungsi Sarinah didengang-dengungkan sebagai stabilisator harga, maka sekarang sesuai dengan iklim Orde Baru menjadi lain,” tulis Djaja, 7 Oktober 1967. Sarinah Orde Baru berbentuk perusahaan, bukan berupa badan sosial.

Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, menyadari perubahan jiwa pembangunan di Jalan M.H. Thamrin. Dia mengupayakan jalan itu agar tetap ramah bagi para jelata. Dan para jelata ialah mereka yang berjalan kaki ke sana-ke mari.

Baca juga: Awal Mula Zebra Cross di Indonesia

Ali Sadikin memerintahkan pengecatan ulang zebra-cross pada tiap persimpangan. Dia juga menyediakan alat bantu penyeberangan berupa tongkat dengan tulisan "STOP".

Kemudian Ali Sadikin menghadirkan lampu kedap-kedip (flicker lights) sebagai peringatan pengendara bermotor agar melambatkan kendaraanya. Inilah lampu penyeberangan pertama di Indonesia. Tapi para pengendara bermotor cuek saja dengan lampu itu. Kompas, 6 Desember 1967, mencatat 15 pejalan kaki tewas setelah tertabrak kendaraan bermotor.

Baca juga: JPO Pertama di Indonesia

Akhirnya Ali Sadikin menyediakan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di depan Sarinah. Inilah JPO pertama di Indonesia. Ratusan warga menjajalnya pada hari pertama peresmian, 21 April 1968.

Jalan M.H. Thamrin benar-benar menjadi milik rakyat pada Juni 1968. Ribuan rakyat tumpah-ruah di jalan ini merayakan hari ulang tahun Jakarta.

Ali Sadikin menutup jalan ini semalaman dari hilir-mudik kendaraan bermotor. Dia membiarkan rakyat memperoleh hiburan murah di jalan ini. Dia mengundang para pedagang kecil, penarik becak, para penyanyi, dan pejalan kaki untuk bersama-sama memenuhi jalan ini. Panggung-panggung musik berdiri dan gerobak pedagang berderetan.

Baca juga: Bang Ali dan Bang Becak

Ali Sadikin hanya mempunyai satu aturan untuk semua orang yang berada di Jalan M.H. Thamrin: Tertib. Dia tak segan menindak para pelanggar ketertiban. Maka ketika melihat penarik becak mulai bertindak serampangan di jalan ini, dia menertibkan mereka pada 1970-an. Becak menghilang dari jalan simbol kota modern ini.

Orde Baru memacu pembangunannya begitu cepat. Tak banyak ruang bagi yang berlambat-lambat. Di Jalan M.H. Thamrin, para pesepeda dan pejalan kaki perlahan tersingkir. Lajur lambat untuk gerobak dan pengendara sepeda dipapras. Trotoar ikut dipersempit demi memuat limpahan kendaraan bermotor.

Jalan M.H. Thamrin terus berubah. Pembangunan gedung bertingkat baru masih tampak. Sarinah telah jatuh pada orang berpunya. Tapi trotoar menjadi lebih lebar. Fasilitas untuk kaum difabel banyak tersedia. Jalan M.H. Thamrin masih menjadi ruang mewujudkan gagasan dan hak.

TAG

jakarta sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Samsi Maela Pejuang Jakarta Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno