Masuk Daftar
My Getplus

Rekreasi dan Beraksi di Taman Suropati

Dari dulu hingga kini, taman jadi salah satu pilihan masyarakat untuk rekreaksi dan beraksi.

Oleh: Annisa Mardiani | 13 Mar 2015
Pendukung salah satu calon presiden berpose di TPS Taman Suropati pada pemilihan umum 2014. Foto: Micha Rainer Pali/Historia.

DI pusat kawasan “kota taman” Menteng terdapat sebuah taman yang dikelilingi pepohonan rindang dan dihiasi bebungaan. Sekarang dikenal sebagai Taman Suropati, taman yang menyimpan banyak cerita sejak masa Hindia Belanda.

Berdasarkan rancangan pembangunan wilayah tanah partikelir Gondangdia dan Menteng yang dibuat arsitek P.A.J. Moojen pada 1912, pusat kota taman Menteng adalah lapangan bundar yang luas. Lapangan ini menjadi titik temu jalan-jalan utama.

Namun, lantaran lapangan bundar yang luas itu tak mendukung kelancaran lalu lintas, rencana Moojen diubah. Pada 1918, pemerintah Gementee (Kota) Batavia lantas menugaskan arsitek F.J. Kubatz dan F.J.L. Ghijsels untuk menyempurnakannya.

Advertising
Advertising

Adolf Heuken dan Grace Pamungkas dalam Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia menuliskan, “Menteng sekarang menunjukkan pola yang diciptakan Kubatz atas dasar rencana Moojen.” Taman Suropati kini pun merupakan hasil penyempurnaan dari rencana Moojen. Dari rencana lapangan luas kemudian direalisasikan menjadi sebuah taman di pusat kawasan Menteng. Lahan tersebut mulai ditanami pohon dan bunga pada 1920.

Pada masa Hindia Belanda taman di pusat Menteng ini dikenal dengan nama Burgemeester Bisschopsplein sebagai penghormatan bagi burgemeester (walikota) Batavia pertama, G.J. Bisshop (menjabat 1916-1920). Burgemeester Bisschopsplein terletak di depan Logegebouw, kini gedung Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).

Setelah Indonesia merdeka, Burgemeester Bisschopsplein berganti nama menjadi Taman Suropati. Warga memanfaatkannya untuk olahraga, jalan santai, sekadar mencari kesejukan, bermain, atau duduk-duduk menikmati keindahan taman.

Selain itu, bahkan hingga kini, Taman Suropati kerap dijadikan tempat dadakan perkumpulan dan rapat terbuka. Di masa Orde Lama misalnya, sebagai respons atas kondisi politik kala itu, Nahdlatul Ulama Jakarta Raya bersama organisasi masyarakat lainnya mengadakan rapat umum di Taman Suropati. Seperti diberitakan Kompas, 21 Oktober 1965, mereka menghimpun kekuatan untuk mendukung langkah pemerintah dalam Konferensi Internasional Anti Pangkalan Asing (KIAPMA), mengganyang imperialis Inggris dan Amerika Serikat, serta menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tak hanya aksi politik, Taman Suropati adalah saksi dan rumah bagi para seniman beserta karyanya. Banyak seniman menjajakan lukisan karyanya di Taman Suropati.

Taman ini juga dihuni enam patung atau monument karya seniman dari negara-negara pendiri ASEAN sebagai simbol persahabatan. Karya tersebut ditempatkan secara resmi pada 20 Desember 1984. “Keberadaannya menggeser patung-patung lama yang berupa binatang, seperti gajah, jerapah, dan sebagainya,” tulis Kompas, 21 Desember 1984.

Memasuki dekade 1990-an, seperti berita Kompas 19 Agustus 1994, taman tak semasyhur dulu. Ruang terbuka hijau tak lagi jadi pilihan utama untuk melarikan diri dari kebisingan kota. Hal ini dipicu perkembangan pusat perbelanjaan dan hiburan modern, serta taman yang kurang terawat.

Namun kini, dengan perbaikan kondisi taman, Taman Suropati kembali jadi pilihan untuk tempat berkumpul berbagai komunitas setiap akhir pekan.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Serdadu Ambon Gelisah di Bandung Permina di Tangan Ibnu Sutowo Sudirman dan Bola Selintas Hubungan Iran dan Israel M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Tradisi Sungkeman