Senin sore 23 Agustus 1971 menjadi saat bersejarah bagi pasangan suami-istri Muhamad Saleh Kurnia dan Nurhajati. Mereka membuka supermarket pertama di Indonesia bernama HERO Mini Supermarket.
“Belum pernah ada pedagang yang merintis atau mengelolanya,” kata Nurhajati kepada Wong Tung To dalam Perintis Ritel Modern Indonesia : Memoar Pendiri Grup HERO.
Pesta kecil pun digelar. Kurnia dan Nurhajati mengundang sahabat, teman, dan mantan guru SMA-nya ke HERO di Jalan Falatehan 1 No. 23, Jakarta Selatan. Mereka bersulang cocktail dan melambungkan harapan untuk HERO. “Semoga laris manis dan banyak untung,” kata mereka.
Baca juga: Awal mula ritel skala besar di Indonesia
Mewujudkan harapan tersebut tak semudah mengucapkannya. HERO masih asing bagi sebagian besar orang Jakarta. Para produsen dan pemasok barang lokal belum mengenal HERO. Kurnia dan Nurhajati harus mengejar produsen dan pemasok hingga ke Singapura. Ini berarti supermarket tak bisa langsung meraih hasil untung.
Tapi tantangan tersebut tak menyurutkan pengusaha lain untuk meramaikan bisnis supermarket.
Nurhajati mengisahkan sebuah toko P&D di seberang HERO berubah konsep menjadi supermarket pada 1972. P&D merupakan kependekan dari Provisien&Dranken. Istilah ini berasal dari bahasa Belanda untuk menyebut toko ritel makanan dan minuman di pinggir jalan ramai.
Nurhajati tidak menyebut nama supermarket tersebut dalam bukunya. Historia menelusuri bahwa supermarket tersebut bernama Gelael. Pendirinya Dick Gelael. Dia pemilik toko P&D di Jalan Falatehan sejak 1957. “Ia banyak mengadakan perjalanan ke luar negeri untuk belajar mengelola supermarket,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.
Pembeli kelas menengah
Setelah HERO dan Gelael, supermarket lain bermunculan. Sebut saja Sarinah Jaya, Grasera, Tomang Tol, dan Metro pada 1970-an. Lalu ada Golden Truly pada 14 Januari 1984. Mereka disebut ritel berskala besar karena modal tetapnya bernilai Rp100 juta dengan luas bangunan sekira 1000 meter persegi.
Berbelanja ke supermarket adalah pengalaman baru bagi banyak orang Indonesia pada awal 1970-an. Sebelum masa ini orang terbiasa membeli barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan pangan, daging, sayur, bebuahan, dan minuman ke warung terdekat, pasar tradisional, dan pedagang keliling. Tegur sapa dan tawar-menawar antara pembeli dengan penjual adalah kemestian.
Baca juga: Akar sejarah tawar-menawar
Sekelompok kecil orang telah mengenal supermarket dari bahan bacaan dan pengalaman mereka di luar negeri. Kelompok inilah target utama supermarket. Mereka terdiri atas kelas menengah kota dan pekerja asing. “Saat itu penduduk lokal masih belum mencapai taraf berbelanja seperti ini,” kata Nurhayati.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1968 telah membentuk dan memperluas kelas menengah di kota-kota besar seperti Jakarta ketimbang di kota lainnya. Gambaran ini terlihat dari tingkat pendapatan mereka.
“Penerimaan per kapita di kota Jakarta yang dilaporkan 11 persen lebih tinggi daripada rata-rata kota lain,” tulis Anne Booth dan R.M. Sundrum dalam “Distribusi Pendapatan” termuat di Ekonomi Orde Baru.
Kenaikan pendapatan kelas menengah kota berasal dari penerimaan negara di sektor minyak dan gas. Pegawai-pegawai yang menangani penjualan minyak dan gas mendadak jadi orang kaya baru. Bersama itu gaya hidup mereka ikut berubah. Mereka ingin berbelanja dengan nyaman dan praktis. Dan supermarket menawarkan dua hal tersebut.
Baca juga: Sejarah orang kaya baru di Indonesia
Kemunculan kelas menengah kota dan pekerja asing ditopang pula oleh kehadiran usaha manufaktur di sekitar Jakarta. Rata-rata investasi manufaktur berasal dari modal asing. Pekerja asing pun turut masuk ke Jakarta. Sekaligus juga mencipratkan “Keuntungan kepada mereka yang berpendidikan lebih tinggi.” Begitu menurut Anne dan Sundrum.
Dari kondisi itulah supermarket menerapkan kebijakan penyediaan barang dan penentuan harga. Barang-barang yang dijual berbeda dari kebutuhan masyarakat pada umumnya. Hampir 90 persen barang impor, menurut Kompas, 15 Juli 1974. Barang-barang tersebut mengikuti selera dan kebutuhan kelas menengah kota dan pekerja asing. Harganya juga berada di atas jangkauan orang kebanyakan.
Baca juga: Sejarah masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia
Maka muncul anggapan dari banyak orang bahwa supermarket ditujukan hanya untuk segelintir orang berduit. Mau masuk ke sana pun harus berpakaian necis. Demikian gambaran sejumlah orang tentang supermarket, tersua dalam Kompas, 7 November 1977.
Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, juga mengakui hal serupa. “Toko serba ada di Indonesia saat ini hanya untuk orang-orang berduit saja,” kata Ali dalam Kompas, 15 Juli 1974 ketika menghadiri peresmian cabang kedua HERO di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta.
Perkataan Ali Sadikin mengaburkan batas antara supermarket dan department store (toserba). Ini bisa dimaklumi mengingat sejumlah supermarket di berbagai negara maju pun telah menjual barang-barang khas toserba seperti pakaian dan alat-alat rumah tangga. Begitu pula sebaliknya: toserba menjual barang khas supermarket.
Baca juga: Sarinah toko murah, bukan toko mewah
Ali Sadikin menganggap penting kehadiran supermarket dan toserba. “Sebagai salah satu sumber penghasilan negara,” kata Ali dalam Kompas, 15 Juli 1974. Dia berupaya menciptakan iklim yang nyaman bagi kehadiran supermarket dan toserba.
Tetapi Ali Sadikin tak mau pemerintah daerah ikut-ikutan berbisnis supermarket dan toserba, mengacu pada pengalaman kegagalan Pemerintah mengelola Toserba Sarinah.
Masalah supermarket
Berbeda dari Ali Sadikin, Tjokropranolo (gubernur Jakarta 1977-1982) justru merisaukan kehadiran supermarket. “Akibat sosialnya lebih besar daripada pajak yang diterima pemerintah,” kata Bang Nolly, panggilan akrab Tjokropranolo, dalam Kompas, 7 November 1977.
Bang Nolly menganggap supermarket menghilangkan pekerjaan tukang sayur. Asumsi Bang Nolly berangkat dari barang-barang jualan di supermarket: sayur, buah, dan daging. Barang-barang yang juga dijual oleh tukang sayur keliling.
Tapi pengusaha supermarket menolak klaim Bang Nolly. Mereka bilang target pasar mereka berbeda dari tukang sayur. Target mereka ialah orang-orang menengah atas kota dan pekerja asing. Masing-masing sudah punya pasar sendiri. Lagipula, menurut mereka, supermarket memperoleh pasokan sayur dari petani dan pedagang di pasar tradisional.
Jumlah supermarket di Jakarta mencapai 26 gerai memasuki 1980-an. Mereka mulai mendesak pasar tradisional. “Kini karena adanya persaingan antar supermarket itu sendiri, harga barang dengan mutu dan ukuran yang sama, jauh lebih murah di supermarket dibandingkan dengan di pedagang pengecer di luar supermarket, bahkan di kaki lima,” kata Tini Hadad, dulu sebagai sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) dalam Prisma, No 7, Juli 1987.
Supermarket yang berani banting harga adalah Golden Truly. Pendirinya Sudwikatmono, pengusaha yang dekat dengan Presiden Soeharto dan taipan Liem Sioe Liong (Sudono Salim) yang memiliki bisnis makanan dari hulu ke hilir. Strategi Golden Truly tak hanya mengancam pengusaha supermarket lain, tapi juga peritel skala kecil dan menengah.
Baca juga: Liem Sioe Liong mengembangkan usaha dengan memanfaatkan relasi kekuasaan
Pemerintah daerah Jakarta mulai menerapkan aturan main untuk supermarket. Tercatat dua Surat Keputusan Gubernur keluar pada 1983 dan 1985. Pertama, SK No 240/1983 tentang kewajiban pengusaha supermarket menyediakan ruang usaha bagi pedagang golongan ekonomi lemah di bangunan supermarket.
Kedua, SK No 241/1985 tentang ketentuan pendirian supermarket. Misalnya supermarket harus berbadan hukum. Ada pula ketentuan jarak antara pasar swalayan dan pasar tradisional. Berkisar dari 500 meter hingga dua kilometer. Tergantung besar kecilnya pasar tradisional tersebut. Selain itu ada larangan penggunaan istilah supermarket. Istilah penggantinya adalah pasar swalayan.
Seiring waktu dan perubahan keruangan kota, aturan tersebut tak relevan lagi. Pasar swalayan pun mulai muncul di berbagai kota di luar Jakarta. Letaknya suka-suka. Seringkali berada di permukiman. Atau berdekatan dengan pasar tradisional dan usaha peritel skala kecil dan menengah.