Masuk Daftar
My Getplus

Awal Mula Ritel Skala Besar di Indonesia

Bisnis ritel skala besar berjejak di Sarinah. Banyak masalah datang di bisnis ini.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 19 Jan 2019
Ilustrasi supermarket di Eropa pada dekade 1960-an. (commons.wikimedia.org).

PT Hero Supermarket Tbk (HERO) mengumumkan telah menutup 26 gerai dan mem-PHK 532 karyawan pada awal tahun 2019. Manajemen HERO menyatakan penutupan dan PHK merupakan langkah efisiensi dan strategi bisnis demi mempertahankan laju perusahaan. Demikian rilis manajemen HERO kepada berbagai media pada 13 Januari 2019.

Penutupan gerai dan PHK karyawan HERO memperpanjang masa suram bisnis ritel skala besar di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Lotus dan Debenhams, gerai ritel di bawah naungan PT Mitra Adiperkasa Tbk, telah lebih awal tutup pada 2017. Menyusul kemudian sejumlah gerai milik Grup Ramayana dan Matahari sepanjang 2018.

Penyebab ritel berskala besar menutup gerai dan mem-PHK karyawannya tak pernah berasal dari satu faktor dominan. Ada keterkaitan dari soal perubahan cara orang berbelanja, kesalahan strategi pengembangan bisnis, penurunan daya beli masyarakat, perkembangan keruangan kota, sampai kepada persaingan dengan sesama pebisnis ritel.

Advertising
Advertising

Menilik sejarah ritel skala besar di Indonesia, bisnis ini tak pernah sepi dari masalah. Ritel adalah bisnis menjual kembali barang-barang kebutuhan pokok tanpa mengubah bentuk dan jenisnya, baik barang baru ataupun bekas. Ritel sering pula dipadankan dengan perdagangan eceran.

Baca juga: Akar sejarah tawar-menawar

Orang Indonesia telah mengenal perdagangan ritel sejak tumbuhnya kerajaan-kerajaan Hindu. Tempat untuk menjalankan bisnis ini disebut pasar. Di sinilah pertemuan antara pedagang dan pembeli. Di sini tawar-menawar harga barang menjadi sebuah kemestian.

Memasuki masa kolonial pada abad ke-19, pedagang ritel keliling, kaki lima, dan toko-toko mulai muncul di sepanjang jalan utama kota-kota kolonial seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang.

Toko serba ada

Tonggak baru bisnis ritel di Indonesia terjadi pada 23 April 1963. Saat itulah tiang pertama gedung Sarinah terpancang di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Gedung ini akan berfungsi sebagai department store (toko serba ada/toserba) pertama di Indonesia. Gagasan ini berasal dari Sukarno. Dia mengadopsinya dari negeri Barat dan Jepang.

Baca juga: Sarinah toko murah, bukan toko mewah

Konsep department store berkembang pada 1860-an di kota-kota Amerika Serikat. “Periode permulaan department store ditandai dengan display secara massal karena adanya produksi massal saat itu dari barang-barang yang dihasilkan pabrik,” catat J.A. Sinungan dalam “Kelemahan dan Kekuatan Retail Business di Indonesia” termuat di Prisma, No 7, 1987.

Department store di Amerika Serikat menjual sepatu, tas, pakaian, dan alat-alat rumah tangga. Harganya lebih mahal daripada di toko. Penataan barang diatur sedemikian rupa untuk menarik minat pembeli. Kelompok pembeli ini biasanya berasal dari kalangan menengah kota.

Setelah department store, konsep baru ritel bernama supermarket muncul di AS pada 1930-an. Saat itu depresi ekonomi melanda AS. Distribusi barang agraria terganggu. Supermarket menjadi penyelamat petani sekaligus menjadi penghubung dengan konsumen. Barang jualan supermarket berjenis daging, buah, susu, dan sayuran.

Sukarno tidak serta-merta menelan konsep department store mentah-mentah. Dia berupaya menjadikan Sarinah sebagai department store untuk rakyat jelata. “Rakyat jelata, terutama wanita-wanita rakyat jelata, akan dapat membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari di toko tersebut,” kata Sukarno dalam mingguan Djaja, 27 April 1963.

Sukarno merencanakan pengelola Sarinah nantinya tidak berbentuk perusahaan, melainkan badan sosial. Sebab dia ingin pula Sarinah menjadi stabilisator harga kebutuhan pokok masyarakat. Tidak semata cari untung.

Selain merumuskan ulang department store, Sukarno juga berupaya menggabungkan supermarket ke dalam Sarinah. Dia mengatakan bahwa Sarinah akan menjual beras, sayur, buah, dan daging murah produksi petani kecil untuk rakyat jelata. Tapi mimpi ini tak pernah maujud. Huru-hara berdarah setelah 30 September 1965 menyingkirkannya dari kekuasaan.

Kejatuhan Sarinah

Di bawah Orde Baru, gagasan tentang department store Sarinah berubah. “Jika di zaman Orde Lama fungsi Sarinah didengang-dengungkan sebagai stabilisator harga, maka sekarang sesuai dengan iklim Orde Baru menjadi lain,” tulis Djaja, 7 Oktober 1967. Sarinah akhirnya berbentuk perusahaan, bukan badan sosial. Karena itu, Sarinah harus mengejar laba.

Barang-barang jualannya pun jauh dari jangkauan sebagian besar masyarakat. Tidak ada supermarket murah di sana. Tidak ada tawar-menawar. Semua harga pas dan jelas.

Pengunjung Sarinah sempat ramai. Mereka datang sekadar menjajal eskalator dan lift pertama di Indonesia. Atau merasakan dinginnya hembusan air conditioner.

Barang-barang jualan di Sarinah boleh diambil sendiri (self-service), asal pengunjung bisa membayarnya di kasir. Inilah cara baru berbelanja orang Indonesia. Tapi tak banyak yang mampu melakukannya.

Lama-lama pengunjung Sarinah surut. Barang-barang jualan tak laku. Toko-toko tutup sehingga menyebabkan ratusan karyawan Sarinah terkena PHK. Laporan keuangan pengelola Sarinah menunjukkan jumlah utangnya mencapai Rp1 miliar.   

Ketika Sarinah kehilangan daya pikatnya sebagai toserba, supermarket datang menggantikannya. Ia muncul dari penglihatan cemerlang seorang pengusaha bernama Muhammad Saleh (M.S.) Kurnia.

Kebijakan ekonomi Orde Baru membuka arus investasi modal luar negeri di Indonesia. Bersama itu pula bule-bule dari negeri Barat (AS dan Eropa Barat) datang kembali. Pada masa Sukarno, mereka harus menyingkir lantaran politik konfrontasi Sukarno dengan negeri Barat.

Bule-bule itu memilih tinggal di Jakarta. Kebutuhan pangan mereka berbeda dari penduduk tempatan. Mereka membeli bahan makanan di supermarket di Singapura, lalu kembali ke Jakarta. M.S. Kurnia menangkap peluang bisnis dari perilaku bule-bule tersebut.

Kemunculan swalayan

“Awal mulanya kami berhasrat membuka supermarket, memang mendapatkan inspirasi dari orang-orang asing yang sering berbelanja ke Singapura,” tutur Nurhayati Kurnia, istri M.S. Kurnia, kepada Wong Tung To dalam Perintis Ritel Modern Indonesia: Memoar Pendiri Group Hero.

M.S. Kurnia membuka supermarket bernama HERO Mini pada 23 Agustus 1971 di Jalan Falatehan 1, Jakarta Selatan, tak jauh dari permukiman orang-orang berpunya dan bule. Supermarket ini memiliki luas sekira 200 meter persegi.

Fasilitas supermarket pertama ini yahud. Tersedia pendingin udara, pewangi ruangan, lantai kinclong, penataan barang yang memudahkan pengunjung mengambil sendiri, kamera pengawas, dan label harga. Semua hal yang tidak dimiliki oleh pasar tradisional dan pedagang ritel kecil.  

Nurhayati jelas keliru dalam bukunya ketika menyebut konsep swalayan belum pernah ada di Indonesia saat itu. Sebab konsep itu sudah pernah diusung pada dekade 1960-an saat pembangunan Sarinah.

Tapi Nurhayati benar ketika menyebut bahwa HERO merupakan perintis ritel modern pertama di Indonesia, dan karena itu jejaknya diikuti oleh pengusaha lain dengan membuka usaha sejenis.

TAG

Ekonomi Jakarta

ARTIKEL TERKAIT

Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Tuan Tanah Menteng Diadili Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Rawamangun Bermula dari Kampung Sepi Menuturkan Sejarah Jakarta Lewat Furnitur Kapitan Melayu dan Kisah di Balik Nama Cawang Samsi Maela Pejuang Jakarta Ketika Hujan Es Melanda Jakarta Sri Nasti Mencoba Melepas Trauma 1965 dengan Suara