Pengunjung pasar Tanah Abang membludak hingga 100 ribu orang menjelang Lebaran. Mereka datang untuk berburu pakaian baru. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta masyarakat agar tetap merayakan Lebaran dengan membeli pakaian baru. Tujuannya menggerakkan ekonomi masyarakat yang mandeg akibat pandemi Covid-19.
Dalam masa susah, pakaian baru tetap menjadi buruan orang dan sesuatu yang harus ada dalam kehidupan mereka. Selain untuk menyambut hari-hari besar, pakaian baru juga ditujukan untuk bergaya, membedakan identitas satu kelompok dengan kelompok lainnya, dan cara beradaptasi terhadap situasi sulit itu sendiri.
Ini misalnya terjadi di kalangan masyarakat Eropa pada masa resesi ekonomi di Hindia Belanda pada 1930-an. “Penampilan dan pakaian sebagai sarana pembedaan atau diskriminasi manusia,” kata Agung Wibowo, penulis buku Bergaya di Masa Sulit: Gaya Hidup Masyarakat Eropa di Batavia Masa Depresi Ekonomi.
Selama masa resesi, masyarakat Eropa di Hindia Belanda ikut terkena dampaknya. Sebagian mereka bekerja sebagai pegawai pemerintahan dan swasta. Resesi mengurangi pemasukan pemerintah dan sektor swasta. Agar selamat, pemerintah dan swasta memotong gaji pegawainya. Beberapa perusahaan swasta bahkan terpaksa memecat pegawainya.
Baca juga: Menelusuri Tradisi Beli Pakaian Baru Jelang Lebaran
Tapi dalam situasi sulit itu, orang-orang Eropa tak mau kehilangan muka di depan orang-orang anak negeri. Caranya dengan tetap mengenakan pakaian yang berbeda dari anak negeri.
“Orang-orang kulit putih di koloni modern –mereka semakin keras mencoba untuk mendandani diri secara tepat, berusaha untuk tetap terpisah dari masyarakat pribumi– menjadi mencolok,” ungkap Rudolf Mrazek dalam “Kenecisan Indonesia: Politik Pakaian pada Akhir Masa Kolonial 1893–1942”, termuat dalam Outward Appeareances.
Semasa resesi, gaya berpakaian anak negeri justru makin kuat warna Eropanya. Ini berbeda dari periode sebelumnya.
“Bagi banyak penduduk biasa di Hindia, sebelum tahun 1900 lingkup ini dibatasi oleh aturan-aturan khusus yang dikeluarkan pertama-tama, pada masa kehadiran Belanda, oleh VOC, dan kemudian pemerintah kolonial,” catat Kees van Dijk dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, termuat dalam Outward Appeareances.
Gelombang politik etis pada 1900-an mengubah ketentuan tersebut. “Mereka diizinkan hidup dengan gaya dan style pakaian yang sama,” tutur Agung. Gambaran tentang merebaknya mode pakaian Eropa di kalangan anak negeri antara lain tersua dalam cerita pendek “Karena Aksi Baoe Terasi” di Pandji Poestaka, 16 Januari 1931.
Baca juga: Bertahan Menghadapi Resesi Ekonomi
Cerpen itu berkisah tentang anak lelaki bernama Mamat. Menjelang hari Lebaran, dia meminta ayahnya membelikannya pakaian ala Eropa: topi lebar, dasi, celana panjang, dan sepatu bot.
Karuan situasi ini mendorong orang-orang Eropa untuk mencari gaya berbusana lain. Saat itu, kebanyakan mereka melanggan majalah mode seperti Kapees Magazine. Dari sinilah mereka mengetahui mode yang berkembang di Eropa, utamanya dari Prancis.
“Mode pakaian berubah dari panjang menjadi pendek, dari berat menjadi ringan, dari gelap menjadi terang. Desain ini banyak ditemukan di kalangan pejabat dan pengusaha Eropa,” tulis Agung Wibowo dalam Bergaya di Masa Sulit.
Gaya tersebut tampak dari sebuah foto di Kapees Magazine, 5 Februari 1931. Seorang lelaki Eropa terlihat tengah menikmati jam istirahat dengan mengenakan kemeja lengan panjang model calvinis berwarna putih. Lengan kemejanya digulung hingga siku. Di dekatnya dua lelaki anak negeri berdiri yang menggunakan kaos oblong dan kemeja lengan pendek.
“Tetap memakai pakaian formal ketika momen tidak menggambarkan suasana acara formal. Ini menunjukkan sikap bahwa orang Eropa ingin tetap menunjukkan jati dirinya yang elegan,” tulis Agung.
Pada perempuan Eropa, sikap serupa pun ditunjukkan. Tapi perempuan Eropa lebih mengutamakan kenyamanan (casual) dalam memilih pakaian pada masa resesi. Pakaian kantor yang rumit dan lebih mengekang ekspresi tubuh ditinggalkan. “Ibarat melepas kepenatan ketika depresi terjadi,” ungkap Agung. Mereka tetap tampil beda dari perempuan anak negeri.
Baca juga: Kontestasi Ideologi dalam Pakaian Perempuan Indonesia
Masa resesi juga mengubah dominasi tekstil impor dari Eropa di Hindia Belanda. Tekstil dari Eropa dibuka untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Eropa. Mereka menilai serat kain impor lebih baik daripada serat kain anak negeri. Gayanya pun dinilai lebih cocok untuk mereka.
Harga tekstil impor jauh lebih mahal daripada tekstil lokal. Tapi masa resesi memaksa mereka berhitung ulang.
Impor tekstil dari Eropa tersendat akibat resesi. Tekstil impor pun jadi mahal. Sementara orang Eropa agak enggan membeli tekstil lokal. Celah ini diisi oleh tekstil Jepang. Sejak 1930, penetrasi barang Jepang di Hindia Belanda kian deras.
“Kedudukan Jepang dalam perdagangan luar negeri segera melonjak, ekspornya ke Hindia Belanda serta-merta meningkat menjadi 17,1% mengalahkan negeri Belanda yang hanya mencapai 15,4%,” catat Bisuk Siahaan dalam Industrialisasi di Indonesia Sejak Hutang Kehormatan sampai Banting Stir.
Baca juga: Awal Mula Toko Jepang di Indonesia
Harga tekstil impor dari Jepang jauh lebih murah daripada tekstil lokal dan Eropa. Tak sedikit orang Eropa yang terkena pemecatan atau pemotongan gaji tergiur dengan harganya. Kain dari Jepang seringkali dibeli orang Eropa untuk dijahit sesuai dengan keinginan dan mode mereka.
Melihat ini, pemerintah Hindia Belanda segera mengatur penetrasi produk Jepang. Pemerintah berupaya menggiatkan pengusaha tekstil dalam negeri, baik yang berbangsa Eropa maupun anak negeri. Tujuannya agar mereka mampu bersaing dengan tekstil Jepang. Selain itu, impor pakaian jadi dari Eropa pun tetap diusahakan dengan harga bersaing.
Kebijakan itu berhasil menekan tekstil Jepang. Ini pun berpengaruh terhadap harga tekstil impor Eropa dan lokal. Dengan begini, orang-orang Eropa tetap mampu menjangkau pakaian baru dengan mode mutakhir pula.