Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi penurunan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia terkait pandemi Covid-19. Ada beberapa skenario penurunannya. Dari paling moderat berada di kisaran 4 persen sampai terburuk di angka -0,4 persen.
Ini berarti Indonesia terancam masuk tahap resesi ekonomi dan orang harus bersiap menghadapinya untuk keluar sebagai "pemenang" atau "pecundang". Resesi ekonomi adalah kondisi perekonomian sebuah negara dan rakyatnya sedang memburuk. Ditandai oleh berkurangnya produksi, melemahnya pendapatan, meroket atau merosotnya harga barang, dan bertambahnya pengangguran.
Resesi ekonomi pernah menghampiri Indonesia beberapa kali, misalnya pada dekade 1930-an. Resesi bermula dari luar Hindia Belanda, dari kejatuhan harga saham di bursa New York, Amerika Serikat, pada Oktober 1929. Pangkalnya beragam rumor minor tentang perusahaan di sana. Tapi paling fatal ialah rumor bahwa sejumlah bank tak bisa membayar uang simpanan nasabah.
Baca juga: Sejarah Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS
Nasabah panik. Mereka menyerbu bank dan menarik uangnya. Perbankan kehilangan likuiditas dana. Mereka tak bisa menyalurkan kredit dan membayar gaji karyawannya. Kemudian mereka tutup atau bangkrut. Karyawan menjadi pengangguran. Para pedagang dan pengusaha kesulitan mencari kredit.
Kegiatan perdagangan dan produksi macet. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) marak di mana-mana. Orang-orang kehilangan penghasilan. Tak ada uang untuk beli barang dan jasa. Stok barang menumpuk. Harganya pun terjun bebas. Proses ini berpengaruh terhadap perekonomian negara eksportir untuk AS.
“Proses spiral ke bawah,” kata Boediono dalam Ekonomi Indonesia. Artinya, proses tadi tak berhenti di satu negara, tapi juga ke negara lain karena adanya keterkaitan perdagangan, informasi, dan keuangan antar mereka.
Sasmita Gunung Meletus
Negara lain ikut merugi, termasuk Hindia Belanda. Barang-barang ekspornya tak laku dijual ke negara lain. “Indonesia kolonial menjadi korban ketergantungan yang sangat tinggi terhadap permintaan pasar ekspor,” ungkap Thomas J. Lindblad dalam “Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20: Tinjauan Ekonomi Makro”, termuat di Dari Krisis ke Krisis.
Selama masa resesi, harga barang-barang turun drastis (deflasi). Orang-orang yang mencari penghidupan bidang pertanian, perdagangan, dan perpabrikan terkapar. Harga komoditas ekspor agraria juga ikut melorot. Barang dan pangan di mana-mana, tapi uang menjadi langka.
Penduduk menyebut situasi sulit ini sebagai zaman meleset. Diambil dari kata malaise yang berasal dari bahasa Prancis dan berakar dalam istilah medis untuk menyebut keadaan sakit atau lesu.
Saat harga barang turun dan uang langka, Gunung Merapi di Yogyakarta meletus pada 18 Desember 1930. “Tidak kurang dari 1.500 orang tewas dan 2.500 hewan mati,” catat P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, mengutip informasi majalah bulanan Claverbond tahun ke-43, 1931.
Baca juga: Pertanda dari Gunung
Sasmita alam ini membuat penduduk yakin Hindia Belanda tengah memasuki masa sulit. Petani mempunyai stok panen berlimpah di Yogyakarta. Tetapi hanya sedikit orang punya uang untuk membelinya. Petani mulai berpikir untuk bertahan hidup di luar hasil tani.
“Untuk membayar pajak, utang, dan bertahan hidup, orang-orang berbondong-bondong pergi ke pegadaian sampai harta benda mereka habis,” catat Ben White dalam “Pengalaman Tiga Resesi: Yogyakarta Masa 1930-an, 1960-an, dan 1990-an”, termuat di Dari Krisis ke Krisis. Jika barang-barang sudah ludes, petani kemudian menjual hartanya yang paling berharga: tanah.
Empat belas pegadaian kewalahan membeli barang-barang milik petani di Yogyakarta. Mereka kehabisan uang, sedangkan harga barang-barang gadaian terus menurun. Jumlah barang tidak tertebus meningkat pesat.
Semua Bisa Kena
Pegadaian menjual barang-barang itu dengan harga sangat rendah di pasar lelang. Hasilnya tak cukup untuk biaya operasional pegadaian. Karyawan pun kena PHK. Sebagian lainnya harus rela gajinya dipangkas sebesar 5 persen. Celakanya pemotongan ini pukul rata kepada tiap pegawai. Tak peduli bergaji kecil atau besar.
Majalah Doenia Pegadaian, 25 Januari 1934, memuat sajak dari pegawai pegadaian tentang ketidakadilan itu. Isinya membandingkan pegawai rendahan bergaji kecil dengan atasannya yang makmur sentosa karena gajinya tinggi tapi dipotong dengan nilai yang sama.
“Boeat ambtenaar jang bergadjih besar
Dipotong 5% tentoe tidak goesar…
Sebaliknja boeat pegawai rendahan
Jang gadjih mereka hanja poeloehan
Potongan 5% lagi akan dirasa soeatoe tindihan
Dan bakal menambah kesoesahan.”
Kesulitan juga meniban perempuan pekerja industri batik dan anyaman bambu. Kebanyakan mereka adalah istri atau anak perempuan para petani. Resesi menyebabkan upah mereka berkurang, tapi jam kerja tetap. Mereka harus giat bekerja berapa pun rendah harga jual produk buatan mereka. Mereka melakukannya demi memperoleh uang belanja untuk keluarga.
Baca juga: Menyuarakan Nasib Buruh Perempuan
Resesi menjalar pula ke kehidupan para guru-guru di sekolah desa. Gaji uang mereka ditukar dengan sawah seluas dua baoe (sekira 1,5 hektar). Tapi hasil mengelola sawah sekecil itu jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan. Hasil sawah hanya cukup untuk membeli 20 persen kebutuhan bulanan mereka.
Guru sekolah desa membutuhkan setidaknya 10 hektar sawah untuk mencukupi kebutuhan bulanannya. Itu pun kalau mereka mengolah sendiri lahannya. Kalau mereka menggarapnya bersama orang lain, hasilnya dibagi dua. Berarti makin sedikit buat mereka. Kalau sudah begitu, mereka tinggal menunggu sakit atau mati di sawahnya sendiri sekali pun sudah begadang di sawah.
“Orang yang mempunyai rasa kemanusiaan mesti biasa merasakan susahnya penghidupan guru dan bagaimana sakitnya hati, lantaran dengan menerima gaji tanah itu tidak saja merosot penghasilannya dan tidak saja ‘amat sangat terlalu susah buat mengerjakan, tetapi juga akan merosot derajatnya, tidak mendapat lagi penghargaan lagi oleh orang-tua murid-murid lebih-lebih oleh lain golongan,” catat Sinar Goeroe Vorstenlanden, 4 Juli 1933.
Baca juga: Gelandangan Selalu Jadi Pesakitan
Orang Eropa dan Tionghoa tak luput dari jerat resesi. Gelandangan Eropa muncul di kota Batavia selama masa resesi. Jurnalis de Telegraaf menemukan mereka secara tidak sengaja bercampur baur dengan gelandangan anak negeri. Dia telah kehilangan pekerjaan dan apa-apa yang berharga dari dirinya: rumah dan keluarga.
“Dia berupaya bertahan hidup dari sumbangan orang-orang Indonesia di kampung terdekat yang memberinya nasi, juga dari orang-orang Eropa yang memberinya koin uang ketika mereka lewat di jalan,” kata si jurnalis dalam De Telegraaf, 9 Desember 1932, seperti dikutip John Ingleson dalam Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial.
Banyak usaha milik orang Tionghoa totok dan peranakan hancur begitu resesi menyergap Hindia Belanda.
Dari tekstil, lintah darat, kriya, toko, warung di pasar, kedai makanan, sampai tembakau. Tapi sebagian kecil mereka justru bisa menjadi kaya raya saat masa resesi.
“Mereka mendirikan usaha baru, memperluas usaha lama, atau membeli perusahaan milik orang Eropa,” catat Ben White. Usaha itu antara lain kopi, biskuit, dan pabrik es.
Pegawai kantoran dan pemerintah tingkat atas yang bergaji bulanan menjadi kelompok paling beruntung dalam resesi. Mereka menikmati turunnya harga barang. Karena itu, daya beli mereka pun meningkat pesat. Sekalipun gaji mereka telah dipangkas hingga 30 persen
Terlambat Bertindak
Ketika "pemenang" dan "pecundang" dalam resesi telah keluar, pemerintah kolonial justru menganggap keadaan tetap baik-baik saja. Di Yogyakarta, misalnya, Residen van Gesseler Verschuir menyatakan masyarakat mampu menyesuaikan diri dengan krisis melalui pengurangan belanja dan tetap membayar pajak seperti biasa sepanjang 1930—1931.
Tak lama kemudian, keadaan justru kian memburuk bagi banyak orang. Pemerintah mulai memangkas pajak untuk para petani. Tapi itu tidak banyak membantu. Begitu pula kebijakan jaminan sosial untuk para pekerja terkena PHK.
Baca juga: Fesyen dan Krisis Ekonomi
Yayasan Nirlaba turut berperan membantu orang-orang terdampak resesi. Mereka bisa tergabung dalam satu payung besar atau bergerak sendirian. Yang jelas, mereka menyalurkan bantuan berupa uang tunai, pangan, dan penginapan gratis.
Kadangkala mereka memilih penerima bantuan yang sesuai dengan garis perjuangan dan identitas organisasi mereka. Bisa dari agama, etnik, dan profesi. Lainnya menyalurkan bantuan tanpa pandang identitas si penerima bantuan.
Resesi ekonomi berangsur hilang memasuki awal 1940-an. Tapi itu tak lama. Sebab Jepang datang pada 1942 dan bikin susah banyak orang. Kedatangan Jepang memang membuat uang kembali beredar, tetapi barang justru menjadi langka. Cara orang bertahan menghadapinya pun berbeda lagi.