Masuk Daftar
My Getplus

Menyuarakan Nasib Buruh Perempuan

Dalam Peringatan Hari Perempuan Sedunia 2020, nasib buruh perempuan diperjuangkan di tengah upaya gencar pemerintah menyusun Omnibus Law.

Oleh: Nur Janti | 08 Mar 2020
Para perempuan menyuarakan tuntutannya dalam peringatan Hari Perempuan Sedunia. (Dok. Fathimah Fildzah Izzati/Sindikasi).

Pada peringatan Hari Perempuan Sedunia 2020, Aliansi Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan (Gerak Perempuan) menyerukan untuk Melawan Kekerasan Sistematis terhadap Perempuan. Beberapa poin masalah yang diangkat ialah ketiadaan regulasi yang memberikan perlindungan terhadap perempuan baik dalam undang-undang maupun peraturan turunannya serta kondisi kerja yang tidak ramah perempuan.

Contoh paling anyar ialah nasib buruh PT Alpen Food Industri (PT AFI) yang memproduksi es krim Aice. Mereka mengeluhkan kondisi kerja yang tak sejalan dengan ketentuan. Beberapa di antaranya, diskriminasi pengupahan, risiko mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, kontaminasi lingkungan, dan shift kerja ibu hamil pada malam hari.

Dalam rilisan persnya, Gerak Perempuan menyebutkan akibat dari kondisi kerja yang eksploitatif ini, sepanjang 2019, terjadi 14 kasus keguguran yang dialami buruh perempuan dan 6 orang lainnya kehilangan bayi yang baru dilahirkan.

Advertising
Advertising

Namun alih-alih menciptakan ruang kerja yang lebih ramah bagi perempuan dan memastikan hak buruh dijalakan, pemerintah malah tergesa-gesa memproses Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang tidak memberi ruang pada kebutuhan pekerja perempuan, seperti hak reproduksi.

Belum lagi RUU Ketahanan Keluarga yang berusaha mengembalikan peran perempuan untuk mengurus keluarga. RUU semacam ini kental atmosfer konservatisme yang alih-alih mendorong perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya sesuai keinginan malah berusaha mundur ke era sebelumnya.

Baca juga: 

Perayaan Hari Perempuan

“Omnibus Law itu pakai kerangka globalisasi kapitalis yang dalam kompetisi akan menyingkirkan perempuan. Sementara RUU Ketahanan Keluarga itu akan membuat perempuan di rumah saja,” kata Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) pada Historia.

 

Nasib Buruh Perempuan

Usaha advokasi nasib buruh perempuan sudah dilakukan sejak Indonesia belum merdeka. Pada 1941, Maria Ullfah beserta rekannya di organisasi Isteri Indonesia berkunjung ke pabrik sepatu Bata. “Pabrik yang berdiri baru satu tahun itu punya kurang lebih 1000 personel, 600 laki-laki dan 400 perempuan,” tulis Maria Ullfah dalam “Perempuan-Perempuan Kita yang Bekerja di Pabrik Bata” dimuat Isteri Indonesia Januari 1941.

Di sana, ia mengamati bagaimana buruh-buruh perempuan tinggal dan bertahan hidup. Dari sekian banyak buruh, hanya terdapat tiga mandor perempuan dengan gaji f 7.50 per minggu. Sementara ratusan perempuan lainnya bekerja sebagai tukang jahit sepatu dengan gaji per minggu f 4.

Dari gaji tersebut, mereka sisihkan f 0.90 per minggu untuk biaya pondok. Harga tersebut untuk pondok termurah yang mereka kunjungi. Menurut Maria Ullfah pondok murah itu kurang layak sebab tak tersedia dapur dan ukurannya amat kecil. Ia pun mensurvei pondok-pondok lain di sekitar Pabrik Bata. “Pondok yang sewanya f 1.20 per minggu inilah yang menarik hati kami. Bagi kaum ibu, pondok inilah yang bagus dan netjes,” terang Maria Ullfah.

Baca juga: 

SK Trimurti, Menteri Perburuhan Pertama

Sujatin Kartowijono juga pernah melakukan hal serupa. Dalam biografinya Mencari Makna Hidupku, dia mengisahkan pada 1930-an pernah mengunjungi para buruh di pabrik Batik Lasem yang sedang melakukan protes. Dari kesaksian Sujatin, para buruh perempuan mendapat perlakuan sewenang-wenang, beban kerja tinggi namun upah minim.

Pada 1945 SK Trmurti, Umi Sardjono, bersama Barisan Buruh Wanita (BBW) mengorganisasi gerakan untuk memperjuangkan hak buruh perempuan sekaligus kemerdekaan Indonesia. “Ada tiga kondisi buruh perempuan yang diperjuangkan Trimurti, yakni tentang cuti baik haid maupun melahirkan, diskriminasi upah, dan tuntutan agar buruh perempuan bebas dari kekerasan fisik,” kata Ruth. Bahkan Trimurti juga memperjuangkan agar istri para buruh tidak diperlakukan semena-mena. Dalam artian, mereka tidak ditelantarkan atau dipoligami seenaknya.

Pada 1946 BBW dilebur dalam Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), sejak itu hak buruh perempuan diperjuangkan dalam SOBSI, salah satunya tentang upah sama. Namun menurut Saskia Eleonora Wieringa dalam bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan meski organisasi ini siap memperjuangkan hak-hak perempuan, tapi mereka tidak akan berjuang menentang dominasi lelaki sendiri.

Baca juga: 

Hari Perempuan Tak Diperingati di Era Suharto

Suara tentang hak buruh semacam ini juga diserukan pada peringatan Hari Perempuan Sedunia 1954. Para perempuan menekankan tuntutan pada penghapusan diskriminasi upah, hak dalam perkawinan, dan moralitas. Namun demikian, pada dekade 1950-an, Hari Perempuan Sedunia belum mendapat sambutan antusias di Indonesia. Gerwani mempeloporinya dan hanya sedikit kalangan yang ikut memperingati.

Ketidakpopuleran perayaan 8 Maret ini membuat Gerwani mengajak banyak organisasi perempuan untuk memperingatinya. Mereka juga membuat kebijakan bahwa karya tulis Clara Zetkin, feminis Partai Sosialis Jerman yang mengusulkan ditetapkannya tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia, dijadikan bacaan wajib bagi kader-kadernya.

Meski kebanyakan organisasi perempuan yang memperingati 8 Maret adalah organisasi sosialis, Perwari tercatat pernah merayakan Hari Perempuan walaupun gaungnya tak besar. Federasi perempuan, Kowani, mulai merayakan Hari Perempuan Sedunia pada dekade 1960-an. Kowani bahkan membentuk panitia persiapan peringatan Hari Perempuan Sedunia.

Baca juga: 

Kolonialisme Hancurkan Kedudukan Perempuan

Pada perayaan tahun 1961, Wanita Komunis (Wankom), kelompok perempuan anggota PKI (mulai disebut demikian sejak 1957), mengeluarkan pernyataan untuk memperkuat persatuan perempuan, khususnya buruh, tani, dan anti-feodal.

PBB petama kali memperingati Hari Perempuan Internasional pada 1975 bersamaan dengan program dekade perempuan. Meski Indonesia termasuk negara yang ikut menjalankan dekade perempuan, namun lantaran situasi politik di bawah kepemimpinan Soeharto, maka Indonesia tak merayakan Hari Perempuan Sedunia. Baru setelah reformasi peringatan 8 Maret kembali dirayakan hingga hari ini. Sejak pukul 10.00 pagi, para perempuan turun ke jalan, menyuarakan penolakannya pada RUU Ketahanan Keluarga dan Cipta Kerja.

TAG

hariperempuaninternasional kekerasanperempuan pahlawan perempuan hariperempuan hariperempuansedunia

ARTIKEL TERKAIT

Bersatulah Wahai Kaum Perempuan Pergundikan di Perkebunan Kolonialisme Hancurkan Kedudukan Perempuan Hari Perempuan Tak Diperingati di Era Suharto Perayaan Hari Perempuan Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Park Chung Hee, Guru Gagal Jadi Diktator Korea Selatan