Orang Jawa Kuno sehari-hari mengenakan kain yang menutupi dada hingga bawah lutut. Rambut mereka dibiarkan terurai. Sementara raja memakai mantel dari sutra, sepatu dari kulit, dan rambutnya disanggul memakai kerincingan emas.
Demikian catatan utusan Dinasti Sung saat mendatangi Jawa pada abad ke-10. Pada masa itu, pakaian bukan sekadar penutup tubuh, tetapi juga mencerminkan status sosial.
Hal itu digambarkan dalam relief candi. Pada relief Prambanan dan Borobudur, laki-laki dan perempuan berpakaian dengan membiarkan bagian dada terbuka. Rambutnya disanggul, diurai sebahu, atau memakai penutup kepala.
“Beda rakyat dan bangsawan terletak pada perhiasan yang dipakai untuk melengkapi pakaiannya dan kelihatan lebih mewah,” tulis Hari Lelono, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam “Busana Bangsawan dan Pendeta Wanita pada Masa Majapahit: Kajian Berdasarkan Relief-Relief Candi”, termuat dalam Berkala Arkeologi Vol. 10 No. 1, 1999.
Baca juga: Kisah Para Pertapa Perempuan
Hari menjelaskan, busana dan perhiasan para tokoh digambarkan beragam dalam relief candi. Misalnya, relief cerita Sri Tanjung yang populer digambarkan pada candi-candi Majapahit, salah satunya di dinding pendopo Candi Penataran di Blitar. Di sana, Sri Tanjung memakai kain panjang dari bawah payudara sampai batas pergelangan kaki. Pada bagian perut, kain diikat dengan selendang. Sisi kiri kain depan terdapat belahan yang memperlihatkan kain di dalamnya. Dia mengenakan dua lapis kain.
Sri Tanjung juga mengenakan gelang tebal pada kedua tangannya. Kalung tebal menghiasi lehernya. Guratan pada kalung itu mungkin menandakan kalungnya berhias indah khas putri bangsawan.
Hari juga mencermati gaya berbusana pendeta perempuan yang berbeda. Rambutnya bergelung ditutupi kain. Dia tak memakai perhiasan, hanya gelang tipis pada kedua tangan. Dia memakai busana yang menutupi payudara, semacam kemben panjang sampai pergelangan kaki. Kainnya bermotif garis-garis geometris berbentuk wajik.
“Motif itu tentunya dapat pula diasumsikan bagi masyarakat pada masa lampau seorang pendeta biasa memakai pakaian yang agak berbeda dengan perempuan umumnya. Mungkin dapat dikaitkan dengan nilai simbolik pada garis kain yang digunakan,” tulis Hari.
Baca juga: Cara Berpakaian Orang Jawa Kuno
Winda Saputri, lulusan arkeologi Universitas Gadjah Mada, dalam “Distribusi Pakaian pada Abad X Masehi: Kajian Melalui Prasasti-Prasasti Sindok”, termuat dalam Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, mencatat paling tidak sejak masa Mataram Kuno, beberapa jenis pakaian bernilai sangat tinggi. Misalnya, pada masa Balitung, dalam Prasasti Humanding (875) disebutkan jenis kain ganjar patra sisi dan bwat kling putih.
“Kain jenis itu nilainya 8 masa emas atau kalau sekarang nilainya setara dengan 19,2 gram emas,” tulis Winda. Kain mahal ini hanya diperuntukkan bagi bangsawan dan pejabat tinggi.
Sutra Warna-warni
Arkeolog Edhie Wurjantoro dan Tawalinuddin Haris dalam “Kain dalam Masyarakat Jawa Kuna”, laporan penelitian arkeologi di Universitas Indonesia tahun 1995, menjelaskan masyarakat Jawa Kuno telah mengenal beragam jenis pakaian. Sumber karya sastra menyebut kain, tapis, sinjang, dodot, dan wastra.
Mereka mengenakan pakaian dari katun dan sutra. Warnanya bermacam-macam: merah, biru, hijau tua, jingga, dan ungu. Pun pola hiasnya beragam.
“Paling banyak ditemui adalah hiasan tumpal di samping ragam hias gringsing, kawung, bunga-bungaan, dan bakung,” tulis Edhie.
Kalau dari relief candi, seperti Prambanan dan Borobudur, terlihat di antara bangsawan ada yang mengenakan pakaian tipis. Menurut Edhie mungkin yang dikenakannya kain berbahan sutra. Kain ini banyak dihasilkan di Jawa, sebagaimana disebutkan dalam berita Cina.
Baca juga: Makna Menarik Kain Jarik
Berita masa Dinasti Sung menyebutkan utusan Jawa membawa persembahan kain indah bersulam emas dan motif bunga.
“Yang menarik kain-kain itu disulam dengan benang emas atau dilukis dengan debu emas cair. Dalam batik tradisional dikenal istilah prada,” tulis Edhie.
Beberapa jenis ragam hias kain pada arca menunjukkan motif hias kawung, ceplokan, banji, dan tumpal pada bagian pinggir kain. “Dari beberapa arca batu dan perunggu yang disimpan di Museum Nasional Jakarta kita juga memperoleh beberapa motif kain, tetapi kita belum tahu apa nama motif kain itu,” tulis Edhie.
Sayangnya, sulit memperkirakan bagaimana ragam motif kain yang ada pada masa Jawa Kuno. Sumber prasasti hanya mencatat nama jenisnya tanpa menjelaskan corak ragam hiasnya.
“Beberapa di antaranya dapat kita samakan dengan kain batik yang ada sekarang, seperti kain patola, manjeti, dan sageji,” tulis Edhie.
Kain Mewah
Edhie menyebutkan, beberapa nama kain dalam prasasti ada yang masih bisa diperkirakan wujudnya. Misalnya, kain dengan warna dasar putih (wdihan putih), kain dengan warna dasar merah (wdihan kalyaga), kain dengan motif bunga selasih (wdihan sulasih), kain dengan motif bunga (wdihan ambay-ambay), kain dengan motif bunga dan sulur-suluran di bagian tepinya (wdihan ganjar patra sisi), kain dengan hiasan dedaunan (wdihan ronparibu), dan kain dengan hiasan bunga kapuk dan kerang-kerangan (wdihan syami himi-himi).
Jenis wdihan hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Sementara untuk perempuan disebut ken atau kain.
Ada yang disebut dengan kain halangpakan yang mungkin kain tenun. Ken bwat lor dan ken bwat wetan bisa diartikan sebagai kain yang didatangkan dari wilayah utara dan timur.
“Mungkin daerah utara yang dimaksud Cina sedangkan timur yang dimaksud Jepang,” tulis Edhie.
Baca juga: Pakaian pada Masa Jawa Kuno
Kain termasuk komoditas yang diperjualbelikan di pasar internasional. Kain-kain ini terutama kain mewah sangat diminati di Jawa dalam waktu cukup lama.
Siti Maziyah, pengajar sejarah di Universitas Diponegoro, dalam “Nama Menunjukkan Asal: Studi Kasus Nama Jenis Kain pada Prasasti dan Susastra Berbahasa Jawa Kuno”, termuat dalam Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, ada beberapa jenis kain mewah yang dibuat di India, Mumbai, Melayu, Cina, Siam, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Sulawesi Selatan.
Maziyah mendata, pada abad ke-9–10 era Mataram Kuno, kain mewah yang diminati dari wilayah Nusantara seperti Bali, Lombok, dan Sumbawa, disebut wdihan buat waitan atau wdihan buatan timur.
Sedangkan pada abad ke-12–14 masa Kadiri hingga Majapahit, kain mewah yang didatangkan dari Mumbai dan India Barat disebut caweli.
Selain dari luar negeri, kain mewah juga dibuat khusus di istana. Namanya kain bwat inulu dan wdihan buat pinilai. Kain-kain ini dibuat oleh pelayan istana di Jawa, khususnya pada abad ke-9.
Baca juga: Asal Usul Pakaian
Beberapa jenis kain mewah hanya dikenakan oleh raja, keluarganya, dan para pejabat tinggi. Menurut Edie, dari sekian banyak jenis wdihan, sulit menentukan motif wdihan apa yang khusus dipakai oleh raja.
Pada masa Kerajaan Mataram berpusat di Jawa Tengah, jenis wdihan yang dipakai oleh raja dan keluarganya, antara lain wdihan jaro haji, wdihan ganjar haji patra sisi, wdihan ganjar haji, wdihan alapnya salari kuning, wdihan kalyaga, dan wdihan bwat pinilai.
Ketika pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur sampai masa Majapahit, jenis wdihan yang dipakai raja, keluarganya, dan pejabat tinggi, tidak banyak berubah. Namun, ada jenis wdihan lain seperti wdihan rajayoga, wdihan pamodana, dan wdihan tapis cadar.
Sementara itu, pejabat menengah memakai wdihan ambay-ambay, rangga, wdihan sulasih, dan wdihan wira. Pejabat rendahan memakai wdihan ronparibu, wdihan padi, dan wdihan takurang. Rakyat hanya memakai wdihan biasa.
Baca juga: Empat Tipe Perempuan Jawa Kuno
Begitu pula dengan ken untuk perempuan. Istri pejabat tinggi memakai kain jaro. Istri pejabat menengah memakai kain pinilai, kain buat ingulu, ken kalyaga, dan ken rangga. Istri pejabat rendahan memakai kain pangkat, kain laki, kain atmaraksa, kain halangpakan, kain putih, dan ken biasa. Sedangkan rakyat hanya memakai ken biasa.
Infromasi dalam prasasti tak selalu sama soal jenis wdihan yang diberikan kepada raja, keluarganya, dan pejabat kerajaan. Ada prasasti yang hanya menyebutkan satu jenis wdihan untuk raja sampai rakyat biasa.
“Ini mungkin berkaitan erat dengan kemampuan pejabat atau orang atau desa yang menerima anugerah raja,” tulis Edhie. “Bisa juga berkaitan dengan jenis-jenis wdihan yang tersedia di daerah itu karena pembuat wdihan hanya membuat jenis wdihan untuk golongan rendahan saja.”