Masuk Daftar
My Getplus

Taipan Mie Instan Berpulang

Konglomerat yang berhasil mengembangkan usaha dari nol. Memanfaatkan relasi dengan kekuasaan.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 12 Jun 2012
Liem Sioe Liong (tengah) bersama tokoh penting Orde Baru: Laksamana TNI (Purn.) Sudomo (kiri) dan Soedjono Hoemardani (kanan). (Repro Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto).

KALA menginjakan kaki di Pelabuhan Surabaya pada 1938, Liem Sioe Liong kebingungan. Petugas imigrasi pelabuhan menanyakan siapa kerabat yang bisa menjaminnya di Surabaya. Sioe Liong, yang baru datang dari Tiongkok, tak bisa menjawab lantaran kakaknya, Liem Sioe Hie, tak ada di pelabuhan. Sioe Liong tertahan di pelabuhan. Tak diizinkan keluar oleh petugas imigrasi. Empat hari kemudian barulah Sioe Hie menjemputnya. Kakak beradik itu berpelukan. Air mata mereka tak terbendung.

Mereka keluar pelabuhan mencari warung. Bertukar cerita sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Kudus. Sioe Liong terpaksa meninggalkan kampung halamannya, Futching, karena serangan tentara Jepang. Waktu itu dia baru berusia 20 tahun. Pemuda seperti dia menjadi sasaran empuk Jepang untuk direkrut paksa ke dalam tentara. Menolak berarti dibunuh, sedangkan melawan Jepang harus masuk ke hutan. Sioe Liong tak memilih keduanya. Dia lari. Hingga akhirnya sampai di Surabaya.

Di Jawa, beberapa kerabatnya telah lebih dulu menyambung hidup. Pamannya, Liem Mo Sing, telah mendirikan pabrik minyak kacang tanah di Kudus. Sioe Hie bekerja untuknya dan kemudian mengajak adiknya bergabung. Menurut Ersa Siregar dalam Liem Sioe Liong Dari Futching ke Mancanegara, sesampainya di Kudus, Sioe Liong tidak hanya bergabung ke pabrik pamannya, tetapi juga ke Futching Hui (perkumpulan orang Futching di Kudus).

Advertising
Advertising

Baca juga: William Soeryadjaya Menggapai Bintang di Langit

Sembari membantu pamannya, Sioe Liong mulai menjalin hubungan dengan orang-orang Futching Hui. Salah satunya Tan Ho Tjung. Kala modal dirasa cukup, mereka membuka usaha kredit barang kebutuhan rumah tangga. Sayang, kedatangan Jepang ke Hindia menghempaskan bisnis mereka. Ini terkait dengan kebijakan Jepang yang melarang usaha kredit orang Tionghoa. Sioe Liong merugi. Dalam keadaan itu, dia bertemu seorang gadis, Lie Las Nio, dan jatuh cinta kepadanya. Tak beberapa lama kemudian mereka menikah.

Bersama istrinya, Sioe Liong mencoba membangun usahanya kembali. Tapi tidak di bidang kredit. Ketika itu, Jepang mendadak menyerah kepada sekutu pada Agustus 1945. Mereka harus angkat kaki dari Indonesia yang baru merdeka. Tentara sekutu menggantikan kedudukan mereka. Tentara Belanda kemudian mulai memasuki wilayah Jawa Tengah. Kontak senjata dengan laskar dan tentara republik tak terhindarkan. “Dia berperan sebagai pemasok bahan makanan, pakaian serta obat-obatan. Menurut salah satu laporan, dia juga memasok senjata,” tulis Richard Robison dalam Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia.

Liem Sioe Liong (tengah) bersama Sudwikatmono (kiri) dan Presiden Soeharto yang meresmikan pabrik Bogasari tahun 1971. (Repro Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto). 

Inilah masa awal persentuhan Sioe Liong dengan kekuatan republik. Dia merawat hubungan ini sehingga mampu mengimpor cengkeh dari Madagaskar dan Zanzibar ke Kudus. Kantong Sioe Liong semaking mengembang. Memasuki 1950, dia bertemu dengan Soeharto, Panglima Divisi Diponegoro yang bermarkas di Semarang, Jawa Tengah. Soeharto meminta Sioe Liong memasok kebutuhan logistik Divisi Diponegoro. Mereka kemudian berkawan akrab.

Baca juga: Awal Mula Bisnis Eka Tjipta Widjaja

Serentang waktu, usaha Sioe Liong meluas. Dia merambah bidang manufaktur (tekstil, sabun, paku, dan suku cadang sepeda). Pada 1954, obsesinya terhadap usaha kredit dihidupkan kembali. Dia mendirikan Bank Windu Kentjana. Bank-nya tak berkembang, tapi Sioe Liong malah membeli sebuah bank lagi, Bank NV Asia, pada 12 Oktober 1956. Dia berusaha membesarkan bank ini bersama sejawatnya, Djuhar Sutanto (Liem Om Kian). Pada 1960, nama Bank itu diganti menjadi Bank Central Asia.

Soeharto tiba-tiba naik ke tampuk kekuasaan pada 1966. Sioe Liong pun ikut terangkat meski tidak dalam lingkar kekuasaan. Belum lama menikmati kekuasaan, sejawatnya itu langsung memberikan Sioe Liong kemudahan membangun bisnis. Lewat PT Mega (Cengkeh), Sioe Liong menjadi pemasok cengkeh tak tertandingi sejak 1968. Saingannya cuma satu perusahaan, itu pun milik adik tiri Soeharto, Probosutedjo (PT Mercubuana). Dua perusahaan ini mendapatkan hak kutip impor cengkeh senilai lima persen dari tiap transaksi

Ketika menjalankan bisnis cengkeh itu, Sioe Liong bertemu dengan Ibrahim Risjad dan Sudwikatmono. Dia mengajak mereka untuk mendirikan CV Waringin. Djuhar juga tak luput dari ajakannya (keempatnya kemudian disebut Gang of Four). Mereka bersepakat tanpa banyak kompromi. Untuk menggerakan roda perusaahan, hubungan yang baik dengan Soeharto digunakan. Itu memudahkan Waringin memperoleh izin monopoli impor kopi. Mereka lalu mendirikan kantor di Singapura. Keberhasilan itu melambungkan nama mereka di mancanegara.

Baca juga: Cara Eka Tjipta Widjaja Membangun Usaha

Ekpansi bisnis Sioe Liong tak berhenti. Dalam dekade 1970-an, berturut-turut dia mendirikan pabrik terigu (Bogasari Flour Mils), makanan (Indofood), dan semen (Indonesia Distinc Cement/Indocement). Salah satu produk makanannya yang sangat populer dan laku keras adalah mie instan. Memasuki 1980-an, perhatiannya kembali tertuju kepada bank. Kali ini dia dibantu Mochtar Riady, seorang mantan pegawai tinggi Panin Bank, yang dia jumpai secara tak sengaja di pesawat menuju Hongkong pada 1974. Lelaki peranakan Malang ini membantu BCA menjadi bank swasta terbesar di Indonesia. Hingga 1975, BCA hanya memiliki dua cabang. Dan pada Agustus 1988, BCA telah memiliki 49 cabang yang tersebar di Indonesia.

Untuk mencapai itu, Sioe Liong memberikan Mocthar Riady saham BCA sebanyak 17.5 persen. Gaji tinggi pun diberikan. Sioe Liong juga menghabiskan Rp5,25 triliun, yang didapat sebagian besarnya dari hutang, untuk meraup aset senilai Rp1,542 triliun. Anak-anaknya, Andre dan Anthony, kemudian dipersiapkan untuk menggantikan posisinya. Sudah sejak lama dia menaruh banyak kepercayaan kepada keluarganya sendiri. Ini lantaran etos guanxi (kepercayaan) yang tumbuh di kalangan pedagang Tionghoa sejak lama. Lagipula, Sioe Liong sadar dirinya mulai renta. Namun tetap tak mudah bagi Andre dan Anthony menggantikan ayahnya.

Baca juga: (R)evolusi ATM BCA

Sioe Liong nyatanya tetap menjadi pemimpin. Segala macam keputusan tetap berada di tangannya. Dan itu dibuktikan meski dalam situasi yang sulit ketika peristiwa Mei 1998 meletus. Rumahnya dibakar. Dia terpaksa mengungsi ke Singapura. BCA kolaps dan harus diambilalih pemerintah. Dia berhutang hampir Rp. 35 triliun kepada negara. Aset-asetnya terpaksa dijual. Namun anehnya nilainya sangat jauh di bawah hutangnya kepada negara. Dan meski berhutang, dia tetap mampu membeli saham Philiphine Long Distance Telephone (perusahaan Filipina) senilai US$760 juta pada 1999. Sejumlah ekonom heran: jika tak mampu bayar hutang, mengapa bisa membeli?

Setelah 1998, Sioe Liong menetap di Singapura. Mengontrol bisnisnya yang tak pernah mati dari sana. Hidup tanpa tersentuh tagihan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Meski begitu, dia tak kuasa menolak maut pada Minggu, 10 Juni 2012. Sioe Liong wafat di Singapura, jauh dari tanah di mana dia banyak menangguk untung selama puluhan tahun semenjak kedatangannya pada 1938.

TAG

Obituari

ARTIKEL TERKAIT

Memori Manis Johan Neeskens Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson Hamzah Haz, Wakil Presiden Pilihan MPR Epilog Tragis Sang Pengusung Bendera Palestina di Olimpiade Salim Said Bicara Tentang Tiga Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia Johny Pardede dari Sepakbola hingga Agama Jhonny Iskandar dan Orkes Moral Riwayat Pedangdut Nyentrik Jhonny Iskandar Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben