SEPASANG cincin berbatu zamrud melingkar di dua jari telunjuknya. Hijau di telunjuk kanan dan merah di kiri. Hijau lambang banyak relasi, sedangkan merah tanda murah rezeki.
Semasa muda, dia hanya memakai cincin zamrud hijau. Suatu hari seorang teman menyarankannya untuk juga memakai cincin merah. Tujuannya mengimbangi aura cincin hijau. Temannya seorang ahli batu. Dia percaya sarannya.
“Maka saya pakai dua ini, yang satu hoki, yang lain buat sosial,” kata dia pada suatu hari dalam tahun 1989 di ruang kerjanya, Gedung Bank International Indonesia (BII), Jakarta, seperti termuat dalam Eksekutif, Mei 1989.
Baca juga: Sejarah batu akik dari zaman purba
Dia bernama Eka Tjipta Widjaja. Dia wafat dalam usia hampir seratus tahun pada 26 Januari 2019. Ada yang bilang usianya mencapai 98, lainnya menyebut 96. Bergantung pada kalender apa yang dipakai.
Eka pernah mengatakan bahwa perhitungan waktu kelahirannya rumit. “Kalau tanggalan internasional, satu tahun ‘kan 365 hari, sedang kalender Tionghoa cuma 358 hari… Susah menghitungnya,” kata Eka dalam Matra, No 66, Januari 1992.
Tapi hari-hari setelah wafatnya Eka telah menggambarkan sesuatu yang lebih sederhana, seperti perlambang dua cincin yang pernah dia pakai. Dia punya banyak relasi dan harta.
Pengusaha kakap, presiden, menteri-menteri, calon presiden, dan purnawirawan jenderal silih-berganti datang melayat mendiang Eka. Dia meninggalkan harta senilai 205 triliun rupiah. Terdiri atas perusahaan di bidang kertas, perkebunan, properti, keuangan, dan telekomunikasi.
Membangun relasi
Cerita Eka mengumpulkan relasi dan harta tidak sesederhana hasilnya. Cerita ini bermula dari Makassar. Keluarganya tiba di Makassar pada 1930 dari Fujian, Tiongkok Selatan. “Ayah saya pedagang kelontong di Makassar,” katanya dalam Matra.
Bisnis ayah Eka sulit berkembang. Duitnya hanya berputar untuk bolak-balik Fujian—Makassar. Tak jarang sang ayah mesti berutang.
Eka mempunyai nama lahir Oei Ek Tjhong. Dia anak pertama dari tujuh bersaudara. Melihat uang ayahnya habis untuk mudik dan membayar utang, dia terpaksa ikut menjajakan barang kelontong seperti kembang gula, biskuit, dan spiritus. Dia memperoleh barang-barang tersebut dari pemasok. Modalnya kepercayaan dari pemasok kepada Eka.
“Mereka berani kasih barangnya dulu karena mungkin lihat saya jujur,” kata Eka.
Umur Eka waktu itu masih kisaran remaja sekolah menengah pertama. Sekolahnya harus putus karena waktunya habis untuk berdagang. Tapi utang-utang ayahnya perlahan terbayar dan keluarganya mulai punya tabungan.
Dari tabungan itu Eka menjajal dagang minyak pada masa pendudukan Jepang. Dia pergi berlayar ke Pulau Selayar untuk memperoleh kopra, bahan dasar untuk bisnis minyaknya. “Dua hari, dua malam berlayar. Mabuk laut, muntah-muntah,” kenang Eka.
Harga sekaleng minyak kopra di Selayar bernilai 3 rupiah. Eka berharap bisa menjual sekaleng minyak seharga 5-6 rupiah di Makassar. Dia bawa pulang 500 kaleng minyak. Tapi di Makassar harganya justru jatuh. Sebab tentara Jepang memaksanya menjual murah.
“Hanya dihargai 1 rupiah, yah habis semua. Saya nggak bisa dagang lagi,” tutur Eka dalam Eksekutif.
Bisnis dengan tentara
Eka beralih dagang barang kelontong lagi: terigu, arak, semen, dan besi. Semua barang bekas Belanda. Tentara Jepang membuang semuanya dari gudang Belanda. Dia memungut barang-barang itu dan menjualnya kembali.
Eka menggunakan keuntungan penjualan barang-barang bekas untuk membuka peternakan babi, kemudian peternakan babinya dijual untuk modal pabrik roti, lalu keuntungan pabrik roti diputar untuk bisnis barang grosir. Pada akhirnya, dia melepaskan bisnis pabrik roti dan menyerahkannya kepada adiknya.
Bisnis grosir mempertemukan Eka dengan seorang perwira Corps Intendans Angkatan Darat pada 1950. Namanya Kapten Surario. Dia butuh teh, sirup, rokok, abon, dendeng, sabun, dan bawang putih untuk kesatuannya. Dia telah datang ke berbagai toko grosir di Makassar, tapi ditolak karena pembayarannya pakai sistem utang.
“Karena yang mau utang tentara, nanti mereka tidak bayar,” kata Eka memberi alasan mengapa toko-toko grosir lain menolak Kapten Surario, seperti diceritakannya dalam Matra.
Tapi tidak demikian dengan Eka. Dia menyanggupi permintaan Kapten Surario. "Saya bilang saya percaya tentara. Saya yakin mereka akan bayar," kata Eka. Keyakinannya jitu. Tentara itu melunasi utangnya sebulan kemudian. “Akhirnya saya terus kerja memasok kebutuhan mereka,” katanya dalam Eksekutif. Sejak itu hubungannya dengan tentara terbentuk.
Baca juga: Nasionalisasi dipilih untuk membangun ekonomi nasional yang lepas dari ekonomi kolonial
Kemudian Kapten Surario menjadi pemimpin perusahaan Belanda yang dinasionalisasi pada akhir 1950-an. Surario memperluas pergaulan Eka ke perwira militer lainnya di Sulawesi dan Jawa. “Dia banyak membantu saya memberikan jalan,” kata Eka dalam Matra.
Misalnya ketika Eka kembali berbisnis kopra pada 1957. Dia boleh memakai kapal tentara untuk mengangkut kopra.
Tapi bisnis minyak kopranya lagi-lagi bermasalah. Kali ini tersebab kemunculan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Tentara Permesta mengambil kopranya untuk kebutuhan tempur melawan ABRI.
Eka terpaksa menjual rumah dan tanah untuk menutup kerugian dan utang-utangnya. “Yang penting jangan sampai karena bangkrut, saya lari dari tanggung jawab,” terang Eka dalam Eksekutif.
Rugi 10 persen, untung 100 persen
Eka mengubah nama Tionghoanya pada 1967. Dia mengartikan 'Eka' sebagai yang utama, memakai 'Tjipta' untuk pengingat agar terus menghasilkan sesuatu, memilih 'Wi' karena bunyinya padan dengan 'Oei', dan membubuhkan 'Djaja' demi berharap kejayaan datang terus padanya.
Makna-makna nama itu perlahan maujud dalam bisnis Eka. Perubahan kebijakan ekonomi pada masa Orde Baru membuka peluang Eka untuk membangun ulang bisnisnya. Negara tak lagi jadi pengusaha dominan bidang ekonomi.
“Banyak peluang pada zaman Orde Baru itu berkaitan dengan diterimanya undang-undang liberal perihal investasi asing, dan dalam negeri, masing-masing pada 1967 dan 1968,” catat Ahmad D. Habir dalam “Konglomerat: Antara Pasar dan Keluarga” termuat dalam Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi.
Eka menangkap peluang itu dengan menanam investasi di bidang minyak kopra lagi pada 1969 melalui bendera perusahaan Bimoli (Bitung Manado Oil). Nilai investasi awalnya 800 juta rupiah.
Darimana modalnya? Bukankah Eka bangkrut berkali-kali?
Eka mengatakan kekuatan relasinya dengan tentara menjadi penyelamat. Saat bangkrut, dia menghubungi relasi tentaranya di Surabaya yang telah bercokol di perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi. Perusahaan-perusahaan itu memegang monopoli ekspor hasil bumi dan impor tekstil.
Baca juga: Inilah bidang-bidang usaha milik Belanda yang dinasionalisasi
Eka memperoleh kepercayaan mereka untuk menjual barang-barang hasil bumi tanpa bayar di muka. Dia meraup keuntungan dengan strategi unik. Dia menjual barang hasil bumi di bawah harga pasaran. Semisal harga pasaran 10 rupiah, dia jual 9,5 rupiah. Penjual lain tak ada yang berani jualan seperti itu. Maka pembeli berpaling ke Eka dan membayarnya kas.
Eka membelanjakan uang kasnya untuk bahan tekstil impor seharga 10 rupiah per meter, kemudian menjualnya 20 rupiah per meter. Dengan demikian, dia rugi 10 persen pada barang hasil bumi, tapi meraup untung 100 persen dari jualan tekstil.
“Dari uang ini baru saya bayar hasil bumi tadi—jagung, biji kapok, dan lain-lain. Saya mulai bisa kumpulkan untung, lalu saya pakai dagang kopra lagi,” beber Eka dalam Eksekutif.
Uang tersebut juga jadi modal pendirian CV Sinarmas pada 1960-an. “Untuk mengekspor komoditas dan impor tekstil,” catat Richard Borsuk dalam Liem Sioe Liong’s Salim Group: The Business Pillar of Suharto’s Indonesia.
Sinarmas berubah jadi PT, berkembang luas ke berbagai bidang, dan mempekerjakan 380 ribu orang. Juga menciptakan sisi baik dan buruknya ke beragam aspek. (Bersambung).