Setelan jas gelap, dasi, dan pantofel. Begitulah pilihan busana Eka Tjipta Widjaja untuk menghadiri urusan bisnis semasa hidup. Dari pergi ke kantor, bertemu relasi, menghadapi wartawan, sampai ke seminar. Kelihatan serius, formal, dan kaku. Tapi dengan gaya begitu pun dia masih bisa bikin ngakak lawan bicaranya.
“Kami ini disebut sebagai seorang konglomerat. Tapi, kami ini konglomerat yang banyak utang. Kami banyak usaha, tapi banyak utang juga. Dengan kata lain, besar usahanya besar juga utangnya,” kata Eka dalam suatu seminar pada 1991, seperti diceritakan oleh Dahlan Iskan dalam Eka Tjipta Widjaja Kisah dan Liku-likunya Menjadi Konglomerat.
Baca juga: Awal mula bisnis Eka Tjipta Widjaja
Kali lain pada 1992, Eka pernah ditanya wartawan tentang apa enaknya menjadi orang kaya. Saat itu kekayaannya telah mencapai 6 triliun rupiah. Dia menjawab tidak tahu. “Saya tidak merasa kaya… Selama ini saya merasa hidup sederhana saja. Kalau mau makan ada, mau nonton video ada. Itu saja,” kata Eka dalam Matra, No 66, Januari 1992.
Eka mengaku mempraktikan hidup sederhana. Waktunya habis untuk bisnis. Seringkali dia lupa berbelanja keinginan pribadi.
“Misalnya pada waktu saya sedang berada di Singapura untuk bisnis, uang di dompet saya hanya terpakai sejumlah kurang dari 100 dolar Singapura untuk memberi tip,” kata Eka dalam “Sejarah Perjuangan Eka Tjipta Widjaja Membangun Usaha Sinar Mas Group”, makalah pada seminar di Jakarta, 30 Januari 1995.
Emas yang berkilau
Eka lebih memilih menggunakan kekayaannya untuk perluasan bisnis perusahaan. Inilah yang terjadi ketika dia mendirikan CV Sinar Mas di Surabaya pada 1962. Saat itu inflasi cukup tinggi. Nilai uang turun-naik. Dia tak mau menyimpan uang dalam bentuk tabungan, melainkan investasi barang yang harganya stabil. Maka dia membeli emas batangan dari keuntungan perusahaan untuk berjaga-jaga.
“Karena emas selalu bertahan nilainya, dan selalu bersinar,” kata Eka. Inilah asal-usul dan makna nama Sinar Mas.
Dalam Liem Sioe Liong’s Salim Group: The Business Pillar of Suharto’s Indonesia, Richard Borsuk dan Nancy Chng menyebut tujuan pendirian Sinar Mas. “Untuk mengekspor barang hasil bumi dan mengimpor tekstil.” Hasil buminya termasuk kopra.
Baca juga: Liem Sioe Liong, taipan mie instan berpulang
Setahun kemudian Eka meluaskan bisnisnya ke Semarang dan Ujung Pandang. Dia juga membuka kantor di Jalan Pasar Pagi No. 118, Jakarta untuk memperkuat bisnis tekstil dan kopranya.
Eka tak selalu memperoleh pembayaran kas dari penjualan kopra. Ada juga bentuk pembayaran berupa kompensasi barang lain dari pembelinya. Semacam barter. Dia jual barang barteran ini ke tempat lain di mana barang tersebut berharga tinggi.
Strategi tersebut membuat Eka terus memperoleh untung. Dan ini mendorongnya untuk memutar kekayaannya dalam bentuk perluasan bisnis. Dorongan ini diperkuat oleh kebijakan ekonomi Orde Baru pada 1968 berupa Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri di berbagai bidang.
Eka menilai Undang-Undang tersebut sangat ramah pada pebisnis seperti dirinya. “Antara lain ada keringanan 4 sampai 5 tahun tax holiday (bebas pajak penghasilan bagi perusahaan, red.) dan semua mesin bebas bea masuk,” kata Eka dalam seminar 30 Januari 1995. Maka dia lekas mendirikan pabrik minyak goreng Bimoli (Bitung Manado Oil Limited) di Sulawesi Utara pada 1969.
Baca juga: Jejak pengampunan pajak
Modal pendirian Bimoli sekira 800 juta rupiah. “Ini modal saya sendiri,” kata Eka dalam Eksekutif, Mei 1989. Bimoli mampu menggiling 120 ribu ton kopra tiap tahun. Eka tak kesulitan memperoleh suplai kopra sebanyak itu. Sebab dia sendiri telah berpengalaman dengan hulu bisnis kopra sejak zaman pendudukan Jepang.
Selain modal uang, Eka juga menanam modal kepercayaan kepada relasi bisnisnya. Pernah suatu hari pada 1970-an, dia mengekspor kopra ke pasaran internasional melalui pelabuhan Belanda. Dia berharap dapat menjualnya seharga 230 dolar Amerika per ton. Tapi perantara kopra di Belanda hanya menghargainya 180 dolar per ton.
Karuan Eka kelimpungan. Dia sempat membayangkan kerugian menghampirnya. Tapi dia ingat punya seorang teman di Belanda, direksi perusahaan besar Unilever. Namanya Karel Veldhuis (Eka menulisnya dengan Valhuis, red.). Sayangnya tak ada penjelasan dari Eka bagaimana awal mula berkenalan dengan Veldhuis.
Eka menceritakan kesulitannya kepada Veldhuis. Arkian itu Unilever mengadakan rapat untuk membahas kemungkinan pembelian kopra dari Eka. Rapat mengumumkan bahwa mereka bersedia membeli kopra Eka seharga 200 dolar Amerika per ton. Kedua belah pihak pun bersepakat.
Baca juga: Inilah bidang-bidang usaha yang dinasionalisasi
Tapi tiba-tiba Eka menerima telepon dari seorang perantara lain. Tawaran dari perantara adalah 220 dolar Amerika per ton. Sesuai harapan Eka. Tapi dia justru bimbang. Antara menjual kopra ke peminat tertinggi atau tetap ke Veldhuis. Dia kabarkan tawaran perantara itu ke Veldhuis. Harapannya, Unilever mau membeli kopranya dengan harga yang sama.
“Kami mengadakan rapat untuk membicarakan pembelian kopra anda hanya bersifat menolong. Kalau anda bisa jual ke pihak lain kami tidak keberatan, silahkan,” kata Veldhuis kepada Eka. Jawaban Veldhuis menyadarkan Eka. Lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan relasi dan kepercayaan ke depannya.
“Saya langsung ambil keputusan untuk menjual kepada Unilever dengan harga 200 dolar Amerika per ton… Saya kehilangan uang, tetapi mendapat nama baik dan kepercayaan besar. Maka hubungan bisnis saya dengan Unilever, baik dalam kontrak kopra atau minyak kelapa lebih meningkat,” kata Eka.
Setelah itu Eka mencurahkan perhatian pada bisnis lainnya. Dia mengadakan bisnis patungan (joint venture) dengan orang Jepang, Hongkong, dan Singapura untuk mendirikan pabrik tekstil (Superbitex, Grandtex, dan Mertex), seng (Keris Mas), dan biskuit (United Biscuit Manufacturing).
Lupa nama perusahaan
Eka merambah bisnis baru pada 1974. Dia bergelut dengan kertas melalui pendirian pabrik Tjiwi-Kimia di Mojokerto. Dasar perambahan ini sederhana saja. Orang butuh kertas. Tidak pernah tidak butuh.
“Saya paling suka beli bahan-bahan yang saya produksi untuk kepentingan umum… Dalam kehidupan sehari-hari, you pasti membutuhkan kertas,” kata Eka dalam Matra.
Bisnis kertas Eka berkembang pesat. Dia mampu mengekspor kertas sebanyak 50 persen dari hasil produksi dalam negeri ke Amerika, Arab, Iran, dan Australia. Tak cukup bergelut dengan hulu bisnis kertas, dia pun menjajaki pula bisnis hilirnya, yaitu buku tulis.
Eka melihat peluang bisnis lain memasuki dekade 1980-an. Saat itu pemerintah mulai mengatur ulang kebijakan ekspornya. Yang dulunya bertumpu pada minyak dan gas, sekarang beralih ke ekspor nonmigas. Akhir dari perekonomian minyak Indonesia.
Baca juga: Pesawat Sukhoi rasa minyak sawit
Pemerintah mulai mengalihkan pertumbuhan ekonomi melalui dua sektor: perkebunan dan perbankan. Eka masuk dua sektor ini sekaligus dengan membeli lahan sawit di Riau dan akuisisi Bank International Indonesia (BII). Kelak sawit Sinar Mas Group menjadi sumber pemasukan terbanyak, sekaligus juga mengundang kritikan. Utamanya terkait perusakan lingkungan dan kebakaran hutan.
Pundi-pundi kekayaan Eka terus bertambah. Tapi dia mengaku tak sekaya Liem Sioe Liong (Grup Salim), William Soerjadjaja (Grup Astra), dan Ciputra. "Saya memang tidak miskin, tapi kalau dibandingkan dengan mereka, saya kalah. Hahaha," kata Eka.
Baca juga: William Soeryadjaya menggapai bintang di langit
Kian hari, perusahaan Eka kian banyak. Hingga mencapai puluhan, lalu ratusan. Sampai-sampai dia tak ingat lagi nama-namanya. “Saya sendiri tidak tahu kalau perusahaan ini saya punya, hahaha,” terang Eka.
Pada waktu senggangnya dari bisnis, Eka sering membaca buku. “Tapi yang paling saya suka adalah sejarah… Saya belajar dari sejarah. Saya berangan-angan untuk menjadi manusia berguna di masyarakat. Karena waktu kita hidup ini singkat, jadi jangan habiskan cuma-cuma,” kata Eka dalam Eksekutif.
Eka wafat pada 26 Januari 2019. Jenazahnya dimakamkan pada 2 Februari 2019. Kini dia telah menjadi sejarah dalam dunia bisnis dan ekonomi Indonesia. Giliran orang lain untuk membaca sejarahnya.