Gubernur Anies Baswedan menggembar-gemborkan akan menghidupkan kembali rute becak di Jakarta. Rencananya kendaraan roda tiga bertenaga manusia ini dipersiapkan sebagai moda transportasi lingkungan. Wacana Anies memantik perdebatan. Pasalnya, setelah sekian lama becak menjadi kendaraan terlarang di ibukota.
Mundur setengah abad silam, keberadaan becak telah merisaukan Ali Sadikin ketika baru menjabat gubernur Jakarta. Dalam artikel bertajuk “Laporan buat Bang Dikin” yang dimuat majalah Selecta tahun 1969, jumlah becak di Jakarta berjumlah 110.000 sedangkan ruas jalan yang dapat dilalui kendaraan sepanjang 921 km. Itu berarti setiap sembilan meter ruas jalan terdapat satu becak. Menghadapi kenyataan demikian, tentu saja Bang Ali harus putar akal.
“Soal becak sebenarnya sudah agak lama terasa, bahwa hal itu harus terus ditertibkan. Tak bisa dibiarkan terus begitu seperti adanya, sementara jumlah kendaraan naik terus. Pemerintah DKI harus menertibkannya,” tutur Ali dalam otobiografinya Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan K.H.
Pada 1970, Ali Sadikin menyatakan Jakarta sebagai “kota tertutup”. Saat itu, dimulailah operasi pembersihan jalan dari orang-orang yang memiliki pekerjaan berbasis jalanan seperti tukang becak dan pedagang keliling. Tahap demi tahap, Ali Sadikin mencetuskan berbagai kebijakan untuk menghilangkan becak dari Jakarta.
Pada 16 Mei 1970, Ali Sadikin mengeluarkan instruksi: melarang memproduksi dan memasukkan becak ke Jakarta. Dalam ketentuan ini, becak yang boleh beroperasi harus punya izin lewat prosedur pendaftaran. Tahun berikutnya, Pemda Jakarta menetapkan sejumlah jalan utama dan jalan lintas ekonomi yang tak boleh dilewati becak. Polisi bahkan dikerahkan guna menggerebek becak-becak yang berada di daerah terlarang dan menyita kendaraannya.
Pelarangan becak menjadi legal setelah Peraturan Daerah (Perda) No 4/1972 menetapkan becak sama dengan oplet, bukan jenis kendaraan yang layak untuk Jakarta. Perda itu sekaligus menetapkan bahwa Jakarta hanya mengenal empat jenis angkutan umum: kereta api, bus, taksi, dan angkutan roda tiga bermesin.
Prakarsa Ali menuai hasil yang cukup signifikan. Dalam waktu singkat, jumlah becak di Jakarta menyusut tajam dari 160.000 menjadi 38.000 buah. Sudah barang tentu yang paling kena imbas dari keputusan Ali Sadikin adalah mereka “abang-abang becak”.
“Saya masih sakit hati, Ali Sadikin terlalu mementingkan orang-orang kaya, sedangkan becak digusur terus. Jalan-jalan memang tambah mulus, tapi rakyat tambah kurus,” ujar Kasim, seorang tukang becak yang sudah “narik” selama 14 tahun dikutip Tempo, 18 Juni 1977. “Saya ingin seperti (zaman) Soekarno dulu, saya bisa bebas mencari nafkah tidak seperti sekarang, dimana-mana digencet,” keluh Kasim.
Ali Sadikin memahami, tindakan Pemda Jakarta terasa berat oleh para pengemudi becak. Di sisi lain, tak bisa dimungkiri, banyaknya becak di tengah kota menimbulkan beragam macam masalah. Keputusan menertibkan becak harus diambil untuk memperlancar lalu lintas dan untuk mengamankan jiwa pemakai jalan, termasuk jiwa para pengemudi becak sendiri.
“Dan kalau lalu lintas Jakarta macet, semua pihak merugi. Lalu lintas di Jakarta harus lancar. Saya harus terus mengusahakan soal ini, dari hari ke hari,” kata Ali Sadikin.
Becak dalam Wajah Ibukota
Bagi Ali Sadikin penertiban pelarangan becak bukan sekadar mengatasi persoalan lalu lintas. Dia menyadari betul ada permasalahan sosial di balik keberadaan tukang becak di Jakarta. Dalam salah satu edisinya, majalah Ekspress tahun 1970 mengupas becak sebagai salah satu “penyakit” di ibukota.
“Tukang becak termasuk pengangguran tidak kentara (disguised unemployment). Dalam perkotaan, besar sekali masalahnya,” tulis Ekspress.
Menurut sejarawan Susan Blackburn, ada dua alasan mendasar, mengapa Ali Sadikin tak menghendaki becak berkeliaran di Jakarta. Pertama, pekerjaan macam tukang becak menampung imigran dalam jumlah besar. Jika profesi tukang becak diberantas, maka akan menekan laju urbanisasi. Hal ini dapat menjadi cara mengatasi persoalan demografi Jakarta yang padat penduduk. Kedua, para pekerja ini tak sesuai dengan gambaran Jakarta sebagai kota metropolitan yang baru.
“Para penarik becak memenuhi jalan, memperlambat aliran lalu lintas kendaraan bermotor dan memperlihatkan secara sekilas gambaran yang memalukan atas teknologi bertenaga manusia yang tersembunyi di balik wajah teknologi modern Indonesia,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.
Hiruk pikuk serupa juga dialami penyair-cum-sejarawan Zeffry Alkatiri kala becak memenuhi jalanan Jakarta. Dalam bukunya Pasar Gambir, Komik Cina dan Es Shanghai: Sisik Melik Jakarta 1970-an, dia mengenang Jakarta menjadi macet sebab pertambahan becak tidak pernah terdaftar. Di setiap perempatan atau pertigaan, becak menguasai jalanan, sehingga menimbulkan kemacetan. “Malah kasihan melihat tukang becaknya yang ngos-ngosan genjot pedal becaknya,” ujar Zefry.
Dalam skema Ali Sadikin, zona yang telah bebas becak akan dialihkan kepada bemo. Dan untuk menggantikan becak, diperkenalkan bajaj –kendaraan penumpang kecil buatan India dengan mesin dua tak. “Bahwa pada suatu saat nanti, bemo pun harus menyisih juga. Dan bemo akan harus diganti oleh kendaraan yang lebih menyenangkan lagi. Begitu terus. Semua menghendaki perbaikan,” tutur Bang Ali.
Meski demikian, ternyata becak tak jua lenyap dari Jakarta. Hingga Ali Sadikin mengakhiri kepemimpinannya, becak tetap bertahan di jalanan ibukota walau harus menyingkir ke kawasan pinggiran. Transportasi bis yang hanya beroperasi di jalan-jalan utama tak memadai permintaan kebutuhan pengangkutan masyarakat, khususnya untuk jarak dekat. Selain itu, mayoritas penarik bacak tak mampu memperoleh surat izin mengemudi dan membayar sewa bajaj.
Bertahun berselang, Ali Sadikin mengakui, sebagai cara untuk mengais rejeki di ibukota, memang tak mudah untuk menghapuskan becak. Menurut Ali, nasib tukang becak dan pemilik becak mesti diselesaikan terlebih dahulu baru becak bisa dihapuskan. Namun, Bang Ali –yang digadang-gadang sebagai gubernur terbaik Jakarta– konsisten terhadap keputusannya terdahulu. “Jangan mau jadi kuli becak begitu, kalau kita mau mempertahankan kehormatan bangsa ini,” sebagaimana dikutip dalam salah satu edisi Tempo tahun 1990.
Kelemahan Ali Sadikin itu kemudian dituntaskan oleh gubernur-gubernur selanjutnya yang tetap menyisipkan penertiban bacak ke dalam agenda penataan kota. Lantas, dengan menghadirkan lagi becak di Jakarta, apakah Anies telah belajar dari para pendahulunya?