SETELAH Papua diduduki oleh tentara Sekutu, pemerintahan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) pada 1944 memegang kendali pemerintahan di sana, termasuk urusan pendidikan. Residen JP van Eachoed lalu membangun sekolah sekolah kedinasan di sana. Namanya Papua Bestuur School (PBS, Sekolah Pegawai Papua). Uniknya, salah seorang gurunya merupakan Digulis (bekas orang buangan di Kamp Tanahmerah, Boven Digoel) bernama Soegoro Atmoprasodjo.
PBS mendidik pemuda-pemuda Papua. Di antara siswa PBS itu ada Frans Kaisiepo dan adiknya Marcus Kaisiepo.
Pemuda Frans punya perhatian besar terhadap masyarakat dan urusan politik. Hal-hal kecil namun fundamental tak lepas dari pengamatannya. Lantaran itulah dia menjadi gelisah.
“Ia tidak setuju dengan papan nama kursus/sekolah yang bertuliskan Papua Bestuur School. Karena itu ia menyuruh saudaranya, Marcus Kaisiepo untuk mengganti dengan nama Irian Bestuur School,” tulis Pius Suryo Haryono dalam Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo.
PBS terletak di tepi Danau Sentani. Di dekatnya terdapat sebuah bandara yang kini masih dipakai, Bandara Sentani. Daerah sekitarnya, Dataran Makanwai, disebut orang Belanda sebagai Kota Nica.
Kota Nica, disebut Herman Renwarin dan John Pattiara dalam Sejarah Sosial Daerah Irian Jaya: dari Hollandia ke Kotabaru, 1910-1963, merupakan daerah permukiman yang dibangun orang-orang NICA. Pembangunannya berlangsung setelah tentara Jepang di sana dikalahkan tentara Amerika Serikat. Sejak April 1944, Papua praktis diduduki tentara Amerika. NICA yang datang kemudian lalu mendapatkan untungnya, berkuasa di sana.
“Meskipun Perang Besar di medan, Amerika menanggung sengsara, Kota Nica ramailah,” demikian bunyi penggalan lagu yang pernah ada di Sentani.
Kota Nica sempat dijadikan sebagai pusat Keresidenan Papua Belanda. Mulanya ada orang Amerika di Kota Nica, namun orang Belanda mendominasi. Koran De Telegraaf tanggal 14 Maret 1950 menyebut, setelah orang Amerika pergi, Jawatan Perhubungan dan Pekerjaan Umum Belanda mengelola Kota Nica.
Berbagai sarana dan prasarana pun dibangun NICA. Termasuk sebuah stasiun percobaan. Selain itu, Kota Nica seperti hendak mencetak pekerja pertanian pula. Koran Friese Courier tanggal 15 Mei 1954 menyebut, orang Papua dididik di Kota NICA soal pertanian. Tak hanya dengan cara manual tapi juga diajari bagaimana cara memakai traktor atau mesin pertanian modern lain. Belakangan, kursus pengawas pertanian diadakan di sana. Koran Nieuw Guenea Kourir edisi 19 Agustus 1959 mengiklankan rekrutmen siswa untuk kursus pengawas pertanian. Syarat yang diminta untuk menjadi siswa di sana yakni sudah pernah mendapat pendidikan dasar menengah. Mereka yang berminat, dipersilakan mendaftar ke kantor kepala pertanian di Dok II, Jayapura.
Menurut Nieuw Guenea Kourir tanggal 4 Maret 1961, Kota Nica pernah punya penduduk sebanyak 40.000 jiwa. Di masa perang, pekerja paksa (romusha) pun pernah dibawa Jepang ke sana. Lalu, Batalyon Papoea didirikan pasukan Amerika di sana dan diteruskan Belanda.
Namun, residen Papua Belanda hanya berkantor di Kota Nica sampai tajhun 1946. Setelah 1946, Kota Nica ditinggalkan sebagai pusat pemerintahan. Hollandia (kini Jayapura) dipilih menjadi pusat, berlangsung hingga kini.
“Kota Nica lambat laun berubah menjadi pusat kegiatan pertanian pemerintah yang juga sekarang dikenal dengan nama Kampung Harapan,” Herman Renwarin dan John Pattiara.
Perubahan nama itu terjadi setelah Papua dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia. Presiden Sukarno gemar mengganti nama berbau Belanda dengan nama khas Indonesia. Kota Nica jelas berbau Belanda dan Kampung Harapan jelas berbau Indonesia.
Seiring perubahan dari Kota Nica menjadi Kampung Harapan dan perkembangan yang mengikutinya, PBS juga berganti nama, kurikulum dan format pendidikannya hingga kemudian menjadi cikal-bakal Universias Cendrawasih di Abepura. Salah satu lulusannya, Frans Kaisiepo, lalu berkiprah dalam perpolitikan tanah air hingga menjadi gubernur Irian Jaya di era pemerintahan Soeharto. Kini, namanya diabadikan menjadi nama bandara di Biak.