Vonis mati itu jatuh pada malam Natal 1966. Si terhukum, Laksamana Madya Omar Dani, mantan Menteri/Panglima AURI berdiri tegap mendengarkan putusan hakim. Sorot matanya nanar. Sesekali dia menggigit rahang seolah pasrah menahan rasa pahit. Mahkamah Milliter Luar Biasa (Mahmilub) mendakwa Dani melakukan perbuatan makar. Di saat yang sama, umat Islam sedang menunaikan ibadah puasa karena sedang bulan suci Ramadan.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar,” Omar Dani haya bisa berseru demikian dalam batin waktu vonis dibacakan sebagaimana terkisah dalam biografinya Tuhan Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku yang disusun Benedicta Surodjo dan J.M.V. Soeparno. Sembari menanti eksekusi hukuman mati, Omar Dani pun dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTN) Nirbaya, Jakarta Timur.
Baca juga: Omar Dani, Sukarno Kecil dari AURI
Tahun silih berganti. Memasuki tahun 1975, Omar Dani belum juga dihadapkan ke gerombolan regu tembak. Sementara itu, seorang penghuni baru memasuki RTM Nirbaya. Mochtar Lubis namanya, pemimpin redaksi surat kabar Indonesia Raya. Mochtar dipenjara karena pemberitaan Indonesia Raya yang kritis terhadap peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Dia diangggap menyudutkan pemerintah, sehingga Presiden Soeharto pun marah. Mochtar yang kena apesnya.
Di RTM Nirbaya, Mochtar dan Dani berkawan akrab. Paviliun tempat mereka mendekam bersebelahan. Keduanya kerap kali bercengkrama. Mochtar mengenang bahwa Omar Dani semasih berpangkat letnan udara pernah menjadi instruktur terbangnya waktu belajar di Aeroclub beberapa tahun silam. Pada malam hari, Mochtar dan Dani makan bareng bersama tahanan Gestapu lainnya. Suasana persahabatan sangat terasa diantara mereka.
Baca juga: Omar Dani, Kisah Tragis Panglima Sukarnois
“Saya makan bersama Jenderal Pranoto, Laksamana Omar Dani, Soemardjo, Syukur, Danu, Aji. Semuanya mengumpul makanan dari rumah (paviliun tahanan), dan dimakan bersama-sama sebagai satu keluarga,” kenang Mochtar Lubis dalam memoarnya Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru.
Lama bergaul di tahanan, Mochtar jadi paham betul kebiasaan dan pergumulan yang dialami Omar Dani. Kepada Mochtar, Dani menuturkan setiap malam menjelang tidur, dirinya selalu berdoa. “Agar Tuhan menguatkan hati saya, jika di tengah malam pintu diketuk dan saya dibangunkan ke tempat penembakan mati,” demikian munajat Dani.
Baca juga: Misteri Pembela Omar Dani
“Aduh sayang, aku amat terharu mendengar kata-katanya yang diucapkan dengan amat tenang,” kata Mochtar Lubis kepada istrinya, Siti “Hally” Halimah dalam catatan harian bertanggal 2 April 1975.
Cobalah bayangkan, ungkap Mochtar, selama 9 ahun, Omar Dani menyiapkan dirinya menghadapi peluru yang akan merenggut nyawanya. Saban malam, Dani mengucapkan selamat tinggal dan mendoakan keselamatan. Alangkah kuat jiwanya.
Baca juga: Omar Dani Tak Gentar Pulang
Kepada Hally, Mochtar menyatakan rasa hormatnya kepada Dani. Rasa simpati mendorong Mochtar untuk berdoa agar Tuhan mengampuni kesalahan Dani. Mochtar juga berharap agar penguasa Orde Baru mengembalikan Dani kepada keluarganya.
“Penderitaannya selama sembilan tahun seharusnya dapat diterima sebagai tahanan bagi segala apa yang dituduhkan kepadanya,” kata Mochtar.
Doa dan harapan itu baru terjawab dua puluh tahun kemudian. Pada 1995, pemerintah membebaskan beberapa tahanan politik, termasuk Omar Dani yang sudah hampir tiga puluh tahun mendekam dalam bui. Dani yang telah sepuh itupun luput dari bidikan regu tembak.