Masuk Daftar
My Getplus

Penculikan Kepala Stasiun CIA

Pernah melatih agen intelijen Indonesia. Kepala stasiun CIA ini diculik dan dibunuh.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 01 Feb 2020
Letnan Kolonel William F. Buckley, Kepala Stasiun CIA di Lebanon yang diculik dan dibunuh. (arlingtoncemetery.net).

Pada pertengahan 1983, Letnan Kolonel William Francis Buckley menjabat Kepala Stasiun CIA dengan menyamar (cover) sebagai pejabat urusan politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut, Lebanon.

Buckley ditugaskan untuk membantu Lebanon mengembangkan metode menghadapi terorisme. Dia juga berusaha membangun kembali intelijen Amerika Serikat setelah pemboman Kedutaan Besar Amerika Serikat beberapa bulan sebelumnya. Serangan itu menewaskan 17 orang Amerika, termasuk Robert C. Ames, kepala analis CIA Timur Tengah, dan beberapa petugas CIA.

“Satu sumber mengatakan Buckley dipilih untuk tugas berbahaya karena dia tidak punya keluarga,” tulis Bob Woodward dan Charles R. Babcock di Washington Post, 26 November 1986.

Advertising
Advertising

Namun, menurut cia.gov, 14 Maret 2014, Buckley mengajukan diri menjadi Kepala Stasiun CIA di Lebanon setelah pemboman Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut tahun 1983, serangan paling mematikan dalam sejarah CIA. Dia menyadari ancaman besar di Beirut, termasuk ancaman terhadap pejabat-pejabat Amerika Serikat lainnya yang ditempatkan di sana. Dia pun segera fokus ke misi utama: melawan para teroris yang telah merenggut nyawa beberapa anggota CIA serta rekan-rekan dari Departemen Luar Negeri dan militer.

Baca juga: Kegagalan Kepala Stasiun CIA di Jakarta

Buckley lahir di Medford, Massachusetts, pada 30 Mei 1928. Lulus dari sekolah menengah pada 1947, dia bergabung dengan Angkatan Darat. Setelah dua tahun bertugas di Polisi Militer, dia mengikuti pendidikan Officers Candidate School. Dia melanjutkan pendidikan militernya di Engineer Officer Course di Fort Belvoir, Virginia; Advanced Armor Officer Course di Fort Knox, Kentucky; dan sekolah intelijen di Oberammergau, Jerman Barat.

Selama Perang Korea (1950-1953), Buckley menjadi komandan kompi 1st Cavalry Division. Setelah perang, dia kembali ke Amerika Serikat untuk menyelesaikan studi dalam bidang ilmu politik di Universitas Boston. Dia sempat bekerja sebagai pustakawan di perpustakaan umum Concord, Winchester, dan Lexington.

Buckley bergabung dengan CIA pada 1955 hingga 1957. Dia kemudian kembali ke militer. Pada 1960, dia bergabung dengan 320th Special Forces Detachment, yang menjadi 11th Special Forces Group, dan mengikuti pelatihan Basic Airborne dan Special Forces Officers Course. Dia ditugaskan menjadi komandan A-Detachment, kemudian komandan B-Detachment.

Buckley kemudian bertugas di U.S. Military Assistance Command Vietnam (MACV) sebagai penasihat senior Tentara Vietnam Selatan. Akhirnya, pada 1965, Buckley bergabung kembali dengan CIA dan bertugas di beberapa negara.

Dalam cia.gov disebut bahwa Buckley adalah salah satu petugas CIA yang memahami perkembangan ancaman terorisme internasional. Pada akhir 1970-an, misalnya, dia membantu membangun Incident Response Team dan Counterterrorism Group, cikal bakal Counterterrorism Center.

“Tugasnya membawanya ke seluruh dunia, karena tidak ada misi yang akan ditolak Buckley,” tulis cia.gov. Termasuk ke Indonesia.

Baca juga: Intel Indonesia Dilatih CIA

Dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, Ken Conboy menyebut bahwa CIA memberikan pelatihan kepada agen-agen Indonesia tentang metode intelijen sejak akhir tahun 1960-an. Tetapi, pada Agustus 1976, CIA mengubah tema pelatihan dan menawarkan kursus kontraterorisme kepada duabelas siswa Indonesia. Segera topik melawan terorisme menjadi hal yang ditekankan CIA dalam setiap pelatihan yang diberikan pada tahun itu, seperti kelas “Perlindungan VIP” serta “Ancaman dan Respons Peralatan Terorisme” yang diberikan  selama tiga bulan berikutnya.

“Tema kontraterorisme ini selama empat tahun tetap menjadi tema sentral pelatihan yang diberikan CIA,” tulis Conboy.

Pada Oktober 1979, sebagai bagian dari kursus “Perlindungan VIP”, CIA melakukan latihan penyergapan kendaraan di lingkungan markas besar Bakin (kini, BIN) yang sedang dibangun di Pejaten, Jakarta Selatan. Bakin secara resmi pindah ke sana pada 1980 hingga sekarang.

Hingga tahun 1980, lanjut Conboy, lima kursus terpisah yang berhubungan dengan kontraterorisme telah diajarkan instruktur CIA, yang menilai bahwa “para siswa Indonesia (gabungan Bakin dan militer) adalah siswa asing tercakap yang pernah mereka didik selama ini”.

Baca juga: Intel Indonesia Dilatih Intel Israel

Salah satu hambatan kecil terjadi ketika siswa Indonesia mengikuti keahlian “Perlindungan VIP” dan berlatih menggunakan senjata merek Uzi. Penggunaan senjata buatan Israel itu agak mengundang kontroversi, karena walaupun Mossad diam-diam telah memberikan bantuan periodik kepada Bakin sejak 1969, namun tetap saja menyetok senjata buatan Israel dipandang sebagai isu yang terlalu sensitif secara politik.

“Tak kalah akal, CIA menghubungkan Bakin dengan si pedagang senjata asal Philadelphia yang memasok Uzi yang diminta –dan dengan senang hati menempelinya dengan merek pengganti, nama sebuah perusahaan di Potomac, Virginia,” tulis Conboy.

Menurut Conboy, salah satu kursus yang diajarkan pada 1980 adalah “Manajemen Insiden” dibimbing oleh William Buckley. Empat tahun kemudian, ketika bertugas sebagai Kepala Stasiun CIA di Beirut, dia diculik dan dibunuh oleh ekstremis Islam.

Bintang William Francis Buckley berada di urutan ke-51 pada Memorial Wall. (cia.gov). 

Buckley Diculik

Pada 16 Maret 1984, Buckley diculik dalam perjalanan ke tempat kerja oleh kelompok yang menamakan dirinya Islamic Jihad.

“Yang pertama dari apa yang akan menjadi serangkaian penculikan orang Amerika,” tulis Woodward dan Babcock. “Di kantor pusat CIA di Langley, rekan-rekan Buckley menyaksikan tanpa daya ketika ahli terorisme mereka menjadi korban terorisme.”

Teroris mungkin mencurigai identitas asli Buckley dan menjadikannya sasaran penculikan. Buckley sering membawa walkie-talkie di Beirut dan hampir setiap hari pergi ke markas besar badan intelijen Lebanon, sehingga dia bisa diikuti.

Bagi CIA, pencarian Buckley menjadi semacam Perang Salib. Namun, pejabat CIA sendiri tidak yakin upaya penyelamatan akan berhasil. Setelah satu bulan bekerja, CIA dibantu tim FBI yang terlatih, gagal menemukannya.

Baca juga: Agen KGB di Indonesia Dieksekusi Mati

Buckley meninggal dunia setelah disiksa dalam waktu lama. Para penculik pertama kali mengumumkan dia meninggal pada 4 Oktober 1985. Dalam sebuah pernyataan yang dirilis di Beirut awal November 1986, para penculik menegaskan bahwa Buckley telah “dieksekusi” setelah “mengaku” bekerja untuk CIA. Mereka juga mengklaim memiliki pernyataan Buckley yang ditulis tangan dan direkam video.

“CIA memperoleh bukti tak terbantahkan bahwa Buckley telah disiksa dan, setelah awalnya menolak, akhirnya menyerah dan mengungkapkan informasi tentang operasi CIA,” tulis Woodward dan Babcock.

Berbeda dengan pengumuman para penculik, pemerintah Amerika Serikat menyatakan Buckley meninggal dunia pada 3 Juni 1985. “Tahun itu CIA mengadakan upacara peringatan dan memberikan penghargaan dengan bintang di Memorial Wall dan Distinguished Intelligence Cross, penghargaan tertinggi CIA,” tulis cia.gov.

Baca juga: CIA Bikin Film Porno Mirip Sukarno

Bintang Buckley berada di urutan ke-51 pada Memorial Wall. Hingga tahun 2019, ada 133 bintang di Memorial Wall: 94 bintang namanya disebutkan dalam Book of Honor, sedangkan 39 bintang tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan nasional.

Pada 13 Mei 1988, Buckley secara simbolis dimakamkan di Pemakaman Nasional Arlington dengan penghormatan militer penuh. Jenazahnya baru ditemukan pada 27 Desember 1991 oleh Mayor Jens Nielsen, tentara Kerajaan Denmark, yang bertugas di United Nations Observation Group Beirut. Jenazahnya dikembalikan ke Amerika Serikat pada 28 Desember 1991, dan dimakamkan di Bagian 59, Lot 346 Pemakaman Nasional Arlington.

TAG

intelijen cia

ARTIKEL TERKAIT

Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Perjuangan Kapten Harun Kabir Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Mata Hari di Jawa M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado D.I. Pandjaitan dan Aktivis Mahasiswa Indonesia di Jerman Sukarno, Jones, dan Green Sepak Terjang Spion Melayu Adam Malik Sohibnya Bram Tambunan Operasi Monte Carlo, Misi Intelijen Koes Bersaudara