LAGU kebangsaan “Indonesia Raya” jadi senandung paling familiar di kuping orang Indonesia. Lagu yang diperdengarkan di acara-acara setingkat RT hingga Istana Negara itu turut menggambarkan perjalanan sejarah Indonesia yang majemuk, termasuk.
Lagu yang digubah Wage Rudolf Supratman, pemain biola cum wartawan suratkabar Sin Po, pada 1924 itu pertamakali direkam dalam bentuk piringan hitam oleh seorang peranakan Tionghoa bernama Yo Kim Tjan (Johan Kertayasa) pada 1928. Sebelumnya, usai diperdengarkan pertamakali di Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, “Indonesia Raya” diangkat lengkap dengan partitur dan liriknya oleh Sin Po di edisi 10 November 1928.
“Judulnya saat itu masih ‘Indonesia’. Zaman sekarang di media-media sosial banyak yang mengakui itu salah satu lagu kebangsaan terindah. Lagunya baru pada tahun 1929 diubah menjadi ‘Indonesia Raya.’ Lalu tahun 1950 muncul gagasan untuk merekam dan mengaransemennya dengan simfonik lengkap,” terang musisi Addie Muljadi Sumaatmadja dalam webinar “Tionghoa dalam Alunan Musik Klasik, Pop, & Jazz” yang digagas Roemah Bhinneka Surabaya, Senin (16/11/2020) malam.
Baca juga: Jalan Panjang Indonesia Raya
Orang yang kemudian mengaransemen dengan orkestra lengkap adalah komposer Belanda Jozef “Jos” Cleber. Dituliskan antropolog Universitas Leiden Bart Barendregt dalam Recollecting Resonances: Indonesian-Dutch Musical Encounters, Cleber menginjakkan kaki di Indonesia kala revolusi kemerdekaan masih berkecamuk.
“Cleber tahun 1948 ke Indonesia untuk mendirikan Cosmopolitan Orkest di Radio Batavia; suatu ensemble unik yang memang sesuai namanya karena anggota orkes itu berasal dari 10 bangsa menurut kewarganegaraannya. Cleber inilah yang tahun 1950 didekati kepala RRI saat itu (Jusuf Ronodipuro, red.) untuk membuat aransemen lagu kebangsaan Indonesia,” ungkap Barendregt.
Baca juga: Komponis Belanda Aransemen Indonesia Raya
Bertolak dari rekaman Yo Kim, aransemen Cleber mengalami tiga kali revisi sebelum akhirnya mendapat lampu hijau dari Presiden Sukarno. Menurut Addie MS, suatu ketika Bung Karno sampai hampir mematahkan piringan hitam masternya saking tidak puasnya pada hasil aransemen pertama dan kedua.
“Bung Karno enggak puas. Buat dia, ‘Indonesia Raya’ enggak boleh pakai ornamen terlalu banyak. Harus formal. Saya sendiri kagum bagaimana seorang Bung Karno, negarawan dan insinyur, tapi cita rasa seninya luar biasa. Dia tahu ini gaya pop, gaya hiburan. Bayangkan kalau tidak ada langkah itu, ‘Indonesia Raya’ sekarang mungkin amat berbeda dan tidak semegah sekarang,” sambung komposer dan konduktor Twilite Orchestra itu.
Setelah ada lampu hijau Sukarno, “Indonesia Raya” direkam Cleber di RRI pada 1951. “Proses mastering-nya di Philips, Belanda. Rekaman itu yang dipakai puluhan tahun kemudian. Sampai suatu ketika tahun 1995, saya merasakan mulai banyak lagu dengan rekaman digital. Lalu ‘Indonesia Raya’ yang sakral itu harus bersanding lagu-lagu pop dll. yang jauh lebih jernih suaranya. Karena (‘Indonesia Raya’) rekaman analog, kan kalau diperbanyak ada penurunan kualitas, makin banyak noise-nya. Jadi enggak jernih dan mulai terdengar ‘kresek-kresek,’” tambah Addie MS.
Meremajakan "Indonesia Raya"
Ketika sudah mendirikan Twilite Orchestra, Addie prihatin terhadap kondisi “Indonesia Raya”. “Buat saya, ya bingung saja. Kalau kita lihat bendera sudah robek atau kusam pasti kita ganti. Juga lambang negara kalau sudah potel-potel, kita ganti. Tapi ‘Indonesia Raya’ ini sudah out-of-date tapi enggak ada yang peduli,” ujarnya.
Berangkat dari keprihatinannya itu, sekira tahun 1996, Addie berinisiatif menghadap Mensesneg Moerdiono. Dia meminta “Indonesia Raya” diremajakan.
“Saya ngomong sama Pak Murdiono, saya engak pikir honor apa segala macam. Hanya malu sebagai warga negara kok lagu kebangsaannya begini,” lanjutnya.
Baca juga: Indonees Indonees bukan Indonesia Raya
Permintaannya disetujui. Peremajaan pun dilakukan tak lama kemudian.
“Tapi setelah saya coba, hasilnya enggak maksimal. Akhirnya tahun 1997 saya punya kenalan, Pak Youk Tanzil, pebisnis dan juga pengelola Teater Tanah Airku. Keperluannya beliau minta lagu ‘Indonesia Raya’ untuk sebuah video presentasi. Saya bilang, rekaman hanya di RRI yang sudah ‘kresek-kresek’ ya malulah. Saya bilang, Bapak kan banyak duit, sumbanglah buat bangsa dan negara, sementara saya sanggup untuk mengawal,” kata Addie mengenang.
Youk pun menyanggupi untuk mengongkosi misi Addie ke Melbourne guna keperluan aransemen dan Sydney untuk proses mixing dan mastering pada medio 1997. Di Australia itu, Addie berkolaborasi dengan Victoria Philharmonic Orchestra.
“Lalu masuk 1998 krisis moneter. Tapi walaupun semua ongkosnya melangit karena dolar nilainya meninggi, Pak Youk bilang, selesaikan. Itu kita sampai dua kali mengulang rekaman bersama 60 musisi. Sampai akhirnya enggak hanya ‘Indonesia Raya’ yang direkam. Kita sertakan juga lagu-lagu perjuangan lain yang akhirnya jadi satu rekaman CD,” imbuhnya.
Menurut Addie, dia tidak mengaransemen ulang lagu-lagu tersebut. “Makanya kita sebutnya peremajaan karena orang mengira Addie MS mengaransemen ulang. Tidak. Itu tetap aransemen Jos Cleber. Karena ada aturan PP (nomor) 44 tahun 1958, di situ diatur soal aransemen. Tidak boleh diubah. Kami hanya merekam ulang dengan aransemen yang sama, kemudian mengemasnya dengan tata suara semaksimal mungkin,” kata Addie.
Baca juga: Dari Timbul Lahirlah Indonesia Raya
Ada satu cerita haru di masa itu yang dikenang Youk. Emosinya tersayat lantaran di tengah masa sulit itu dia memilih mendermakan sisa tabungannya untuk meremajakan lagu-lagu kebangsaan-perjuangan, sementara di Jakarta pada 1998 itu etnis Tionghoa dijadikan sasaran huru-hara.
“Saya sempat nangis dua kali waktu di Sydney. Saya sedang duduk di sebelah Addie yang lagi mixing lagu ‘Bagimu Negeri’. Lagu itu seperti pedang menusuk hati ya. Itu perih sekali dan saya benar-benar enggak bisa tahan air mata. Saya nangis sesenggukan sampai Addie berhenti mixing,” kenang Youk yang juga jadi narasumber tamu di webinar yang dipandu sejarawan Didi Kwartanada itu.
“Saya dilihatin sama Addie. Dia tanya kenapa saya nangis? Salah dia apa? Saya bilang: ‘Kamu enggak salah apa-apa, Di. Aku iki lho Cino tapi kok ya bisa gawe iki (aku ini Tionghoa tapi bisa ikut membuat karya ini, red.)’. Saya terharu dengan apa yang saya miliki dengan segala keterbatasan, saya bisa berpartisipasi dalam merekam kembali lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’,” tambahnya.
Peremajaan lagu-lagu perjuangan itu, termasuk “Indonesia Raya”, akhirnya rampung dan dikemas jadi satu album bertajuk Simfoni Negeriku. Agar bisa diperdengarkan ke ruang-ruang publik, Addie dan Youk mempercayakan pendistribusiannya pada Johannes ‘Ook’ Soerjoko, peranakan Tionghoa pemilik label Aquarius Musikindo.
“Jadi kalau bicara orang Tionghoa, wow luar biasa...'Indonesia Raya' itu...orang Indonesia enggak banyak tahu. Take it for granted, seolah jatuh dari langit. Padahal itu malah diperjuangkan dengan keberanian di masa awal oleh para pendahulu kita dan Pak Youk dengan keberaniannya mengeluarkan dana untuk sesuatu yang non-komersil. Jadi setelah ‘Indonesia Raya’ pertama direkam orang Tionghoa, dimuat di media Tionghoa (Sin Po), diremajakan dengan support orang Tionghoa juga,” sambung Addie.
Sebagai pendana, Youk mengaku tak memikirkan royalti dari beredarnya album Simfoni Negeriku yang didistribusikan Aquarius Musikindo. “Kami tidak memungut satu sen pun untuk royalti. Jadi itu dibuat khusus untuk bangsa Indonesia dan hak pendistribusiannya kita kasih ke Mas Ook dari Aquarius. Beliau bilang bahwa ini master yang paling mahal dia beli. Bukan terkait keuntungan, tapi nilai sumbangsihnya untuk bangsa,” Youk menimpali.
Baca juga: Dolly Salim, Penyanyi Indonesia Raya Pertama di Kongres Pemuda
Youk sudah cukup puas dengan realita bahwa di mana pun, terutama di sekitar 17 Agustus dan hari-hari besar lain, lagu-lagu itu jadi tembang yang bisa dinikmati pendengar muda penerus negeri.
“Kami dibayarnya luar biasa. Tidak dengan uang tetapi dalam 22 tahun ini kami dihargai dengan rasa kebanggaan, rasa haru. Untuk menyelesaikan proyek itu dalam suasana krisis moneter dan dari all out tabungan terakhir, saya tumpahkan di situ. Sekarang cuma tinggal menikmati saja kalau masuk mal 17 Agustus, kita dengar lagunya,” sambungnya.
Meski sudah total berderma buat negeri, Addie dan Youk tetap masih mendapat beberapa cibiran.
“Waktu itu ada musisi senior yang diwawancara suatu majalah, dikatakan bahwa itu kan lagu kebangsaan, mestinya direkam di Indonesia oleh bangsa sendiri. Nah saat itu yang saya pikirkan bukan soal itu. Nasionalisme di pikiran saya adalah, hasilnya maksimal. Lagu itu kan enggak bisa bohong. Dia sakral dan orang bisa bergerak, berani maju ke medan perang dengan suara. Jadi musik enggak bisa bohong, kalo fals ya fals. Kalau kurang bagus tone-nya ya kurang bagus,” kata Addie menjelaskan.
Baca juga: Mengulik Lirik Indonesia Raya
Addie tahu betul peralatan dan SDM di Indonesia saat itu belum ada yang laik untuk membungkus simfoni tersebut dengan sempurna. Jika menuruti kritik bahwa semua harus dilakukan di Indonesia dan oleh orang Indonesia, Addie beralasan toh pada 1950 aransemen pertama “Indonesia Raya” digarap komposer Belanda (Jos Cleber) dan beragam alat musiknya dimainkan musisi-musisi yang majemuk.
“Kalau di studio alatnya enggak proper ya hasilnya nggak maksimal. Mixer yang sudah state of the art tapi di tangan orang yang enggak pengalaman mixing orkestra, sama juga. Saya pikir makanya enggak perlu kompromi sana-sini. Pokoknya bikin ‘Indonesia Raya’ yang suaranya jernih. Toh di rekamannya kita enggak bisa lihat yang mainkan (instrumen) orang bule atau orang Tionghoa,” terangnya.
“Saya berharap kalau dia jadi produk yang bagus, dia akan bisa lebih mudah menyentuh sanubari warga Indonesia. Gini deh, kalau ada yang bisa bikin lebih bagus, lebih jernih, monggo. Saya ganti uang produksinya, saya bayar. Itu waktu saya saking kesalnya seperti mau ada delegitimasi soal itu,” ujar suami Memes itu menutup diskusi.
Baca juga: Perlawanan Liem Koen Hian untuk Kemerdekaan