“Kalau bangsa Belanda punya lagu kebangsaan Wilhelmus, mengapa Indonesia belum punya. Sebab itu sekarang saya sedang mulai mengarang lagu dan saya beritahukan juga kepada bapak dan saudara-saudaraku untuk mendapat restunya,” kata Wage Rudolf Supratman kepada Oerip Kasansengari, kakak iparnya, pada pertengahan 1926.
Rupanya waktu itu Supratman tengah terusik dengan sebuah kalimat dalam artikel majalah Timbul. “Alangkah baiknya kalau ada salah seorang dari pemuda Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, sebab lain-lain bangsa semua telah memiliki lagu kebangsaannya masing-masing!” tulis majalah Timbul.
Sebenarnya saat itu sudah ada lagu Dari Barat Sampai ke Timur sebagai lagu kaum pergerakan. Tetapi, menurut Supratman, lagu itu belum mengesankan dan menggugah semangat berjuang. Ide membikin lagu kebangsaan yang bukan sekadar lagu pergerakan pun muncul.
Baca juga: Dari Timbul Lahirlah Indonesia Raya
Hasrat Supratman untuk menggubah lagu kebangsaan kemudian semakin bertambah setelah tersiar berita dari Indonesische Studieclub yang dipimpin Sukarno, bahwa perlu adanya segera lagu nasional.
Menurut Bondan Winarno dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dalam proses menggubah lagu ini Supratman dibantu Theo Pangemanan, tokoh kepanduan yang mahir bermusik. Ketika nadanya telah tercipta, dia langsung menetapkan judul Indonesia untuk lagu ini. Sementara itu, liriknya mengambil inspirasi dari jargon dan ungkapan aktivis pergerakan yang akrab didengarnya dalam percakapan-percakapan di Gang Kramat.
Berkumandang Kali Pertama
Pada 1928, para pemuda pergerakan tengah sibuk mempersiapkan Kongres Pemuda II. Supratman kemudian menulis surat kepada panitia guna memperkenalkan lagunya dan untuk diperdengarkan dalam kongres. Gayung bersambut, panitia mengizinkan lagu itu diperdengarkan dalam penutupan kongres.
Kongres Pemuda II pun digelar di rumah milik Sie Kong Liong, Jalan Kramat Raya 106 Jakarta. Supratman membawakan lagu itu dengan biolanya usai sidang pleno ketiga. Penampilannya mendapat sambutan hangat peserta kongres dan meminta lagu itu dinyayikan beserta liriknya.
“Hadirin segera senang dengan lagu itu dan minta diulang. Dolly, salah satu gadis remaja, putri sulung Haji Agus Salim, menyanyikan lirik lagu tersebut,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Historie Indonesia Jilid 2.
Baca juga: Dolly Salim, Penyanyi Indonesia Raya Pertama di Kongres Pemuda
Pada momen itu, untuk pertama kalinya lagu Indonesia diperbolehkan dengan catatan tanpa lirik “Merdeka…Merdeka”. Supratman menggubah lirik asli yang mencantumkan kata “merdeka” dengan kata “mulia.”
Maka, sambil berdiri di atas kursi, dengan suara lantang Dolly Salim berseru, “Indones… Indones… mulia… mulia!” Para peserta kongres pun menyayikannya bersama.
Pada 10 November 1928, untuk pertama kalinya lagu Indonesia dipublikasikan dalam surat kabar. Surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po, memuat lagu dan notasi Indonesia Raya pada edisi No. 293.
Selain mencetak, Supratman juga meminta Sin Po untuk menjual dalam bentuk partitur lepas. Padahal, pemuatan maupun percetakan lagu Indonesia melanggar aturan pemerintah kolonial Belanda.
Pengusaha rokok kretek Moro Seneng di Tulungagung, Jawa Timur, juga memuat utuh syair lagu dalam buku peringatan lima tahun perusahaan kreteknya.
Baca juga: Indonees Indonees bukan Indonesia Raya
Tak hanya itu, Supratman juga menyebarluaskan lagunya dalam bentuk piringan hitam. Dia meminta bantuan temannya, Yo Kim Tjan, yang berhasil mencetaknya dalam piringan hitam.
Lagu Indonesia lalu menjadi lagu wajib yang hampir selalu dinyanyikan di setiap pertemuan-pertemuan organisasi. Seiring dengan kian populernya lagu itu di kalangan aktivis pergerakan, Supratman berinisiatif untuk mengubah judulnya. Tidak terlalu terang alasannya, lagu itu kemudian berjudul Indonesia Raya.
“Wage Rudolf Supratman menerbitkan sendiri naskah lagu Indonesia Raya itu dalam cetakan rapi yang berjumlah lebih dari seribu lembar. Semua sahabat dan kenalannya, diberinya dengan cuma-cuma. Sebagian besar lainnya, dijual dengan harga dua puluh sen. Dalam waktu singkat saja, sudah terjual habis,” tulis Sularto dalam Wage Rudolf Supratman.
Lagu Kebangsaan
Sejak diterima Kongres Pemuda, Indonesia Raya biasa dinyanyikan dalam pembukaan sidang partai-partai politik. Misalnya pada konges kedua Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta, 18-20 Desember 1929. Untuk memeriahkan kongres, Supratman diminta memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan gesekan biolanya bersama suatu orkes.
Ketika lagu kebangsaan itu hendak dimulai, Sukarno selaku ketua PNI, meminta hadirin berdiri, untuk menghormat lagu Indonesia Raya. “Sejak itu hingga pada saat ini dan seterusnya apabila lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan, maka selalu dihormati dan dinyanyikan dengan berdiri,” tulis Oerip Kasansengari dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja.
Baca juga: Berdiri Menyanyikan Indonesia Raya
Kongres PNI juga menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Penetapan ini dikukuhkan dalam Kongres Rakyat Indonesia yang digelar Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pada Desember 1939. Selain itu, Kongres juga menetapkan bendera Merah Putih sebagai bendera nasional dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Pada masa pendudukan Jepang, lagu Indonesia Raya sempat bebas berkumandang. Namun tak berapa lama, setelah Maret 1942, lagu ini dilarang keras diperdengarkan dan dinyayikan. Radio Tokyo yang sebelumnya pada awal dan akhir siaran selalu memperdengarkan lagu Indonesia Raya juga menghentikannya.
Baca juga: Indonesia Raya Setelah Sumpah Pemuda
Pada 1944, tokoh-tokoh Indonesia diizinkan membentuk Panitia Lagu Kebangsaan. Mereka melakukan beberapa perubahan musikal serta susunan kata-kata syair lagu tanpa mengubah struktur, komposisi, dan tema.
Pasca kemerdekaan, tepatnya pada akhir tahun 1950, Jusuf Ronodipuro, kepala RRI studio Jakarta, meminta Jos Cleber, perantau asal Belanda, seorang pemain violin, trombon dan arranger musik yang piawai, menggubah partitur lagu Indonesia Raya untuk orkes filharmoni. Saat itu lagu Indonesia Raya yang dipakai masih merupakan hasil garapan Nobuo Ida, direktur Jakarta Hoso Kyoku pada zaman Jepang.
Tahun 1951, Cleber merampungkan aransemen baru Indonesia Raya dengan perekaman yang dibantu 140 pemusik gabungan dari ketiga orkes RRI serta menggunakan mikrofon Westrex dan tape recorder Philips.
Baca juga: Komponis Belanda Aransemen Indonesia Raya
Menurut Bondan, hasil aransemen Cleber diperdengarkan kepada Presiden Sukarno. Di sini muncul perdebatan antara Sukarno dan Cleber. Cleber pun merevisi aransemennya. Revisi kedua kembali dibawa ke hadapan Sukarno. “Harus ada bagian yang lieflijk, yaitu bagian sebelum refrain. Refrain-nya sendiri harus meledak dan menciptakan klimaks,” kata Sukarno.
Cleber merevisinya sekali lagi dan kali ini, dia bisa menebak tepat keinginan Sukarno. Revisi ketiga ini disukai Sukarno tanpa perubahan lagi. Versi inilah yang kemudian dipakai hingga hari ini.