SEORANG bujang berusia 32 tahun dari Maastricht, Belanda, merantau ke Indonesia. Dia cukup berani karena situasi Indonesia belum aman, baru tiga tahun merdeka.
Dia bukan perantau sembarangan. Di negerinya, dia dikenal sebagai pemain violin, trombon dan arranger musik yang piawai. Dia pun pernah tampil di orkestra terkenal, Concertgebouw Orchestra.
Jos Cleber nama perantau itu.
Keahlian bermusik mengantarkannya menjadi konduktor tamu Orkes Kosmopolitan di Radio Republik Indonesia studio Jakarta. Sehingga, RRI memiliki tiga kelompok orkes, dua di antaranya Orkes Philharmony pimpinan Yvon Baarspul, juga seorang Belanda, dan Orkes Studio Jakarta yang diketuai Syaiful Bahri.
Cleber pandai bergaul. Dia mudah berinteraksi dengan budaya baru. Sehingga, dia berhasil menggarap aransemen beberapa lagu Indonesia, salah satunya lagu keroncong Di Bawah Sinar Bulan Purnama karya Arimah, nama lain Maladi.
Pada akhir tahun 1950, Jusuf Ronodipuro, kepala RRI studio Jakarta, meminta Cleber menggubah partitur lagu Indonesia Raya untuk orkes filharmoni.
“Lagu Indonesia Raya yang dipakai saat itu adalah hasil garapan Nobuo Iida, direktur Jakarta Hoso Kyoku pada zaman Jepang,” ujar Victorius Ganap, guru besar Institut Seni Indonesia Yogyakarta, kepada Historia.
Cleber menerima permintaan Jusuf. Tahun 1951, dia merampungkan aransemen baru Indonesia Raya dengan perekaman yang dibantu 140 pemusik gabungan dari ketiga orkes RRI serta menggunakan mikrofon Westrex dan tape recorder Philips.
Menurut Bondan Winarno dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, hasil aransemen Cleber diperdengarkan kepada Presiden Sukarno. Di sini muncul perdebatan antara Sukarno dan Cleber.
“Indonesia Raya itu seperti bendera merah putih kita. Polos. Sederhana, tidak perlu diberi renda-renda lagi,” ujar Sukarno.
Menurut Cleber, Bung Karno meminta lagu Indonesia Raya seperti lagu Wilhelmus, lagu kebangsaan negeri Belanda.
“Lagu kebangsaan Indonesia Raya harus plechstatig (khidmat dan megah),” kata Sukarno.
“Dat Kan niet. Tidak bisa,” jawab Cleber. Dia menilai bahwa lagu Wilhelmus berirama lambat sementara Indonesia Raya berirama mars atau tempo di marcia. Penilaian Cleber ini mengacu pada lagu gubahan Nobuo Iida, sementara partitur asli yang ditulis Wage Rudolf Supratman tertulis tanda irama "Oepatjara, djangan terlaloe tjepat".
Cleber pun merevisi aransemennya. Revisi kedua kembali dibawa ke hadapan Sukarno. Dia pun masih belum sreg.
“Harus ada bagian yang lieflijk, yaitu bagian sebelum refrain. Refrainnya sendiri harus meledak dan menciptakan klimaks,” terang Bung Besar.
Cleber merevisinya sekali lagi. Kali ini, dia bisa menebak tepat keinginan Sukarno.
“Akhirnya, Cleber menggunakan tiga suasana dalam garapannya yang diawali 20 birama pertama dalam suasana anggun melalui tiup kayu, dilanjutkan 8 birama berikutnya dalam suasana khidmat melalui gesek, dan mencapai klimaks pada refrain dalam suasana heroik yang menggelegar secara tutti (semua pemain memainkan hal yang sama, red.) dengan penambahan tiup logam dan perkusi,” tulis Victorius Ganap dalam pidato pengukuhan guru besar ISI Yogyakarta berjudul Sumbangsih Ilmu Pengetahuan Musik dalam Pembentukan Jatidiri Bangsa.
Revisi ketiga ini disukai Sukarno tanpa perubahan lagi. Master rekaman yang terbuat dari lilin dikirim ke Philips untuk dibuat master bagi kepentingan produksi piringan hitam di Indonesia. Versi inilah yang dipakai hingga hari ini.