Masuk Daftar
My Getplus

Kedigdayaan Anti-Hero dalam Venom 2

Sekuel “Venom 2” menghadirkan drama-action berbalut komedi. Karakter anti-hero yang mulanya berasal dari sayembara penggemar.

Oleh: Randy Wirayudha | 21 Des 2021
Sekuel "Venom: Let There Be Carnage"/"Venom 2" menampilkan kedigdayaan dan sisi sensitif sosok antihero nan sangar (sonypictures.com)

KABUT di suatu malam pada 1996 menyelimuti Rumah Penampungan Anak Terlantar St. Estes California. Cletus Kasady kecil (diperankan Jack Bandeira) hanya bisa berteriak tak berdaya ketika kekasihnya, Frances Barrison (Olumide Olorunfemi), hendak dibawa ke Rumahsakit Jiwa (RSJ) Ravencroft Institute. Frances dianggap gadis kecil “spesial” yang punya kekuatan manipulasi jeritan suara hingga harus dipindahkan ke fasilitas “spesial” di Ravencroft.

Dalam perjalanan yang dikawal polisi, Frances berontak. Gadis supervillain beralter-ego Shriek itu menjerit hingga melukai seorang polisi muda Patrick Mulligan (Sean Delaney). Mulligan terpaksa menekan picu pistolnya hingga melukai Frances.

Adegan-adegan itu sekadar prolog film pahlawan super Venom: Let There Be Carnage (Venom 2) garapan sutradara Andy Serkis. Film ini merupakan film kedua dalam franchise Sony’s Spider-Man Universe (SSU). Sebagai sekuel dari film terdahulunya, Venom (2018), kisahnya masih berpusar pada sosok jurnalis Eddie Brock (Tom Hardy) yang di dalam tubuhnya bersemayam simbiot Venom, membuat perpaduan dua kepribadian yang berbeda itu menjadi sesosok anti-hero.

Advertising
Advertising

Baca juga: Spider-Man Terjerat Tipu Daya

Sosok Frances Barrison alias Shriek (kiri) & Cletus Kasady (sonypictures.com)

Plotnya kemudian bergulir cepat ke 25 tahun berselang, ke adegan Eddie dipanggil detektif Mulligan (Stephen Graham). Eddie diminta menyelidiki lebih jauh korban-korban kejahatan Cletus dewasa (Woody Harrelson) yang berubah jadi pembunuh berantai. Cletus hanya mau bicara pada Eddie karena Eddielah yang membuatnya dibui akibat laporan investigasinya.

Cletus ingin bicara pada Eddie sebelum hari-H eksekusi matinya dengan suntikan. Namun Venom dalam diri Eddie kerap berontak ketika menemui Cletus, mengingat Venom paling hobi menyantap kepala penjahat. Akibatnya, Cletus melawan balik dengan menggigit tangan Eddie hingga berdarah. Karena cemas ketahuan aparat kepolisian, Eddie pun bertengkar hebat dengan Venom. Dua karakter berbeda yang bersahabat dan bersimbiosis mutualisme itu berubah jadi bermusuhan meski sebelumnya selalu melewati suka-duka bersama, termasuk ketika Eddie diputuskan Anne Weying (Michelle Williams), mantan tunangannya yang seorang pengacara.

Ketika Eddie dan Venom berpisah, tetiba muncul kegemparan di Penjara San Quentin dan RSJ Ravencroft. Rupanya zat simbiot Venom dalam darah Eddie dari gigitan Cletus “melahirkan” Carnage, sesosok simbiot merah yang berdiam dalam tubuh Cletus. Carnage menghancurkan San Quentin, lalu Ravencroft untuk membebaskan kekasihnya, Frances (Naomie Harris).

Mampukah Eddie menghadapi masalah yang lahir dari kesalahannya sendiri? Baiknya Anda saksikan sendiri kelanjutan Venom: Let There Be Carnage di bioskop maupun beberapa platform daring, seperti Disney+ dan Hulu.  

Baca juga: Wonder Woman 1984 dan Nilai Kejujuran

Carnage, sosok simbiot merah musuh utama Venom (sonypictures.com)

Dua Karakter, Dua Kepribadian, Satu Persahabatan

Venom 2 mulanya dijadwalkan rilis pada 2020. Namun pandemi membuatnya tertunda hingga 1 Oktober 2021. Pun begitu, film ini tetap menarik karena di bagian akhirnya berkelindan dan bersilang semesta dengan salah satu film dari franchise Marvel Cinematic Universe (MCU), Spider-Man: No Way Home yang rilis 15 Desember 2021.

Sebagaimana film-film superhero di MCU, Venom 2 yang merupakan garapan SSU tak kalah ciamik dalam visual efek CGI. Penonton tetap bisa menikmati aksi-aksi  mendebarkan meski tone gelapnya dominan. Music scoring-nya juga bervariasi mengikuti setiap perbedaan plot. Seperti nada-nada melankolis yang mengiris dalam adegan-adegan menyedihkan masa lalu Cletus, musik komikal dalam beberapa adegan jenakanya, atau musik rap dan rave semua ada.

Baca juga: Lika-liku Harley Quinn dalam Birds of Prey

Venom bersama kaum rave di "coming out party" (sonypictures.com)

Selain “tema wajib” percintaan seperti yang kerap ada di film-film Hollywood, Venom 2 memasukkan sedikit tentang LGBTQIA (lesbian, gay, bisexual, transgender, queer, intersex, asexual). Itu ada pada adegan Venom ikut pesta kaum rave usai berpisah dengan tubuh Eddie.

“Tom (Hardy) dan Kelly (Marcell, penulis naskah) selalu ingin ada adegan Venom keluar dan membebaskan diri (dari Eddie) dan pergi ke pesta, di mana saya menyebutnya semacam festival LGBTQIA. Jadi pada dasarnya (adegan) itu pesta pembebasan diri Venom,” kata Serkis kepada Uproxx, 23 September 2021.

Baca juga: Captain Marvel, Antara Nostalgia dan Isu Feminisme

Meski begitu, bukan berarti Venom sepenuhnya gay. Adegan itu lebih merupakan upaya Venom ingin membebaskan dirinya dari perlakuan Eddie atau manusia lain yang kejam terhadap alien. Pesannya jelas, kaum LGBTQIA dianggap “alien” oleh orang lain.

Toh sejak awal Venom tak pernah disebutkan sebagai simbiot yang berjenis kelamin pria atau wanita. Venom bisa berdiam di tubuh perempuan ataupun laki-laki. Adegan ketika Venom merasuki tubuh Anne atau pemilik toko Nyonya Chen (Peggy Lu) menunjukkan Venom sesosok simbiot yang membebaskan diri dari bias gender.

Sutradara Andrew Clement 'Andy' Serkis (duduk) dan aktor utama Edward Thomas 'Tom' Hardy (sonypictures.com)

Tema lain yang tak kalah penting yang diangkat Serkis adalah nilai-nilai persahabatan. Dua karakter dan dua sifat berbeda sejatinya tetap bisa membentuk satu hubungan persahabatan. Seperti tokoh Don Quixote dan Sancho Panza dalam novel The Ingenious Gentleman Don Quixote of La Mancha karangan Miguel de Cervantes pada awal abad ke-17.

Serkis sengaja mengambil persahabatan Don Quixote dan Sancho Panza itu sebagai inspirasi dalam menciptakan karakter Eddie Brock dan Venom. Secara simbolis hal itu diperkuat dengan adegan Eddie bicara dari hati ke hati dengan Venom di depan patung di halaman Palace of Fine Arts, San Francisco.

“(Patung) itu adalah Don Quixote dan di sebelahnya adalah Sancho Panza. Mereka orang yang sangat berbeda yang punya pandangan berbeda pula terhadap dunia, cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu. Terkadang mereka tidak saling menyukai tapi pada akhirnya mereka bekerjasama untuk menunjukkan kehebatan masing-masing,” kata Eddie kepada Venom.

Persahabatan yang didasari cinta satu sama lain itu jelas berbeda dari persatuan Cletus dan Carnage. Persatuan Cletus-Carnage didasari kebencian kendati kelahiran mereka nyaris serupa dengan Eddie dan Venom.

Baca juga: Aquaman Sang Penguasa Tujuh Lautan

Persahabatan tokoh Eddie Brock dan Venom digambarkan seperti Don Quixote dan Sancho Panza (sonypictures.com)

Muasal Venom

Bermula dari kostum menjadi anti-hero. Begitulah muasalanya Venom hadir di semesta Marvel. Venom mulanya dikonsepsikan bukan sebagai sesosok simbiot anti-hero seperti yang dihadirkan dalam Spider-Man 3 (2007), Venom (2018), Venom: Let There Be Carnage (2021), dan Spider-Man: No Way Home (2021). Gagasan aslinya lahir dari sayembara komik yang dibuat Marvel.

Pada 1982, Marvel lewat komik The Amazing Spider-Man membuat sayembara kepada para penggemarnya untuk dijadikan inspirasi bagi penulis dan ilustrator komik dalam merancang kostum baru Spider-Man alias Peter Parker. Dari beberapa ide yang masuk, sang Pemred Jim Shooter menyukai konsep kostum hitam karya Randy Schueller, penggemar berat Spider-Man asal Norridge, Illinois.

Dalam kolom cbr.com, 4 Mei 2007, Schueller mengenang bahwa ia tak hanya menggambarkan kostum tapi juga latar cerita di baliknya. Schueller mendesain kostum hitam pekat agar tak terlihat musuh dalam kegelapan, meski ia tetap menyematkan lambang laba-laba berwarna merah di bagian dada.

“Saya pikir akan keren jika Spidey bisa meng-upgrade kekuatan dan penampilannya. Jadi saya punya ide bahwa Reed Richards (alter-ego Mister Fantastic) membuatkan kostum baru untuk Spidey menggunakan molekul tak stabil seperti kostum-kostum FF (Future Foundation, red). Molekul-molekul itu akan mengalir ke dalam pori-pori Peter dan membuatnya bisa menempel di tembok dengan lebih baik. Jadi ide dasar saya kostum itu akan meningkatkan 25 persen kekuatannya,” tulis Schueller.

Baca juga: Mulanya Spider-Man Si Manusia Laba-Laba

Randy Schueller, suratnya kepada Jim Shooter & komik The Amazing Spider-Man #252 (cen.acs.org/marvel.com)

Shooter yang menyukai konsep Schueller lalu berkorespondensi via surat pada Agustus 1982. Ide Schueller itu akhirnya dibeli sebesar 220 dolar Amerika. Tetapi pada akhirnya, gagasan Schueller yang lantas terealisasi dalam komik The Amazing Spider-Man nomor 252 edisi Mei 1984 jauh dari gagasan awalnya.

Gagasan Schueller kemudian dipadukan dengan ide-ide editor, penulis, dan ilustrator Marvel seperti Roger Stern, Tom DeFalco, Mike Zeck, dan Ron Frenz. Gagasan mereka adalah kostum Spider-Man hitam itu terbentuk dari zat biologis alien atau makhluk luar angkasa yang punya kelemahan terhadap energi suara sonik. Desainnya hampir mirip, bedanya lambang laba-labanya diubah berwarna putih, bukan merah seperti konsep awal Schueller.

Baca juga: Stan Lee Godfather-nya Marvel

Tetapi saat itu zat tersebut belum dinamai Venom dan bentuknya pun belum seperti sekarang berupa simbiot yang punya mata, mulut, taring besar, dan lidah panjang. Ia hanya berupa kostum alien seperti yang digambarkan dalam film Spider-Man 3.

“Saya melihat ide kostum saya dieksekusi dengan cara yang sangat jauh dari yang saya bayangkan. Saya terkejut dan sedih. Lalu bergulir ke 2007, saya melihat kostum hitam (saya) di film Spider-Man 3. Wow! Nyatanya kontribusi saya membuat film itu jadi blockbuster terbesar. Tetapi saya tak pernah mendapat pengakuan apapun. Saya tak pernah ingin menuntut karena semuanya bukan soal uang. Saya hanya ingin pengakuan akan kontribusi penggemar,” imbuh Schueller.

Kemunculan Venom di film Spider-Man 3 tahun 2007 (sonypictures.com)

Gambaran, latarbelakang, dan penamaan “Venom” baru muncul ketika zat simbiot itu menemukan sosok Eddie Brock, orang kedua yang jadi tempat zat itu menginduk, hasil karya David Michelinie dan Todd McFarlane. Michelinie turut membuka cerita asal-usul simbiot itu dan kekuatan apa saja yang dimiliki Venom ketika menginduk di tubuh Eddie atau sejumlah host lain di komik-komik berikutnya seperti Flash Thompson, Ms. Marvel, Red Hulk, Groot, dan Mysterio.

Kepada Comic Crusaders, 11 Oktober 2017, Michelinie berkisah bahwa indikasi eksisnya Venom memang sudah bermula saat ia membuat naskah komik Web of Spider-Man nomor 1 edisi April 1985. Eksistensinya digambarkan berupa sebuah tangan yang mendorong Peter Parker ke jalur keretaapi bawah tanah, walau kemudian naskah itu digantikan naskah lain.

“Sebuah tangan mendorong Peter Parker dan tangan itu tak memicu spider sense-nya Peter, di mana saya pikir itu bisa jadi kunci. Itu alasan awal saya menciptakan Venom. Bagaimana jika karakter ini tak terdeteksi insting spider-nya Peter?” kenang Michelinie.

Baca juga: Enam Wajah di Balik Topeng Spider-Man

Tokoh Eddie Brock awalnya juga bukan pilihan pertama yang akan jadi host Venom lantaran pasti sasarannya bukan laki-laki, melainkan perempuan. Michelinie berniat mengaitkan sosok perempuan yang penuh dendam itu dengan Spider-Man untuk komik The Amazing Spider-Man nomor 300 (edisi Mei 1988).

“Sebelumnya saya punya novel grafis, Revenge of the Living Monolith, dalam ceritanya ada perempuan hamil yang suaminya terbunuh sebagai imbas pertarungan Spider-Man dengan monolit hidup itu. Sang perempuan trauma hingga bayi yang ia lahirkan meninggal. Perempuan itu menyalahkan Spider-Man dan sebuah simbiot medeteksi kebencian itu, di mana perempuan itu kemudian menjadi Venom,” imbuhnya.

Debut Venom di komik The Amazing Spider-Man #300 karya David Michelinie (marvel.com)

Tetapi kemudian, lanjut Michelinie, sang editor komik Jim Salicrup tak terkesan dengan karakter perempuan itu. Dia menganggap seorang perempuan takkan bisa diterima para fans jika bertarung dengan Spider-Man. Maka, Michelinie menciptakan karakter lain untuk menjadi Venom, Eddie Brock, berikut latarbelakang dan motivasinya membenci Spider-Man.

Setelah debut Venom pada Mei 1988 itu, Todd McFarlane bersama Michelinie mengembangkan ceritanya di sejumlah komik berikutnya. Venom juga dibuat punya kekuatan berupa dapat berubah bentuk, menghindari spider-sense, dan memulihkan luka dengan sendirinya.

Baca juga: Asal-Usul si Kocak Deadpool

Dalam pengembangan ceritanya, sosok simbiot itu bisa menginduk pada tubuh manusia atau pahlawan super manapun. Tetapi bagi Michelinie, karakter Venom yang menjadi anti-hero hanya ada dalam diri Eddie Brock.

“Kebanyakan itu bukanlah Venom yang sebenarnya karena mereka bukanlah Eddie Brock. Untuk saya pribadi, Eddie Brock dan simbiot itu, itulah Venom. Anda bisa menghadirkan orang lain dengan latarbelakang dan motivasi berbeda dan Anda bisa melakukan hal berbeda pula tapi itu bukanlah Venom,” tandas Michelinie.

Deskripsi Film:

Judul: Venom: Let There Be Carnage | Sutradara: Andy Serkis | Produser: Avi Arad, Matt Tolmach, Amy Pascal, Kelly Marcel, Hutch Parker, Tom Hardy | Pemain: Tom Hardy, Michelle Williams, Stephen Graham, Naomie Harris, Woody Harrelson, Jack Bandeira, Olumide Olorunfemi, Peggy Lu | Produksi: Columbia Pictures, Marvel Entertainment, Avi Arad Productions, Matt Tolmach Productions, Pascal Pictures | Distributor: Sony Pictures | Genre: Superhero | Durasi: 97 Menit | Rilis: 1 Oktober 2021.

TAG

film marvel superhero spiderman

ARTIKEL TERKAIT

Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Hasrat Nurnaningsih Menembus Hollywood Alkisah Eksotisme dan Prahara Sarawak lewat Rajah Sabra, Superhero Israel Sarat Kontroversi Alain Delon Ikut Perang di Vietnam Nostalgia Wolverine yang Orisinil Anak-anak Nonton Film di Zaman Kolonial Belanda Nyanyi Sunyi Ianfu Heroisme di Tengah Kehancuran dalam Godzilla Minus One House of Ninjas dan Bayang-Bayang Masa Lalu Ninja Hattori